Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu, 26 September pekan lalu. Jarum jam menyentuh angka 9.15 WIB. Saat itu pusaran waktu di Bundaran Hotel Indonesia seperti berhenti. Tak satu pun mobil atau motor melintas. Kawasan tersibuk di Jakarta, bahkan Indonesia, ini tiba-tiba jadi sangat ramah. Tak ada deru mesin mobil, tak ada asap hitam menyesakkan dada yang keluar dari knalpot.
Tapi jangan gembira dulu. Keramahan sepanjang ruas Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin hari itu cuma berlangsung enam jam. "Ini hari bebas mobil," kata Soeseno, Ketua Mitra Emisi Bersih, "untuk mengingatkan betapa pencemaran udara di kota besar seperti Jakarta sudah sangat serius." Jakarta, berdasarkan hitungan Soeseno, dalam setahun cuma punya 25,5 hari yang kondisi udaranya bisa dibilang bagus. Situasi di Bandung, kota yang berjulukan Kota Kembang, sama saja. Baik di Bandung maupun Jakarta, kadar partikel timbel atau timah hitam (Pb-plumbum) mencapai 1,5 mikrogram per meter kubik, atau tiga kali dari ambang normal sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kondisi gawat itulah yang membuat Ari Sugiarto, Tri Yulianto, dan beberapa mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Pangeran Diponegoro jengah. Setelah melalui debat panjang dan berbagai kegagalan, lahirlah alat penyaring asap kendaraan yang mereka beri nama Pusaran-1. "Alat ini bisa mengurangi asap beracun kendaraan hingga 80 persen," kata Ari, salah satu penemu Pusaran-1.
Dari luar, bentuk penghisap asap racun itu mirip roket—sebuah tabung panjang dengan bagian ujung meruncing. Cara kerjanya juga mirip knalpot kendaraan. Tapi jelas, Pusaran-1 bukan knalpot biasa. Ini adalah alat yang menggunakan tenaga listrik untuk mempreteli logam berat yang keluar dari asap mesin kendaraan.
Ada tiga bagian penting dari alat ini, yakni selongsong, reaktor yang berbentuk seperti knalpot atau cerobong, dan terminal listrik. Selongsong adalah lapisan yang membungkus reaktor.
Menurut Ari, asap kendaraan dijinakkan dengan cara memasukkan ke dalam reaktor yang berbentuk seperti knalpot. Di dalam reaktor ini, molekul gas beracun ditabrakkan dengan elektron yang dihasilkan dari terminal listrik. Dalam reaktor, elektron itu berlarian ke sana-kemari, karena ruangan dialiri listrik puluhan ribu volt.
Tabrakan elektron dengan molekul asap beracun itulah yang memisahkan udara bersih dengan partikel racun. Partikel racun dari pembakaran bahan bakar seperti senyawa karbon (COx, biasanya berupa karbon monoksida dan karbon dioksida), belerang (SOx), nitrogen (NOx), kemudian terikat menjadi kerak atau garam (NH4C03) dan menempel di dinding reaktor. Hasilnya, yang keluar dari knalpot adalah udara yang sudah dilucuti racunnya. Teknologi ini disebut plasma nontermik.
Alat ini sudah diuji di berbagai merek motor dan mobil. Bahan bakar yang dipakai dalam uji juga beragam, mulai dari bensin, solar, hingga minyak tanah. "Asap pembakaran dari mesin apa pun dijamin bersih 80 persen," kata Ari. Dia sendiri memasang alat itu di sepeda motor Yamaha butut miliknya keluaran tahun 1980-an. Dalam uji emisi dengan mobil Suzuki Carry, misalnya, tanpa alat ini konsentrasi karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) yang keluar dari knalpot adalah 0,42 persen dan 0,82 persen. Tapi, setelah dipasangi penyaring, konsentrasi CO turun menjadi 0,12 persen dan 0,15 persen. Hasil serupa didapatkan ketika "roket" tadi diuji coba pada mobil Peugeot, Mercedes Benz, dan motor Honda.
Saat ini ada dua bentuk penyaring asap beracun buatan Ari dan teman-temannya. Ada yang seukuran knalpot sepeda motor. Ada pula yang ukurannya lebih besar, diameter 12 sentimeter dan panjang 120 sentimeter. Alat terakhir ini ditujukan untuk menyaring udara yang keluar dari cerobong asap pabrik, generator, genset, mesin pendingin hotel, atau mobil. "Bentuknya memang mirip roket, tapi ini hanya contoh," kata Tri Yulianto. Kelak, modelnya bisa disesuaikan dengan keperluan.
"Roket" bikinan mahasiswa FMIPA inilah yang sempat membuat para juri di Kontes Progressio, sebuah kontes teknologi yang diadakan Yayasan Progressio Indonesia, berdecak kagum. Di kontes itu, Pusaran-1 menjadi juara kedua dan meraih penghargaan Rp 10 juta.
Uang sebesar itu jelas tak cukup untuk membayar susah-payah para penciptanya. Ari, misalnya, sejak 1999 harus kelayapan mencari tukang kompor yang jago. Saat uji coba, beberapa kali reaktornya korslet saat udara di dalamnya dialiri ribuan volt listrik. Mahasiswa yang kini sudah lulus itu juga harus bolak-balik dari Semarang ke Yogyakarta dan Jakarta untuk meminjam alat ukur emisi. Uang pun ludes. Terpaksa Ari mengajar les buat anak-anak SMA lima kali seminggu.
Kesibukannya mengejar penelitian dan mengajar itu membuat kuliahnya keteteran. Banyak pelajaran tak sempat dia ikuti. Pantas saja jika nilai E bertaburan dalam daftar nilai semesternya. "Nilai bagus kan belum tentu membuat pelajaran nyangkut di otak, he-he-he...," kata Ari tersenyum. "Justru bersama laboratorium dan reaktor ini saya paham soal pelajaran."
Bukan cuma Ari yang sengsara karena penelitian. Tri Yulianto, Agustrianto, dan Wahyu Adi Wijaya sempat frustrasi dengan roket buatannya. Terminal listrik rakitannya tak bekerja. Mereka puyeng mencari cara bagaimana membuat listrik 12 volt bisa dinaikkan menjadi 30 ribu volt. Karena penelitian mentok, akhirnya "roket" kesayangan itu harus digudangkan selama empat bulan. Saking putus asanya, Tri tak mau menengok penyaring asap itu.
Tapi Agus, sahabatnya, belum putus harapan. Dia membawa ciptaan itu ke gurunya semasa duduk bangku STM. Eureka, guru itu, menemukan kesalahan yang membuat eksperimen mereka gagal. "Ternyata cuma ada kabel yang tak tersambung," ujar mahasiswa yang langganan kesetrum dalam proyek ini.
Temuan mereka membuat bangga Dr. Muhammad Nur D.E.A., dosen yang membimbing Ari dan kawan-kawannya sejak 1999. Apalagi ide pembuatan alat datang dari dia. Salah satu pujiannya kepada anak bimbingnya adalah keberhasilan melipatgandakan tegangan listrik dari 12 ribu volt menjadi 30 ribu volt. Selain itu, para mahasiswa tadi berhasil menyempurnakan temuannya, sehingga persentase emisi beracun yang keluar dari knalpot bisa ditekan hingga 80 persen. "Saya yakin, kapasitasnya bisa dinaikkan hingga 100 persen," kata dosen pengajar bidang nuklir ini.
Temuan ini diklaim dosen lulusan Universitas Joseph Fourier di Grenoble, Prancis, itu sebagai alat penyaring asap yang paling murah meriah—biaya pembuatannya sekitar Rp 150 ribu. Ini jauh lebih murah dibanding alat serupa di mobil-mobil mewah dan di pabrik-pabrik. Meski murah, sistemnya juga efisien. Pemilik mobil tak perlu bolak-balik mengganti saringan. Bila kotoran menumpuk, cukup disemprot atau disedot dengan vacuum cleaner.
Penyaring yang ramah lingkungan ini boleh jadi bakal segera ngetop. Soalnya, pemerintah—melalui Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No. 141 Tahun 2003—telah menetapkan mulai 2005 semua kendaraan harus menaati standar peraturan Euro 2, yaitu menurunkan tingkat polusi sebesar 30 persen. Mobil-mobil baru jelas sudah memakai mesin dengan standar Euro 2 ini. Contohnya Toyota Avanza yang diekspor ke Thailand sudah menggunakan mesin ini.
Mobil lama bagaimana? Tak perlu dikandangkan, apalagi menyogok petugas. "Penyaring yang sedang diurus hak patennya ini bisa jadi solusi murah," kata Nur.
Bila jutaan "roket" terjual, bisa dibayangkan berapa banyak polusi udara yang bisa dicegah. Program langit biru—program pemerintah untuk mengurangi asap beracun yang sudah tak terdengar suaranya—pun bukan impian lagi.
Burhan Sholihin, Dian Yuliastuti (Semarang), Muhamad Fasabeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo