Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAT pewarna sintetis jamak dipakai dalam industri tekstil dan batik. Banyak cairan limbah yang mengandung senyawa toksik itu dibuang tanpa pengolahan yang baik sehingga mengganggu ekosistem. Tim di Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan metode pembersihan pewarna sintetis dengan memanfaatkan enzim jamur kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dede Heri Yuli Yanto, penanggung jawab riset, pemanfaatan enzim ini berawal dari studi identifikasi jamur kayu Indonesia sejak 2014. Dua tahun kemudian, riset ini menjadi riset unggulan LIPI. Riset lanjutan menunjukkan enzim jamur memiliki sifat pembersih yang sangat baik. "Dalam riset penapisan, enzim itu mampu membersihkan pewarna sintetis," kata Dede, Jumat dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksplorasi lanjutan pada jamur Basidiomycetes, yang menghasilkan enzim ligninolitik, menunjukkan senyawa organik itu bisa merombak senyawa aromatik polimer sintetis dan zat warna dalam limbah menjadi karbon dioksida dan air. Dua senyawa ini tidak bersifat toksik saat dibuang ke saluran lingkungan.
Menurut Dede, keanekaragaman hayati Indonesia terbukti bisa menjadi solusi mengatasi pencemaran zat pewarna sintetis di sungai. Pemanfaatan enzim untuk menghilangkan zat pewarna toksik dari limbah tekstil juga ramah lingkungan dan prosesnya bisa lebih cepat ketimbang metode fisika dan kimia. "Bahan organik dipakai untuk menyaring senyawa sintetis," ucapnya.
Produksi enzim pembersih zat pewarna ini sangat bergantung pada komposisi media tanam yang dipakai untuk membudidayakan jamur. Selama riset, para peneliti menggunakan media lignoselulosa, yakni material yang banyak mengandung lignin dan selulosa-komponen pembentuk dinding sel tanaman. "Yang banyak dipakai adalah serbuk gergaji dan tandan kosong kelapa sawit, yang stoknya sangat banyak di Indonesia," ujar Dede.
Para peneliti mengolah enzim dari baglog atau media tanam bibit jamur menjadi produk pembersih berwujud bubuk. Parameter keberhasilan kinerjanya adalah jika enzim bisa menunjukkan aktivitas pembersihan yang tinggi. "Lebih efektif ketimbang memproduksi bubuk enzim dalam jumlah besar tapi aktivitasnya rendah," kata Dede.
Pemakaian enzim dalam bentuk bubuk bisa dilakukan dengan menebar langsung ke sungai yang tercemar. Cara ini, menurut Dede, memiliki kelemahan karena enzim langsung terbuang ikut aliran sungai. Metode lain adalah menggunakan teknik imobilisasi, yakni menaruh enzim di dalam wadah khusus dan dipasang pada saluran air limbah. Jadi air limbah dibersihkan sebelum dialirkan kembali ke sungai. "Material penampung enzim ini juga bisa digunakan kembali," ujar Dede.
Dalam studi laboratorium, cairan hasil proses pembersihan sudah aman digunakan untuk mengairi kecambah dan tanaman kecil. Tahun depan, V para peneliti akan memulai proses riset pembersihan pewarna sintetis dalam skala lebih besar.
Gabriel Wahyu Titiyoga
1. Jamur dibudidayakan.
2. Ekstraksi enzim.
3. Enzim bubuk dipasang di instalasi pengolahan limbah cair.
4. Cairan limbah dibersihkan.
5. Cairan hasil pemrosesan bisa dialirkan ke lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo