INILAH seminar karena waswas. Namanya: Seminar Polemologi. Untuk
pertama kali diselenggarakan di Indonesia, berlangsung 14-15
Desember lalu di kampus UGM, Yogya.
Waswas karena kini, konon, ada 16 bilyun ton TNT yang siap
ledak. Itu artinya, "untuk setiap kepala orang di dunia ini,
termasuk anak-anak dan bayi, tersedia 4 ton TNT," kata Prof. Dr.
TeukuJacob. Dan seorang yang sudah mati, dengan nuklir, akan
mengalami mati berkali-kali.
Gagasan seminar itu memang herasal dari Jacob sendiri. Sebagai
salah satu kegiatan dies ke-34, "UGM ingin memberi sesuatu untuk
perdamaian dunia, seperti diamanatkan presiden UGM pertama,
Almarhum Prof. Dr. Sardjito," kata Jacob, rektor UGM. Ancaman
perang nuklir, "memang paling menggelisahkan setelah PD II,"
katanya.
Melihat gambaran demikian, belakangan ini orang mulai berpikir
dan mencari sebabsebab perang secara mendalam. Apakah perang
satu-satunya cara manusia menyelesaikan masalah besar? Untuk
mencari jawaban itulah muncul ilmu perdamaian, yang disebut
polemologi.
Polemologi adalah studi tentang agresivitas manusia dan konflik
grup. Ia bidang baru yang berusaha menentukan penyebab serta
cara untuk mencegah konflik, terutama konflik yang paling
ekstrem, yang disebut perang. Polemologi (polemos = perang)
semula luas dikcmbangkan di Eropa oleh ilmuwan biologi serta
psikologi eksperimental. Mereka bersikutat untuk menjelaskan
perilaku manusia dengan mempelajari binatang yang tidak secara
langsung diharapkan bisa menjelaskan naluri perang.
Jadi, pada mulanya, studi itu berusaha mengabaikan peranan
kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia. Habis, perang toh
selalu terjadi dan menimbulkan pertanyaan, "apakah perang sudah
secara biologis tertanam dalam diri manusia?" ujar Jacob, guru
besar bioantropologi.
Ilmu ini kemudian berkembang multi disipliner. Ia merambat luas
ke hal penyebab perang dan mempelajari syarat-syarat perdamaian.
Maka, "ilmu ini dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga
dalam usaha kita ikut membina perdamaian dunia," kata T.B.
Simatupang, bekas kepala staf angkatan perang RI ini.
Di Eropa, ilmu ini kian berkembang dengan berdirinya
lembaga-lembaga riset perdamaian. Di Stockholm, misalnya,
berdiri Stockholm International for Peace Research Institute
(SIPRI). Di Universitas Groningen, Belanda, pada 1966 berdiri
International Peace Research Association (IPRA), yang didirikan
Prof B.V.A. Roeling. Tokoh polemologi yang cukup beken adalah
Johan Galtung Uerman), Gastong Buthoul (Prancis), dan juga
Roeling.
Roeling, ahli hukum, mengajarkan kriminologi dan hukum
internasional di Universitas Groningen. Ia juga anggota hakim
atau anggota Juri yang mengadili penjahat perang di Barat dan
Jepang. Dari pengalaman hakim penjahat perang itulah "Roeling
mulai mengembangkan ilmu ini," kata Suryo Sumarwotho, dosen
Sejarah Militer dan Maritim Fisipol Universitas Diponegoro,
Semarang, satu-satunya sarJana Indonesia dari sekitar 10 ribu
ahli polemologi anggota IPRA yang berpusat di Amerika itu.
Prof. Dr. Mukti Ali mengusulkan agar di Indonesia diajarkan
polemologi, dengan nama "pendidikan perdamaian". Di Undip, tahun
ini mulai diadakan kuliah polemologi. Apakah UGM akan
mengajarkannya pula? "Tujuan seminar ini hanya untuk
membangkitkan kesadaran kelompok pemikir bahwa masalah
polemologi ini perlu dipikirkan lebih lanjut," ujar Jacob. Tapi,
seorang peserta seminar mengingatkan UGM agar berhati-hati
dengan "gerakan perdamaian". "Di luar negeri," katanya, "peace
movement sudah ditunggangi komunis," seperti dituduhkan Amerika
dan Jerman Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini