KOMISI Kahan yang dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki
pembantaian para pengungsi Palestina di Beirut Barat telah
menyelesaikan kerjanya.
Sebuah tonggak baru dalam kehidupan bangsa Israel telah
ditegakkan: kekuasaan hukum harus diletakkan di atas kekuasaan
politik. Sebuah sikap menjunjung tinggi keadilan dengan segala
konsekuensinya telah dikemukakan, dengan cara yang tidak membawa
kepada anarki politik, atau dengan kata lain, tanpa
menghancurkan sendi-sendi pemerintahan. Bahka memperkuat
sendi-sendi itu dari kemungkinan dimanipulasikan terlalu jauh
oleh berbagai kecenderungan politik yang ada.
Komisi pimpinan ketua Mahkamah Agung Yitzhaki Kahan itu memang
membawakan hasil yang mengejutkan. Perdana Menteri Begin
dianggap 'bersalah sampai titik tertentu', walaupun tak ada usul
agar ia ditindak. Ariel Sharon, menteri pertahanan yang
ultra-keras itu, direkomendasikan agar 'mengambil kesimpulannya
sendiri' atas kesalahannya yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi
dalam kasus pembantaian di perkampungan Sabra dan Chatila.
Dengan kata lain diminta mengundurkan diri dari jabatannya. Ia
dinyatakan bersalah 'telah larai melaksanakan tugasnya, yaitu
memperhitungkan kemungkinan kaum Phalangis akan melakukan
pembantaian'.
Tiga orang 'aktor langsung' penyerbuan Israel ke Libanon
diputuskan telah bersalah juga. Kepala staf tentara Israel
Lejten Rafael Eitan sepenuhnya bersalah, karena lalai
memperhitungkan kemungkinan pembantaian, walaupun telah diberi
nasihat untuk tidak membiarkan tentara Phalangis memasuki
perkampungan Sabra dan Chatila. Ia bahkan membiarkan saja
tentara Phalangis berada di kedua tempat itu, walaupun ia tahu
pembantaian telah terjadi.
Direktur Intelijen Militer Yehoshua Saguy dipersalahkan gagal
memberikan nasihat kepada pimpinan tertinggi tentara Israel
untuk mencegah masuknya kaum Phalanis ke Sabra dan Chatila
walaupun ia menyatakan pendapat pribadinya bahwa pembantaian
akan terjadi kalau hal itu dibiarkan.
Brigjen Amos Yaron, komandan divisi yang menduduki daerah
Beirut, jug dipersalahkan membiarkan pembantaian terjadi,
walaupun ia tahu bahwa hal itu terjadi.
Yang menarik dari argumentasi Komisi Kahan, sebagaimana diulas
majalah Tme adalah kategori kesalahan Israel itu sendiri: para
pemimpin yang dinyatakan bersalah itu telah bersalah 'secara
tidak langsung'
Menurut argumentasi ini, walaupun kaum Phalangis (orang Arab
yang membunuh kaum pengungsi Palestina (orang Arab), Israel
bertanggung jawab karena hal itu terjadi di wilayah yang menjadi
tanggung jawab Israel dalam hal keamanan dan ketertibannya.
'Kita selalu mengajukan tuntutan serupa, jika ada orang Yahudi
diperlakukan keji di tempat lain, yaitu bahwa bukan hanya
pelakunya saja yang bertanggung jawab, melainkan pemegang
kekuasaan juga harus bertanggung jawab. Kita tidak boleh
menghindarkan tanggung jawab ini, karena berarti melemahkan
tuntutan peri kemanusiaan kita sendiri terhadap negara-negara
lain', demikian Komisi Kahan.
Sudah bukan rahasia lagi, pemerintahan Begin dan lingkungan
pimpinan militer Israel telah lama mencoba memanipulasikan
kehidupan politik negeri itu sedemikian rupa, sehingga impian
mereka akan 'Israel Jaya' (Eretz Yisrael) yang meliputi seluruh
wilayah yang didudukinya (kecuali Libanon) dapat diwujudkan
secara de facto, walaupun melanggar perjanjian dan komitmen
internasional mereka sendiri.
Begin mengumandangkan nostalgia akan 'bentangan kawasan yang
ditentukan Perjanjian Lama untuk bangsa kita', termasuk tepian
barat Sungai Yordan yang didudukinya sejak 1967. Sharon dan
jenderal-jenderalnya mengajukan pertimbangan 'keamanan integral
Israel' dari kemungkinan serangan luar, untuk membenarkan
tindakan yang sama.
Tampaknya kecenderungan merekalah yang akan memenangkan
keputusan politik dalam pergulatan internal Israel, antara kaum
keras dan kaum lunak. Di samping tradisi politik untuk
menjunjung tinggi pertimbangan pihak pimpinan militer dan
kedambaan akan 'realisasi janji Perjanjian Lama', ada sebuah
faktor lain yang mendorong bangsa Israel kepada sikap
memenangkan garis keras: sulitnya proses perundingan dengan
pihak Arab mencapai sesuatu hasil kongkrit, dan semakin
meningkatnya jumlah penduduk Israel yang tidak berasal dari
Eropa Barat dan Amerika.
Penduduk Israel yang berdatangan dari Eropa Timur dan
negara-negara Asia, disebut kaum Sephardim, kini merupakan
mayoritas bangsa Israel, dan dengan sendirinya kebencian mereka
terhadap apa yang dianggap 'budaya asing' dari Barat juga
membuat mereka menolak usul perdamaian negara-negara Barat.
Namun, kesemua kemungkinan akan menangnya garis keras dalam
kehidupan politik Israel menjadi tidak lagi pasti dengan adanya
laporan Komisi Kahan di atas. Pimpinan militer Israel kehilangan
superioritas moralnya. Mereka terbukti bangkrut secara total
dalam menjaga hal-hal paling dasar bagi kehidupan manusia,
dengan terjadinya pembantaian itu. Impian Begin juga lalu tampak
konyol di hadapan kenyataan akan semangat bangsa Palestina untuk
menuntut hak menentukan nasib sendiri.
Seperti dikatakan pendidik terkemuka Israel, Zvi Kesse, dalam
wawancaranya dengan Neqlseek: masa depan Israel ditentukan
oleh kemampuannya mencari penyelesaian yang adil terhadap
tuntutan bangsa Palestina. Kita pun, katanya, dahulu menuntut
keadilan seperti itu. Israel sudah terlalu lama harus hidup
dengan nilai-nilai militeristis, yang akan menghancurkan Israel
sendiri, sebagai konsekuensi menolak tuntutan bangsa Palestina
itu.
Pandangan waras seperti dikemukakan Kesse ini tentu akan
memungkinkan tercapainya hasil kongkrit dalam perundingan
perdamaian untuk menyelesaikan sengketa Arab-Israel, kalau
diikuti oleh cukup banyak orang di Israel. Namun, cukupkah
momentum yang diciptakan laporan Komisi Kahan itu untuk
mendorong bangsa Israel secara keseluruhan kepada sikap yang
terbuka dan menjamin keamanannya secara kekal, yaitu mengakui
eksistensi sebuah bangsa dan negara Palestina?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini