Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kaisar dan cerita khayal

Bekas kaisar bokassa dituduh sebagai kanibal karena ditemukan beberapa potongan tubuh manusia di bekas villanya. tuduhan diragukan ahli antropologi. (ilt)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG Kaisar kini dituduh sebagai kanibal. Dasar nasib. Tapi bagi Kaisar Bokassa, maharaja presien d/h kapiten yang mementah negeri kecil di Afrika Tengah itu, segala macam nasib nampaknya bisa terjadi. Dua tahun yang silam dalam usiaya yang ke-56 ia menobatkan diri jadi Kaisar--dengan kemewahan Rp 12,5 milyar di tengah dua juta rakyatnya yang miskin. Tahun yang lalu ia diberitakan membunuh 100 anak sekolah, karena mereka menolak memakai seram. Tak lama setelah berita itu, ia pun gelari oleh pers Barat sebagai "Tukang Jagal dari Bangui". Dan pekan lalu, beerapa hari setelah ia digulingkan, ia diduh sebagai "kanibal". Tuduhan itu dimulai setelah Presiden David Ducko--yang menggulingkannya mengumumkan bahwa beberapa potongan tubuh manusia ditemukan dalam buah lemari pendingin milik bekas kaisar. Sejumlah rakyat telah menyerbu villa Maharaja, dan di situlah lemari pendingin yang seram itu terbongkar. Villa itu, 8 km dari Bangui, ibukota, konon adalah tempat Bokassa, dengan para pengikutnya yang paling akrab, meyelenggarakan upacara kanibalisme. Cerita begitu sudah agak lama beredar di sekitar "Tukang Jagal dari Bagui" itu. Mungkin itu termakan oleh rakyat yang 70% butahuruf dan menantinya. Tapi bukan cuma mereka yang tampaknya bakal percaya, walaupun bukti belum cukup. Sebab para ahli thropologi Barat pun ternyata tak ebas dari dongeng tentang kanibalisme. Tantang-tantangan Setidaknya demikianlah menurut Dr William Arens, seorang gurubesar muda thropologi di Universitas New York yang baru-baru ini menulis buku The Man-eating Myth. Dalam sebuah labrakan terhadap sementara ahli anthropologin sejarah Arens menulis dalam majalah The New Scientist (20 September) bahwa cerita tentang kanibalisme itu hayalah "bentuk halus dari rasisme". Manusia pemakan orang, atau anthropophagist, dikatakan terdapat di "Ioo" Afrika, di antara suku primitif Fiji, di kalangan puak Indian Amerika Selan Tupinamba, dan suku Fore di Papua Nugini. Di zaman dulu, dikatakan bahwa kaum pemakan daging manusia yang tersohor adalah bangsa Indian Aztec. Tapi benarkah? Arens menunjukkan sebenarnya tentang itu tak pernah terdapat bukti. Cerita kanibalisme bangsa Aztec--yang punya kebudayaan tinggi itu--bermula dari para conquistadores, penakluk Spanyol yang terdiri dari prajurit dan pendeta. Seperti diketahui, dipimpin oleh Hernando Cortes, para conquistad ores Spanyol akhirnya mengalahkan orang Aztec, menjajah Amerika Selatan dan nyaris meniadakan segala sisa peradaban pribumi. Dari zaman inilah, cerita tentang kanibalisme Aztec bermula. Pada mulanya adalah berita-berita yang dikirimkan pasukan Cortes ke tanah air. Di sana disebut-sebut kebiasaan kanibalistis bangsa berkulit coklat itu. Tapi Arens menyebutkan bahwa sebetulnya soal kanibalisme itu cuma disinggung sepintas lalu. Misalnya waktu pasukan Spanyol mengepung ibu kota Aztec. Salah satu perwira berseru agar rakyat Aztec menyerah, sebab kalau tidak, mereka akan mati kelaparan. Seorang perwira Aztecpun membalas: jika mereka kehabisan bekal, mereka akan makan orang Spanyol. Rupanya dari bahasa yang dipakai dalam tantang-tantangan inilah --yang biasanya memang dilebih-lebihkan--kisah kanibalisme Aztec antara lain disiarkan. Tak diingat bahwa Cortes sendiripun menyebutkan bukan cuma orang Spanyol yang mengira orang Aztec kanibal, tapi sebaliknya orang Aztec juga menyangka para conquistadores itu pemakan daging manusia. Cerita tentang kanibalisme di pegunungan Papua Nugini juga, menurut Arens, tak pernah terbukti. Di tahun 1950-an di antara suku Fore syahdan terjadi wabah, yang oleh bangsa pribumi disebut kun. Seorang peneliti medis Amerika, D. Carleton Gajdusek yang sedang mengunjungi wilayah itu, 10 bulan kemudian kembali ke AS. Di sana, ia menunjukkan, dalam laboratoriumnya, bahwa penyakit kuru itu disebabkan oleh virus. Prasangka Masalahnya, kemudian, bagaimana virus itu bisa menjalar? Orang ternyata kemudian menyimpulkan bahwa penularan itu terjadi karena mereka yang dijangkiti telah makan daging penderita yang tak cukup matang dimasak. Tapi, kata Arens, walaupun Gajdusek tinggal selama hampir setahun di antara puak primitif itu, tak ada saksi mata yang bisa mengatakan bahwa kanibalisme telah terjadi. Kesimpulan tcntang cara virus menjalar hanyalah akibat dari prasangka semata. Serangan Arens memang berapi-api kepada sikap kaum anthropolog yang memandang rendah bangsa lain yang "belum beradab". Tapi kanibalisme sering memang hanya cerita khayal. Di abad ke-5 Sebelum Masehi, misalnya, Herodotus menulis bahwa lewat batas timur Eropa Laut Tengah, terdapat bangsa "Androphagi", pemakan manusia. Empat ratus tahun kemudian ahli ilmu bumi bangsa Yunani menyatakan bahwa bangsa Ir,landia "lebih buas dari bangsa Briton, karena mereka pemakan-manusia." Kini terbukti orang Irlandia hanya galak dalam melempar bom. Dan tentang potongan tubuh manusia di lemari Kaisar Bokassa? Entahlah. Tapi ada kemungkinan lain: di depan villa itu disebutkan ada sebuah kolam dangkal berisi buaya. Pekan lalu polisi menembak mati semua buaya ganas itu, lalu memeriksa lumpur di dasar kolam. Di sana ditemukan beberapa tulang manusia. Sang Kaisar mungkin memang bengis, tapi yang pemakan orang barangkali cuma buayanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus