Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal - wahyu muryadi

Penyunting : bibsy soenharjo jakarta: buku keluarga, (s.a.)

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDIDIK seorang pria berarti hanya mendidik satu orang, tapi mendidik seorang perempuan berarti mendidik sebuah generasi. Ungkapan terkenal ini bagai ruas ketemu buku dengan apa yang dibuktikan Haji Agus Salim dalam keluarganya. Sebelum menikah, ia sudah mengingatkan calon istrinya, Rangkayo Zainatun Nahar, agar selalu belajar. "Karena, kalau punya anak nanti, kita tak akan menyekolahkannya," kata Agus Salim. Kata-kata itu benar ia laksanakan setelah menikah tahun 1912 di Kotagadang -- sebuah kampung nun di kaki Gunung Singgalang, dekat Bukittinggi. Tokoh yang dikenal anti kolaborasi dengan pihak penjajah serta Pahlawan Nasional itu mendidik sendiri sepuluh putra-putrinya, dan tak mengirim mereka ke sekolah formal. Hasilnya benar-benar luar biasa. Kesepuluh anaknya bisa "lulus dengan sangat memuaskan". Bukan saja bisa membaca dan menulis, mereka juga cakap berbahasa asing, menjadi penulis, politikus, dan lain-lain -- tak kalah dengan mereka yang masuk sekolah biasa. Keberhasilan "sekolah" keluarga Agus Salim ini, menurut putra-putrinya, tentu tak lepas dari peran Nyonya Agus Salim, yang berpulang ke rahmatullah di Jakarta, 2 Desember 1977, dalam usia 84 tahun. Setidaknya, itulah yang dikesankan oleh anak dan cucu Agus Salim dalam buku Maatje -- panggilan kesayangan buat ibu dalam bahasa Belanda untuk Nyonya Agus Salim. Buku ini diluncurkan 16 Desember 1993, bertepatan dengan hari ulang tahun kelahiran almarhumah. Isinya kesan dan kenangan 31 penulis, yang terdiri atas anak, cucu, menantu, adik, kaum kerabat, dan handai tolan -- Rais Abin, A.D. Sosrodanukusumo (suami La Rose), Mary Somers Heidhues, dan lain-lain. Seluruh tulisan ini disunting oleh Bibsy Soenharjo -- putri kedelapan -- penerjemah aneka bahasa asing dan penyair yang juga mahir melahirkan puisi berbahasa Inggris. Banyak alasan untuk menampilkan riwayat ibunda tercinta. Maatje bukan sekadar ibu yang memasak nasi, mencuci, dan menjahit pakaian. "Maatjelah yang menjadi guru kami, yang mengajari kami pelajaran dasar, yang orang lain dapatkan di sekolah," kata Bibsy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus