Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH mesti segera membereskan kebuntuan penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter yang melibatkan personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Sudah setahun perkara ini mandek lantaran tersangka dari TNI Angkatan Udara menolak panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau berlarut-larut, perkara ini bisa menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan korupsi pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 ditelusuri bersama oleh KPK dan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia. Juni tahun lalu, kasus ini masuk tahap penyidikan. KPK menetapkan Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Irfan adalah Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, agen AW101 di Indonesia. Sedangkan Polisi Militer menetapkan lima tersangka dari TNI Angkatan Udara. Sampai di sini, inisiatif kedua lembaga patut dipuji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, setelah itu kerja sama keduanya terseok-seok. Polisi Militer tak memberikan berkas pemeriksaan tersangka TNI Angkatan Udara. Upaya KPK memeriksa sendiri gagal karena sebagian tersangka menolak hadir. Adapun proses hukum di Polisi Militer tersendat dengan alasan belum selesainya penghitungan kerugian negara.
Ketidakseriusan TNI Angkatan Udara patut kita sesalkan. Padahal awalnya permintaan penyelidikan datang dari Panglima TNI kala itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, sendiri. Gatot meyakini ada pelanggaran prosedur: harga helikopter diduga digelembungkan dari Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar. Gatot telah meminta pembelian itu dibatalkan. Presiden Joko Widodo lebih dulu menolak pembelian. Meski demikian, TNI Angkatan Udara jalan terus.
Pembelian alat utama sistem persenjataan oleh TNI memang rawan korupsi. Dengan alasan kerahasiaan negara, TNI mengatur sendiri mekanisme lelang. Itu sebabnya pengungkapan dugaan korupsi dalam tubuh TNI bukan perkara gampang. Kasus pembelian helikopter AW101 sulit menjadi benderang lantaran ada dugaan uang komisi pembelian sudah menjalar ke mana-mana.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto harus membuktikan komitmennya. Setelah dilantik sebagai Panglima TNI enam bulan lalu, ia berjanji mengawal kasus ini-sesuatu yang sayangnya hingga kini belum terbukti.
KPK tak boleh patah semangat. Pasal 42 Undang-Undang KPK menyebutkan lembaga itu berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Pimpinan KPK harus mencari jalan untuk mengatasi keterbatasan lembaganya dalam memeriksa personel militer. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melobi pimpinan TNI dan Presiden.
Telah bersikap tegas dalam menolak pembelian heli AW101, Presiden hendaknya mengambil langkah progresif. Jokowi dapat memerintahkan Kementerian Pertahanan serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggagas pembentukan pengadilan koneksitas agar tersangka sipil dan militer dapat diproses bersama-sama oleh tim penyidik gabungan.
Tanpa pengadilan bersama, perkara ini tidak akan beranjak ke mana-mana. Presiden tak boleh membiarkan kanker korupsi menjalar dan melemahkan tentara nasional kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo