Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPAPUN mengerikan, rencana gagal bom bunuh diri di Istana Negara sepatutnya tidak membuat kita memberi cek kosong kepada polisi. Wewenang yang lebih besar kepada aparat untuk menggasak teror—seperti tecermin dari rancangan revisi Undang-Undang Terorisme—memang bisa mempersempit ruang gerak mereka. Tapi merangsek ruang privat untuk mencari teroris jelas akan menabrak hak individu.
Polisi menangkap Dian Yulia Novi, bekas tenaga kerja migran asal Cirebon, Jawa Barat, Sabtu dua pekan lalu. Ia diyakini akan menjadi pelaku bom bunuh diri di depan Istana Negara pada Minggu pagi. Bertepatan dengan hari bebas kendaraan bermotor, jika meledak, bom itu akan membunuh banyak orang, selain merusak Istana Kepresidenan. Ledakan di simbol negara akan membesarkan nama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—organisasi yang diyakini berada di belakang Dian.
Aksi cepat Detasemen 88 patut diapresiasi. Pada hari-hari yang sama, aksi peledakan bom juga berlangsung di Turki, Yaman, Somalia, dan Mesir. Hanya di Indonesia rencana laknat itu bisa digagalkan. Tudingan yang menyebut bom Dian Yulia cs ini hanya pengalihan isu pengadilan calon gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan agama karena itu patut disesalkan.
Pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi teror selayaknya diperhatikan. Di Indonesia, dalam sejarah teror internasional, ini merupakan aksi pertama. Di dunia, perempuan pernah digunakan dalam bom bunuh diri, misalnya di Yordania. Di Nigeria, perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh anak berusia tujuh dan delapan tahun. Terdesak di Irak dan Suriah, ISIS kini tak mewajibkan simpatisannya hijrah ke sana. Mereka menyarankan melakukan amaliyah di negara masing-masing—sinyalemen berbahaya yang patut diwaspadai.
Kewaspadaan itu hendaknya tidak membuat Indonesia menerapkan "perang semau gue" terhadap teror. Polisi tidak boleh diberi keleluasaan tanpa batas karena berpotensi mengekang kebebasan publik. Kita tentu tidak menginginkan Undang-Undang Terorisme berubah menjadi Internal Security Act, payung hukum di Singapura dan Malaysia dalam memerangi penggentar. Dengan aturan itu, misalnya, polisi di kedua negara bisa membubarkan diskusi yang dicurigai berkaitan dengan teror dan menangkap pelakunya. Di Indonesia, dengan Undang-Undang Terorisme, polisi tak bisa asal tangkap. Dibutuhkan bukti permulaan yang cukup untuk dasar mereka bertindak. Faktanya, dengan "keterbatasan" itu, Polri toh bisa menggagalkan rencana jahat di Istana Negara.
Dibanding Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebetulnya memberi keleluasaan lebih banyak kepada polisi. Dalam KUHP, misalnya, masa penahanan pelaku kejahatan hanya dibatasi 1 x 24 jam. Jika dalam periode itu polisi tak bisa mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, tahanan harus dibebaskan. Dalam Undang-Undang Terorisme, masa penahanan itu 7 x 24 jam.
Jikapun ada yang harus diperbaiki dari Undang-Undang Terorisme, itu adalah kewajiban pemerintah memperhatikan korban teror. Saat ini tak ada aturan yang memaksa pemerintah mengurus pengobatan korban. Dalam banyak kasus, korban bom harus membiayai sendiri penyembuhannya.
Hal lain yang tak kalah penting: skenario deradikalisasi dan pencegahan teror. Dalam banyak perkara, pelaku teror adalah penjahat kambuhan. Juanda, pengebom gereja di Samarinda pada pertengahan November lalu, adalah pelaku bom buku di Jakarta lima tahun silam. Anak Imam Samudra—pelaku teror bom Bali yang telah dieksekusi mati—dikabarkan telah bergabung dengan ISIS dan terbunuh di Suriah.
Memberi bantuan ekonomi terhadap pelaku teror yang telah dihukum serta keluarganya terbukti tidak efektif meredakan aksi kekerasan lanjutan. Merangkul mereka dalam pelbagai organisasi dan yayasan deradikalisasi sejauh ini bagus meski sulit dijaga kontinuitasnya. Pemerintah perlu memikirkan cara-cara baru dalam menjalankan pencegahan teror dan deradikalisasi.
Salah satunya dengan melibatkan masyarakat luas dalam proyek penting ini. Publik selayaknya menjadi mata dan telinga polisi dalam mengendus teror. Untuk itu, pelajaran antiterorisme selayaknya masuk kurikulum sekolah. Agama sebagai sumber kedamaian harus ditanamkan sejak dini untuk melawan pandangan yang menganggap agama justru pemberi justifikasi terhadap kekerasan. Ujaran kebencian di tempat-tempat ibadah—praktek yang kerap kita saksikan akhir-akhir ini—hanya bisa dilawan dengan menanamkan toleransi sejak dini lewat sekolah-sekolah. Hanya dengan cara itu kita tak kalah oleh para teroris dalam mengembangbiakkan "pengikut".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo