MELEDAKNYA pesawat ulang alik Challenger menebarkan bibit ketidaktentuan jadwal peluncuran satelit Palapa B3, -- yang rencananya 24 Juni depan. Bagaimana tidak. Musibah itu menyebabkan program penerbangan pesawat ulang alik tersebut dibekukan NASA, lembaga antariksa AS, untuk waktu yang belum ditentukan. "Penerbangan baru akan dilakukan kembali bila kami telah mengetahui secara pasti penyebab musibah dan melakukan tindakan perbaikan," kata Jesse Moore, juru bicara NASA. Untuk itu, Presiden AS Ronald Reagan telah menunjuk panitia penyelidik beranggota 12 orang, awal pekan lalu. Panitia yang dipimpin bekas Menteri Luar Negeri William Rogers ini diberi waktu 120 hari untuk melaporkan hasil pekerjaan mereka. Tampaknya tak ada kesulitan, karena kerja sama tim NASA tampaknya akan berjalan lancar. Mengingat banyak anggota panitia punya hubungan erat dengan badan ruang angkasa ini. Misalnya saja Neil Armstrong, manusia pertama yang mendarat di bulan, yang diangkat sebagai wakil ketua. Juga Sally Ride, antariksawati pertama AS yang turut meluncurkan Palapa B-1, tiga tahun silam, terpilih sebagai anggota. Harapan agar panitia cepat menemukan penyebab musibah, sehingga peluncuran bisa segera dllakukan kembali, kini juga memenuhi benak petugas Perumtel yang terlibat dalam proyek Palapa B-3. "Satelit Palapa B-1 kita sudah terlalu lama sendirian," kata seorang pejabat Perumtel. Ia menambahkan, benar Palapa A-2 masih dapat dipertahankan hingga Maret nanti tapi secara operasional, boleh dikata cuma B-1 yang memikul beban telekomunikasi satelit nasional. Sebab, semua stasiun bumi yang ada sekarang dirancang untuk B-1, B-2, dan B-3. Sedangkan seri A seharusnya sudah apkir. "Menyendirinya" satelit Palapa B-1 mulai terasa dengan gagalnya sang adik, satelit Palapa B-2, mengorbit setahun setelah abangnya, 1984. Waktu itu pelepasan dari Challenger berjalan mulus, tetapi roket pendorong B-2 ke orbit geostationer ternyata macet hingga satelit tersesat ke orbit yang jauh lebih rendah. Delapan bulan kemudian B-2 "dijemput" oleh pesawat ulang alik Discovery dan hingga kini masih "nongkrong" di gudang HAC El Segundo, Los Angeles, menanti pembeli. Kebutuhan akan satelit Palapa B-3 terasa agak mendesak, karena Palapa B-1, Agustus tahun lalu sempat "teler". Sehingga, sistem telekomunikasi satelit sempat terganggu selama 75 jam, dan terjadi pula pemborosan bahan jet untuk mengemudikan satelit. Setelah melakukan penelitian mendalam,, pihak Hughes Aircraft Company (HAC) memperkirakan sekitar 60 pon (hampir 30 kg) bahan jet, hydrazin, terbuang, karena peristiwa itu. Ini berarti umur operasional satelit berkurang dua tahun, bukan dua bulan seperti diperkirakan sebelumnya. Dan, ini suatu pukulan berat bagi Perumtel, mengingat sebagian besar pendapatannya berasal dari dari Palapa. "Sekitar 60 hingga 70 persen pendapatan Perumtel berasal dari sistem Palapa," kata Ir. Willy Munandir, Direktur Utama Perumtel. Mengingat pendapatan Perumtel pada 1985 mencapai Rp 647,8 milyar, secara teoretis berarti Perumtel mengalami kerugian sekitar Rp 400 milyar akibat "teler"-nya satelit B-1 itu. Besarnya peran Palapa dalam pendapatan Perumtel inilah yang menyebabkan banyak pejabatnya merasa cemas bila peluncuran satelit B-3 diundurkan. "Tak terbayang kalau B-1 hanyut lagi," kata seorang pejabat Perumtel yang tak mau disebut namanya. Tapi, penelitian HAC dan Perumtel telah menemukan jawaban penyebab "teler"-nya Palapa B-1 ini. "Diketahui terjadi kebocoran arus listrik pada inverter 24 Volt sistem ACEnya," kata A.D.D. Leimena, staf ahli Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. ACE (Attitude Control Electronic), adalah perangkat elektronik yang mengatur kedudukan Palapa secara otomatis agar selalu berada di posisi yang direncanakan. Berdasarkan kejadian itu, maka pada pembuatan Palapa B-3 dilakukan penyempurnaan. "Pembuatan sistem ACEnya diserahkan pada pabrik lain," kata Leimena yang, bersama Menteri A. Tahir, berkunjung ke markas HAC di El Segundo, AS, Oktober tahun lalu. Selain itu, dilakukan pula beberapa langkah pencegahan, lainnya seperti perubahan penggunaan bahan pembungkus penyembur jet dan rencana pengadaan perangkat simulasi di stasiun pengendali utama (SPU) Cibinong. Maksudnya agar para awak SPU dapat berlatih mengatasi kemungkinan terjadinya kelainan pada satelit, hingga operasi pengamanannya dapat dilakukan lebih cepat dan tepat. Tidak menentunya nasib peluncuran Palapa B-3 tentu menambah kekhawatiran. Tak heran jika pihak Indonesia langsung meminta penjelasan resmi NASA tentang hal ini, dua hari setelah terjadinya musibah Challengcr. "Tapi sampai sekarang kita belum mendapat jawaban. Karena itu, persiapan tetap kita lakukan sesuai dengan jadwal yang direncanakan," kata Leimena kepada A. Luqman dari TEMPO, Kamis pekan lalu. Kemungkinan peluncuran tetap berlangsung pada jadwalnya, 24 Juni nanti, bukannya tak ada. "Kemungkinan besar peluncuran pesawat ulang alik setelah peristiwa ini adalah yang mengangkut Palapa B-3," kata seorang pejabat Perumtel. Pasalnya tiga penerbangan yang dijadwalkan berlangsung sebelumnya diduga akan mengundurkan diri. Konon, proyek ASTRO, yang seharusnya diluncurkan dalam penerbangan pesawat ulang alik Columbia 6 Maret nanti, sudah resmi dibatalkan. Pasalnya, keterlambatan berarti proyek pengamatan komet Halley ini menjadi sia-sia, karena obyek yang diamati sudah jauh meninggalkan bumi. Hal yang sama, kemungkinan besar, akan menimpa pula dua proyek penelitian lainnya. Wahana ruang angkasa buatan Eropa, Ulysses, seharusnya terbang bersama peluncuran Challenger, yang dijadwalkan pada 15 Mei 1986. Dan Ulysses akan meluncur dari pesawat ulang alik menuju planet Yupiter. Lalu memanfaatkan medan gaya tarik planet ini sebagai tenaga peluncur untuk keluar dari orbit bumi ke arah kutub matahari. Karena itu, peluncuran harus tepat jadwal, yaitu sesuai dengan kedudukan ideal planet Yupiter terhadap bumi yang dapat digunakan sebagai peluncur. Kedudukan ideal ini cuma berlangsung beberapa hari dan berulang setiap 13 bulan. Kedudukan Yupiter terhadap bumi ini juga merupakan unsur penting dalam rencaa penerbangan berikutnya. Yaitu peluncuran wahana antariksa Galileo dari pesawat ulang alik Atlantis, 21 Mei nanti. Penerbangan yang dimaksudkan untuk meneliti keadaan di planet Yupiter ini pun harus ditunda 13 bulan. Ini berarti penerbangan pembawa Palapa B-3 yang seharusnya mendapat giliran pertama diluncurkan, begitu kegiatan penerbangan digiatkan kembali. "Karena itu, kita harus mendesak pihak NASA agar memberi prioritas," kata sumber tadi. Kendati begitu, seorang pejabat Perumtel yang lain pesimistis hal ini bisa dilakukan. "Pasti NASA melakukan penerbangan percobaan sebelum penerbangan normal diaktifkan kembali," katanya. Dan sebuah sumber di NASA mengatakan, pimpinan badan angkasa itu telah menawari para antariksawannya untuk menjadi sukarelawan pada penerbangan percobaan itu. Ternyata, 48 astronaut mengajukan diri. Perumtel, tentu, bukan satu-satunya pihak yang pusing akibat dibekukannya kegiatan pesawat ulang alik ini. Selain Indonesia, sedikitnya terdapat tiga satelit komersial lain yang diluncurkan dengan pesawat ulang alik. Yaitu dari Western Union Corp., GTE Corp., dan dari Inggris. Wajar kalau beberapa pihak mulai mempertimbangkan alternatif lain dalam menempatkan satelit mereka di orbitnya. Ternyata, tak banyak alternatif lain itu. Saat ini, satu-satunya saingan NASA adalah Ariane, yaitu program ruang angkasa gabungan Eropa. "Jadwal kami sudah penuh untuk tahun ini dan tahun depan," kata Jacqueline Schenkel, juru bicara Ariane. Lagi pula, prestasi penerbangan dengan roket konvensional ini bukan tanpa cacat. Penerbangannya ke-15, 12 September lalu, terpaksa diledakkan di udara, karena tak terkendali. Ini merupakan kegagalan ketiga dari semua peluncuran yang dilakukan dan yang pertama dari 9 peluncuran komersialnya. Penerbangan ke-16 sudah ditunda dua kali dan direncanakan terbang bulan ini. Pihak Ariane mengaku telah memiliki kontrak bernilai US$ 1 milyar untuk meluncurkan 28 satelit. Penuhnya jadwal Ariane ini diragukan oleh seorang pejabat Perumtel. "Sampai tahun lalu mereka masih menyediakan kesempatan untuk meluncurkan Palapa B-3, September nanti," katanya. Apalagi persiapan meluncurkan satelit dengan Ariane cukup pendek, 49 hari saja. Bandingkan dengan untuk pesawat ulang alik yang membutuhkan persiapan tiga bulan itu. "Hanya saja, ketika itu kita tak menggubris," tambahnya. Memang, tawaran NASA untuk membawa seorang antariksawan Indonesia mengangkasa bersama peluncuran Palapa B-3 sulit disaingi Ariane dengan pesawat tak berawaknya itu. Tapi, kini, keadaan sudah berubah. "Semua kemungkinan kita jajaki, tapi secara etis bisnis belum bisa saya kemukakan," kata Leimeina. Dalam hal ini juga disinggung kemungkinan memanfaatkan roket tak berawak AS. Tapi pemanfaatan roket tak berawak AS bukanlah hal mudah. Hak menggunakan roket Thor Delta dan Atlas Centaur telah dijual NASA kepada pihak swasta. "Peluncuran komersial baru dapat kami lakukan 1987," kata Rick Endres, direktur pengembangan Transpace, pemilik roket jenis Delta. Sedangkan pihak General Dynamic Corp., pembeli roket jenis Atlas Centaur, belum bersedia memberi keterangan. Kemungkinan yang tersisa adalah roket Angkatan Udara AS atau ... milik Rusia. Bisa diduga pihak RI agak sungkan menggunakan jasa Soviet. Apalagi pihak AS juga keberatan jika seterunya diperkenankan mempelajari satelit buatan negeri itu. Sedangkan roket Angkatan Udara AS, kelihatannya, akan disibukkan oleh kegiatan meluncurkan satelit militer AS. Bagaimana tidak. Tahun ini saja Pentagon sebetulnya merencanakan untuk memanfaatkan empat peluncuran pesawat ulang alik bagi kepentingannya. Alhasil, memang tak banyak pilihan selain menunggu dan berharap panitia 12 dapat menunaikan tugasnya dalam waktu singkat. Artinya, kegiatan pesawat ulang alik dapat segera dipulihkan dengan aman. Agaknya, sikap itulah yang, kini, dijalankan Perumtel dan pihak Tim Pembinaan dan Persiapan Antariksawan Indonesia (TPPAI). "Kita tetap melakukan persiapan sesuai dengan jadwal yang ada," kata Prof. Doddy Tisnaamidjaja, Ketua TPPAI. Karena itu, Dr. Pratiwi dan Ir. Taufik Akbar tetap rajin melakukan swabelajar di kantor Menristek, Jakarta. Baik Pratiwi maupun Taufik telah sempat mengunjungi tempat latihan mereka, September tahun lalu. Dan bila tak ada perubahan jadwal dari NASA, keduanya akan memulai latihan, 4 Maret nanti. Bahkan Prof. Dr. Bambang Hidayat dan seorang anggota TPPAI lainnya merencanakan berkunjung ke Houston, 17 Februari nanti. Mereka bertugas menyerahkan contoh peralatan eksperimen RI (Inspex) yang akan dilakukan di luar angkasa. Persiapan yang sama juga sedang dilakukan tim Palapa B-3 dari Perumtel. "Sebelum ada keterangan resmi dari NASA, kita tetap menganggap peluncuran akan sesuai dengan jadwal," kata Leimena. Tapi bukan berarti Perumtel hanya pasrah pada keadaan. Para tenaga ahlinya terus sibuk berupaya agar sistem telekomunikasi nasional tetap berjaya. Salah satu gagasan yang dipertimbangkan adalah membeli dan meluncurkan Palapa B-2 sebagai cadangan. "Pengalaman Meksiko menaruh satelitnya pada inclined storage orbit mungkin bermanfaat bagi kita," kata seorang ahli Perumtel. Inclined Storage Orbit (ISO) adalah suatu teknik baru dalam pengoperasian satelit komunikasi. Pada ISO, satelit yang diluncurkan tidak langsung ditempatkan pada kedudukan geostationer-nya, melainkan dibiarkan pada sudut inklinasi tertentu, biasanya sekitar 3 derajat. "Secara alamiah kedudukan satelit akan bergeser menuju bidang ekuator dengan kecepatan sekitar 0,95 derajat per tahun," kata si ahli. Artinya, dalam tiga tahun si satelit akan mencapai kedudukan geostationer-nya tanpa membuang bahan jet pengemudinya. Ini jelas suatu penghematan besar. Mengingat sekitar separuh dari bahan jet dihamburkan saat menempatkan satelit dari sudut inklinasi ke bidang ekuator. Selain itu, untuk Palapa seri B, digunakan sekitar 30 pon hydrazin setiap tahun guna mempertahankan posisinya. Karena Palapa seri B membawa sekitar 565 pon hydrazin, maka daya tahannya diperkirakan mencapai 9 tahun. Tapi, jika teknik ISO digunakan, kehadiran satelit di angkasa dapat diperpanjang menjadi 15 tahun dengan usia operasional sekitar 12 tahun. Tapi bukan berarti ISO tak ada risikonya. "Sistem ini menguntungkan jika pengoperasiannya baru dilakukan sedikitnya satu setengah tahun setelah diluncurkan," kata ahli Perumtel yang mempelajari teknik ini. Dan, menurut ahli tersebut, keuntungan maksimal didapat jika pengoperasian dilakukan 3 tahun setelah peluncuran. Itulah sebabnya ia mengusulkan agar Palapa B-2 dibeli saja dan dioperasikan dengan teknik ISO. "Soalnya, harganya pasti murah, dan tak perlu menunggu setahun seperti membeli baru," katanya. Kalau sistem utama berjalan lancar, sistem cadangan dapat menambah usia operasional seri B. "Jadi, kita dapat menunda pembelian seri C, 'kan berarti penghematan," kata sumber itu. Suatu gagasan yang masuk akal mengingat harga satelit yang sekitar Rp 60 milyar itu bisa dibayar kembali dengan penghasilannya selama dua bulan saja. Apalagi sistem satelit semakin lama semakin murah dibandingkan sistem gelombang mikro (terrestrial). "Kalau lebih dari 500 km, untuk wilayah seperti Kalimantan, biayanya lebih murah memakai satelit," kata seorang ahli terrestrial Perumtel. Bambang Harymurti Laporan Achmad Luqman (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini