Buku ini membicarakan hubungan Indonesia-Australia, sampai bagaimana negeri itu "memperalat" Indonesia. Sekali waktu ia dianggap musuh, dan pada waktu lain dijadikan perisai. AUSTRALIA dan Indonesia adalah dua negara bertetangga dekat yang sangat berbeda dari segi sejarah, budaya, dan sistem sosial maupun politiknya. Ini menimbulkan persepsi dan citra yang berbeda. Tidaklah mengherankan jika dalam perjalanan sejarahnya, hubungan kedua negara selalu mengalami pasang surut. Dalam bentuk makalah ilmiah maupun artikel populer berbahasa Inggris dan Indonesia, sejarah pasang surut hubungan kedua negara telah banyak ditulis. Namun, jika kita utarakan secara jujur, ilmuwan Indonesia yang mengamati dan membuat tulisan tentang Australia masih amat sedikit jika dibandingkan dengan ilmuwan Australia yang ahli tentang Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasinya yang berjudul Australia Relations with Indonesia 1945-1962, yang diajukannya pada Rijksuniversiteit, Leiden, Belanda, 1973. Meskipun penerbitan terjemahannya dilakukan terlalu terlambat, 20 tahun kemudian, buku ini amat berguna untuk menambah khazanah literatur hubungan Australia-Indonesia. Pertama, sejarah pemukiman orang Australia sejak 1788 hingga terbentuknya Federasi Australia pada 1901, yang setiap tahun dirayakan Australia Day dan Federation Day. Perbedaan budaya dan kedekatan geografis antara Australia dan Asia ini telah menimbulkan ketakutan bangsa Australia terhadap bangsa-bangsa Asia. Dalam kaitan ini tidaklah mengherankan jika untuk mempertahankan "tradisi keinggrisan" dan juga mencegah terkontaminasinya budaya dan tradisi tersebut, Australia menerapkan White Australia Policy (Kebijakan Putih Australia) untuk membendung masuknya orang-orang kulit berwarna dari Asia. Dari segi ekonomi, tidaklah mengherankan jika Australia menerapkan kebijakan Fortress Australia (Benteng Australia). Kedua, pandangan geopolitik dan geostrategis Australia juga menyebabkan Negeri Kanguru ini menerapkan strategi pertahanan jauh ke depan, yaitu garis pertahanan utara di luar teritori Australia. Sesuai dengan persepsi dan citranya tentang Asia, strategi pertahanan dikaitkan dengan ketakutan Australia terhadap "bahaya kuning" ataupun "bahaya merah" dari Asia. Ketiga, perbedaan mendasar antara pandangan Partai Buruh Australia (Australian Labor Party, ALP) dan Partai Liberal (Liberal Party of Australia, LP) tentang fungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta posisi Indonesia dalam keamanan regional dan keamanan Australia. Contohnya, perbedaan gaya individu Dr. H.V. Evatt yang menjadi menteri luar negeri dalam pemerintahan buruh di bawah John Joseph Curtin dan Joseph Benedict Chifley (1941-1949) dengan R.G. Menzies yang menjadi perdana menteri dari koalisi Liberal-Country (1949-1956). Itulah sebabnya sebelum aksi militer Belanda I pada 1947, Evatt amat enggan menyokong Indonesia. Dukungan Evatt terhadap kemerdekaan Indonesia pasca-1947 didasari oleh pragmatisme politik yang dianutnya. Jika kita membaca buku ini dengan teliti, kita akan lebih kritis dalam memandang bantuan Australia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Salah satu elemen yang ditonjolkan dalam kaitan hubungan Indonesia-Australia selama ini ialah ikatan sejarah masa revolusi kemerdekaan. Buku ini juga secara gamblang menjelaskan peran buruh pelayaran Australia khususnya, dan Dewan Serikat Buruh Australia yang bekerja sama dengan kaum eks-Digulis bekas tahanan PKI setelah pemberontakan komunis (1926- 1927) dari Digul dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Australia. Keempat, buku ini bisa dijadikan referensi yang baik untuk memahami kaitan politik luar negeri Australia terhadap Indonesia di masa lalu, sekarang, dan masa mendatang. Stabilitas politik dan ekonomi Indonesia serta hubungan baik Jakarta-Canberra akan menyebabkan Indonesia bisa menjadi perisai bagi Australia. Persepsi bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang agresif dan ancaman bagi Australia toh masih ada atau tak bisa diabaikan. Salah satu sisi yang tidak diulas ialah perspektif globalisme yang mempengaruhi politik luar negeri Australia sejak pemerintah Buruh berkuasa kembali pada 1983 (pemerintahan Bob Hawke dan Paul Keating). Masuknya Inggris ke Masyarakat Eropa pada 1973, pembentukan Pasar Tunggal Eropa, dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, dipandang oleh Australia sebagai ancaman bagi masa depan ekonomi Australia. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Australia tak lagi "mencari keaman an dari Asia", tapi "mencari keamanan di dalam Asia", khususnya lewat Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Ikrar Nusa Bhakti*) *) Staf Peneliti di Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini