Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jurus udang pensiunan jenderal

Dengan pengelolaan modern, bekas kadapol x/jawa timur, tjoek soejono, berhasil meningkatkan hasil udang windu di tambak gendar, sidoarjo dan menjadikan bisnis yang menguntungkan.(ilt)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA orang lain tergila-gila menanam cengkih, 1974, seorang jenderal polisi berbintang tiga sibuk mencari lokasi tambak. "Semua teman yang saya mintai bantuan menganggap saya gila," tutur Tjoek Soejono, bekas Kadapol X/Jawa Timur, yang pensiun tahun ini. Lokasi itu akhirnya ditemukan juga. Ia dinamakan Tambak Gendar, di Desa Pucang Anom, 10 km di timur Sidoarjo, dan hanya 2 km dari laut. Dengan hak guna usaha dari bupati Sidoarjo, Tjoek mengolah 20 ha - dari lahan seluas 40 ha - menjadi tambak. Usaha itu dilancarkan melalui PT Monodon Kencana, perusahaan yang didirikan tahun itu juga, tempat Tjoek duduk sebagai presiden komisaris. Empat tahun kemudian, 16 ha tambak siap ditangani dan dirintis dengan budi daya ikan bandeng. "Pendapatan tidak seimbang meskipun tak sampai rugi," tutur Tjoek. Pada 1982, terbit ambisinya beternak udang windu, yang sangat digemari di Jepang. Seluruh tambak dibersihkan dari ikan bandeng. Sebagai langkah pertama, Tjoek melepas 165.000 bibit udang. Setelah pengamatan empat bulan, ia menganggap kondisi tanah dan air cocok untuk peternakan udang windu. Hasilnya memang jauh dari memuaskan. Angka kematian mencapai 80%. Tjoek yakin, hal itu disebabkan "pengelolaan yang dilakukan secara tradisional tidak mengikuti pedoman yang tetap." Maka, bekas gubernur Akabri Kepolisian yang menguasai bahasa Inggris dan Jepang itu berpaling kepada literatur asing. Ia, bersama teman seperusahaan, bertekad melakukan percobaan di tambak seluas 1,5 ha. Tambak ini dibagi tiga, masing-masing 0,5 ha. Tambak pertama dikelola menurut teori. Tambak kedua "setengah ilmiah". Dan tambak ketiga dibiarkan tradisional. Di tambak pertama, tanah ditaburi pupuk organik sebelum bibit udang dilepas. Untuk tahap berikutnya, secara berkala tambak ditaburi pupuk urea, TSP, dan pupuk kandang. Udang diberi makanan tambahan berupa pelet buatan sendiri. Campurannya terdiri dari dedak, ikan rucah, dan vitamin ikan - misalnya utrafin. Untuk melengkapi percobaannya,Tjoek Soejono membeli peralatan laboratorium mini. Misalnya alat pengukur suhu air, pengukur salinitas, serta pengukur kandungan oksigen dan keasaman. Setelah empat bulan berlalu, hasilnya menggembirakan: gemilang. Tambak pertama menghasilkan udang 240 kg. Tambak kedua, dengan dosis makanan dan pemupukan setengah tambak pertama menghasilkan 130 kg. Sedangkan dari tambak ketiga, yang dibiarkan berkembang alamiah, hanya diangkat tidak lebih dari 30 kg udang. Berpedoman pada hasil percobaan ini, medio 1983, perusahaan Tjoek menanamkan uang Rp 240 juta untuk mengelola 16 ha tambaknya dengan "teknologi modern". Tiga pekan lalu, udang yang sudah berusia empat bulan mulai dipanen. "Jerih payah saya ternyata tidak sia-sia," kata Tjoek. "Kalau tadinya hasil tambak dianggap pendapatan sampingan, kini ternyata bisa menjadi sumber utama." Tjoek tampak ceria memegangi udang, di antara tamunya yang menghadiri panen pertama itu. Dalam suasana pemasaran udang sekarang, kegembiraan Tjoek sungguh beralasan. Udang windu, yang laris di pasaran ekspor itu, paling murah bisa dijual Rp 7.000 per kg. Dengan hasil 1 ton per ha, tambak seuas 16 ha itu menghasilkan Rp 112 juta dalam empat bulan. Padahal, dalam setahun minimal dua kali panen. Penggarapan awal sangat menentukan. Sebelum dilimpahi air, tanah dibalik dengan traktor mini. Untuk menurunkan tingkat keasaman, tanah dicampuri kapur ketika dibalik. Kemudian ditaburkan pupuk organik dan pupuk kandang, dengan dosis 300 kg per ha. Untuk membasmi hama, digunakan biji teh. Tiap hektar tambak bisa ditebari sekitar 29.000 bibit. Sejak itu dimulailah pengawasan rutin yang berjalan siang malam. Data teknis harus dicatat. Data itu meliputi suhu, salinitas, tingkat keasaman, kandungan oksigen, kedalaman air, dan fluktuasi - perbedaan debit air antara musim kemarau dan penghujan. Untuk masa akan datang, Tjoek yakin bahwa kepadatan penebaran benih bisa dilakukan antara 50.000 dan 75.000 per ha. Bila tingkat kehidupan mencapai 75% sampai 80%, dalam empat bulan udang sepanjang 17,5 cm itu bisa dikaut 1,8 ton sampai 3 ton dari setiap hektar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus