KETIKA orang lain tergila-gila menanam cengkih, 1974, seorang
jenderal polisi berbintang tiga sibuk mencari lokasi tambak.
"Semua teman yang saya mintai bantuan menganggap saya gila,"
tutur Tjoek Soejono, bekas Kadapol X/Jawa Timur, yang pensiun
tahun ini.
Lokasi itu akhirnya ditemukan juga. Ia dinamakan Tambak Gendar,
di Desa Pucang Anom, 10 km di timur Sidoarjo, dan hanya 2 km
dari laut. Dengan hak guna usaha dari bupati Sidoarjo, Tjoek
mengolah 20 ha - dari lahan seluas 40 ha - menjadi tambak. Usaha
itu dilancarkan melalui PT Monodon Kencana, perusahaan yang
didirikan tahun itu juga, tempat Tjoek duduk sebagai presiden
komisaris.
Empat tahun kemudian, 16 ha tambak siap ditangani dan dirintis
dengan budi daya ikan bandeng. "Pendapatan tidak seimbang
meskipun tak sampai rugi," tutur Tjoek. Pada 1982, terbit
ambisinya beternak udang windu, yang sangat digemari di Jepang.
Seluruh tambak dibersihkan dari ikan bandeng.
Sebagai langkah pertama, Tjoek melepas 165.000 bibit udang.
Setelah pengamatan empat bulan, ia menganggap kondisi tanah dan
air cocok untuk peternakan udang windu. Hasilnya memang jauh
dari memuaskan. Angka kematian mencapai 80%. Tjoek yakin, hal
itu disebabkan "pengelolaan yang dilakukan secara tradisional
tidak mengikuti pedoman yang tetap."
Maka, bekas gubernur Akabri Kepolisian yang menguasai bahasa
Inggris dan Jepang itu berpaling kepada literatur asing. Ia,
bersama teman seperusahaan, bertekad melakukan percobaan di
tambak seluas 1,5 ha. Tambak ini dibagi tiga, masing-masing 0,5
ha.
Tambak pertama dikelola menurut teori. Tambak kedua "setengah
ilmiah". Dan tambak ketiga dibiarkan tradisional. Di tambak
pertama, tanah ditaburi pupuk organik sebelum bibit udang
dilepas. Untuk tahap berikutnya, secara berkala tambak ditaburi
pupuk urea, TSP, dan pupuk kandang. Udang diberi makanan
tambahan berupa pelet buatan sendiri. Campurannya terdiri dari
dedak, ikan rucah, dan vitamin ikan - misalnya utrafin. Untuk
melengkapi percobaannya,Tjoek Soejono membeli peralatan
laboratorium mini. Misalnya alat pengukur suhu air, pengukur
salinitas, serta pengukur kandungan oksigen dan keasaman.
Setelah empat bulan berlalu, hasilnya menggembirakan: gemilang.
Tambak pertama menghasilkan udang 240 kg. Tambak kedua, dengan
dosis makanan dan pemupukan setengah tambak pertama menghasilkan
130 kg. Sedangkan dari tambak ketiga, yang dibiarkan berkembang
alamiah, hanya diangkat tidak lebih dari 30 kg udang.
Berpedoman pada hasil percobaan ini, medio 1983, perusahaan
Tjoek menanamkan uang Rp 240 juta untuk mengelola 16 ha
tambaknya dengan "teknologi modern". Tiga pekan lalu, udang yang
sudah berusia empat bulan mulai dipanen. "Jerih payah saya
ternyata tidak sia-sia," kata Tjoek. "Kalau tadinya hasil tambak
dianggap pendapatan sampingan, kini ternyata bisa menjadi sumber
utama." Tjoek tampak ceria memegangi udang, di antara tamunya
yang menghadiri panen pertama itu.
Dalam suasana pemasaran udang sekarang, kegembiraan Tjoek
sungguh beralasan. Udang windu, yang laris di pasaran ekspor
itu, paling murah bisa dijual Rp 7.000 per kg. Dengan hasil 1
ton per ha, tambak seuas 16 ha itu menghasilkan Rp 112 juta
dalam empat bulan. Padahal, dalam setahun minimal dua kali
panen.
Penggarapan awal sangat menentukan. Sebelum dilimpahi air, tanah
dibalik dengan traktor mini. Untuk menurunkan tingkat keasaman,
tanah dicampuri kapur ketika dibalik. Kemudian ditaburkan pupuk
organik dan pupuk kandang, dengan dosis 300 kg per ha. Untuk
membasmi hama, digunakan biji teh. Tiap hektar tambak bisa
ditebari sekitar 29.000 bibit. Sejak itu dimulailah pengawasan
rutin yang berjalan siang malam. Data teknis harus dicatat. Data
itu meliputi suhu, salinitas, tingkat keasaman, kandungan
oksigen, kedalaman air, dan fluktuasi - perbedaan debit air
antara musim kemarau dan penghujan.
Untuk masa akan datang, Tjoek yakin bahwa kepadatan penebaran
benih bisa dilakukan antara 50.000 dan 75.000 per ha. Bila
tingkat kehidupan mencapai 75% sampai 80%, dalam empat bulan
udang sepanjang 17,5 cm itu bisa dikaut 1,8 ton sampai 3 ton
dari setiap hektar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini