Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika Anda ingin cermat membaca tanda-tanda zaman, belajarlah kepada Ustad Abdul Somad Batubara. Ia bersama sederet dai generasi baru, seperti Khalid Basalamah, Hanan Attaki, dan Adi Hidayat, memanfaatkan media sosial untuk syiar agama. Pendekatan mereka efektif merangkul kaum milenial, yang hidup pada zaman serba digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan pedakwah konvensional, Abdul Somad menyapa umat terutama lewat Internet. Mula-mula video ceramah Somad diunggah pengikutnya di YouTube. Ternyata dakwahnya diminati warganet. Isi ceramah sang dai tak melulu membahas surga dan neraka, tapi juga penerapan agama sebagai solusi hidup sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Somad kemudian mengelola video ceramahnya secara profesional. Popularitas ustad 41 tahun ini terus meroket seiring dengan makin seringnya dia tampil di YouTube, Instagram, dan Facebook. Ia telah mengunggah seribu lebih video di YouTube. Semua video itu ditonton lebih dari 66 juta kali. Di Facebook, pengikut lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, ini hampir satu juta dan di Instagram mencapai tiga juta.
Pedakwah generasi baru yang lain, seperti Khalid Basalamah, 43 tahun, Hanan Attaki (38), dan Adi Hidayat (35), menempuh jalur serupa. Mereka memetik popularitas setelah berdakwah lewat media sosial. Ceramah mereka disampaikan dengan simpel.
Tentu berlebihan mengharapkan mereka menawarkan pemikiran baru dalam beragama. Yang mereka sampaikan adalah Islam sebagai produk final-sesuatu yang lengkap sejak dari sananya, tinggal diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada pembaruan pemikiran Islam seperti pernah digagas Nurcholish Madjid (almarhum). Tak ada juga pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ceramah dan tulisan Mun'im Sirry, sejarawan agama asal Madura yang kini pengajar di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat.
Namun kita menghadapi zaman baru: sesuatu yang serba instan, terkadang dangkal-ciri yang kerap dilekatkan pada anak muda. Dua dari empat ustad yang sedang naik daun itu bisa dibilang mewakili generasi milenial-generasi yang lahir pada awal 1980-an hingga akhir 1990-an. Kelompok yang biasa disebut Generasi Y ini sekarang berusia 20-38 tahun. Di Indonesia, jumlahnya diperkirakan mencapai 80 juta jiwa atau 30 persen dari jumlah penduduk. Generasi milenial lebih banyak bersosialisasi serta mengakses hiburan dan informasi di media sosial.
Hasil survei Centre for Strategic and International Studies yang digelar tahun lalu memotret perilaku sebagian generasi itu, yakni kelompok usia 17-29 tahun. Sebanyak 54,3 persen responden mengaku mengakses media sosial setiap hari. Dalam soal kepemimpinan dan agama, pandangan mereka cukup mengejutkan. Generasi milenial (53,7 persen responden) cenderung tidak bisa menerima pemimpin yang berbeda agama.
Di situlah pentingnya peran ustad dan dai generasi baru agar mampu berkomunikasi dengan kaum milenial. Mereka diharapkan bisa memberikan "pencerahan" terhadap generasi muda tentang perlunya menjadi muslim yang beriman dan bertakwa tapi juga sanggup menjaga kerukunan bangsa ini. Pandangan para remaja muslim yang cenderung intoleran, bahkan radikal, akan mengancam demokrasi dan keutuhan Republik.
Sikap yang mencemaskan itu juga terjadi pada generasi yang lahir setelah akhir 1990-an, yang biasa disebut Generasi Z. Pandangan kurang toleran mereka terdeteksi dari survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun lalu. Sebanyak 51,1 persen siswa dan mahasiswa yang menjadi responden dalam survei itu cenderung bersikap intoleran terhadap aliran Islam minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Pemerintah dan ulama konvensional di organisasi agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, bisa memetik pelajaran. Upaya membentuk karakter generasi baru tidak bisa dilakukan dengan pendekatan lama. Generasi Y dan Z amat rentan karena mereka sedang mencari identitas diri dan pegangan hidup di tengah banjir informasi pada era digital.
Kecenderungan para remaja muslim bersikap radikal juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan kita. Pendidikan agama di sekolah seharusnya tak semata membentuk akhlak yang mulia sesuai dengan nilai suatu agama, tapi juga bisa membangun sikap yang toleran terhadap penganut agama lain. Pendidikan kewarganegaraan dan humaniora juga perlu diperkuat untuk menumbuhkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan perlu membenahi kurikulum sekolah agar efektif membangun karakter siswa pada era digital.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo