Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepatkah vonis satu tahun penjara terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti dalam kasus Tempo vs. Tomy Winata? (17-24 September 2004) | ||
Ya | ||
22.70% | 180 | |
Tidak | ||
72.38% | 574 | |
Tidak tahu | ||
4.92% | 39 | |
Total | 100% | 793 |
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan kado tak mengenakkan menjelang pemilihan presiden putaran kedua. Dalam putusan sidang kasus pencemaran nama baik yang diajukan pengusaha Tomy Winata dua pekan silam, hakim menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti. Dalam kasus yang sama, hakim membebaskan dua wartawan Tempo lainnya, Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali.
Vonis ini mengundang berbagai kecaman dan keprihatinan. ”Ini putusan yang sangat aneh,” kata Leo Batu Bara, anggota Dewan Pers. Leo menyatakan keheranannya karena dalam perkara perdata untuk kasus yang sama, pengadilan tinggi menyatakan Tempo tidak menyebarkan pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, dan tindak pidana fitnah terhadap Tomy Winata.
Pengamat hukum media, Hinca I.P. Panjaitan, juga menyatakan kecewa atas putusan pengadilan itu. ”Majelis hakim tidak melihat secara utuh esensi undang-undang pers,” katanya. Ia juga menilai majelis hakim memaksakan penggunaan pasal-pasal pidana dalam kasus ini.
Aksi solidaritas pun muncul dari berbagai daerah. Komite Anti-Kriminalisasi Pers, gabungan berbagai lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, sangat memprihatinkan kasus ini. Dalam pernyataan sikapnya, koordinator Komite Anti-Kriminalisasi Pers, Akuat Supriyanto, mengatakan, ”Ini merupakan setback bagi proses demokratisasi di Indonesia.”
Mayoritas responden yang mengikuti jajak pendapat Tempo Interaktif juga memberikan penilaian yang sama. Mereka menganggap keputusan ini tak patut. Selain mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, ini juga menunjukkan bahwa keadilan masih sulit didapatkan di ruang-ruang sidang pengadilan di negeri ini. Sebuah pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah mendatang.
Indikator Pekan Ini: Kekalahan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dalam pemilu presiden putaran kedua naga-naganya akan memunculkan masalah baru. Tak lolosnya pasangan ini melahirkan usul agar Koalisi Kebangsaan, yang digalang tiga partai besar, Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan, bersama sejumlah partai kecil seperti Partai Damai Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi, dibubarkan. Adalah Ketua PDI Perjuangan Roy B. Janis yang melontarkan usul pembubaran itu. Alasannya, Koalisi Kebangsaan tidak lagi efektif dan tidak mampu menghasilkan apa-apa. Konkretnya, Koalisi gagal mengantarkan Megawati kembali menduduki posisi RI-1. ”Apa yang saya katakan ini merupakan hasil dari mendengarkan aspirasi yang ada di bawah,” kata Roy kepada wartawan Kamis pekan lalu. Ketua Koalisi Kebangsaan Akbar Tandjung membantah bahwa hasil kerja Koalisi tidak optimal. Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan bahwa selama sebulan menjelang pemilihan, dia sudah bertemu dengan para pemimpin partai di daerah di 33 provinsi di Indonesia. ”Bahwa kemudian pasangan Megawati–Hasyim Muzadi tidak meraih kemenangan, kita sudah berusaha secara maksimal,” kata Akbar. Menurut Anda, perlukah Koalisi Kebangsaan ini dipertahankan? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo