Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ada "ka'bah" di Pondok Gede

Wisma haji indonesia di pondok gede menempati tanah seluas 10 ha. memiliki 14 unit asrama yang masing-masing dapat menampung 350 orang, juga dilengkapi dengan lapangan peragaan manasik haji. (ils)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOKOK ayam jantan masih saling bersahutan, sementara cahaya matahari mulai menerangi tanah. Tetapi sejak sebelum subuh, Kyai Mansur telah sibuk. Dan pagi itu, dia telah berada di tengah lapangan yang cukup luas. Mula-mula dilepasnya sarung dan kemejanya. Hadirin, yang terdiri dari ratusan pria dan wanita, dengan cermat mengamatinya. Bertelanjang dada, sang Kyai mengambil selembar kain putih dan berkata: "Pundak kiri kita harus tertutup. Karena itu, caranya demikian bapak-bapak dan ibu-ibu. Lihat nih ....." Di Pondok Gede yang letaknya bertetangga dengan Taman Mini Indonesia itulah, K.H.M. Mansur menjadi penuntun peragaan manasik haji. "Alhamdulillah," ujarnya, "saya paling bersyukur bahwa di Pondok Gede ini peragaannya bisa lengkap." Kini, Wisma Haji Indonesia sudah mempunyai tempat yang tetap. Menempati tanah seluas 10 HA, mempunyai 14 unit asrama (dengan daya tampung sekitar 350 orang setiap unit), kompleks ini baru digarap 8 bulan terakhir. "Jadi jangan kecewa kalau segala sesuatunya belum selesai," ujar seorang pejabat di kompleks tersebut. Telah menghabiskan biaya sebesar Rp 2,6 milyar, kompleks baru ini mempunyai keistimewaan. Yaitu tersedianya lapangan peragaan Manasik Haji dengan Ka'bah tiruan Mas'a dan Jamaraatnya dan "insya Aliah, jamaah bisa mengerti paling tidak 80% yang bisa mereka tangkap untuk bekal di sana," kata Kyai Mansur lagi. Selain itu, kompleks juga dilengkapi dengan sarana mesjid yang bisa menampung 1500 orang. Sebelum di Pondok Gede, peragaan Manasik Haji selalu berpindah-pindah. Asrama terpisah dengan tempat peragaan. Pernah jamaah haji harus berlatih di Senayan. Kemudian rempat "praktikum" itu pindah ke Cilodong dan sebelum menetap di Pondok Gede, terpencar di Cempaka Putih atau di Bukit Duri Tanjakan. Sehingga setiap kali musim haji tiba, suasana selalu menjadi hiruk pikuk dengan jumlah manusia, jumlah kendaraan, orang jualan yang menyulap tempat penampungan sementara itu jadi pasar siang dan pasar malam. "Di sini mah, lebih genah," kata Idris, jamaah haji dari Cirebon. Tambahnya: "Bisa tidur saya. Juga air banyak." Tahun sebelumnya, Idris pernah mengantar saudaranya yang diasramakan di Asrama Ciliwung di Bukit Duri Tanjakan. Halaman Asrama Ciliwung (demikian pula tempat-tempat lain sebelum Pondok Gede) sempit dengan lingkungan yang padat penduduk. Ketenangan sulit didapat, selain mereka cuma bisa herpraktek di depan "Ka'bah" yang terdiri dari selembar papan yang dicat hitam. Beda dengan keadaan komplek yang sekarang. "Ka'bah" Pondol. Kali ini dibuat dengan ukuran yang sebenarnya. Panjang 12 meter dan lebar 10 meter, hanya tingginya saja yang 5 meter, berarti kurang 10 meter dari tinggi Ka'bah yang asli. Lokasi baru ini menampung jamaah, yang kini hanya diangkut dengan pesawat udara, untuk kawasan Jakarta, Kalimantan Barat, Lampung, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Untuk kawasan lain, jamaah bertolak dari Medan atau Surabaya. "Saya selalu pesan agar kita jadi jamaah yang baik di negeri orang," kata Kyai Mansur lagi. Dia sendiri telah 10 kali memberi pelajaran praktikum ini dan telah 5 kali menunaikan Rukun Islam Kelima. "Latihan ini menyegarkan manasik yang sudah dipelajari," kata Mukti Supar dari Sumatera Selatan, "selain ada manfaatnya yang lain, olahraga pagi." Idris yang dari Cirebon menyahut: "Kalau saya senang sama Kyai Mansur. Orangnya lucu dan jelas menerangkan." Kyai Mansur pernah jadi Direktur Penerangan Departemen Agama. Kuliahnya santai. Misalnya ketika dia sudah selesai mengenakan pakaian Ihram. Kyai Mansur menunjukkan sembahyang sunnah dua rakaat dengan bacaannya. Sambil menghadap "Ka'bah", dia berkata: "Dengan pakaian ini, kita pasrah pada Allah. Sebab kalau mati, yang kita bawa juga dua lembar kain putih ini saja." Bukit Syafa' Lanjutnya: "Begitu kita Ihram, rambut tak boleh rontok. Tak boleh pakai wangi-wangian Karena itu, sebelum Ihram, rambut diolesi pomade biar kencang. Ibu-ibu, jangan garuk-garuk rambut, nanti ada yang rontok. Faham ibu itu .. ..". Para jamaah menyambut ucapan sang Kyai dengan ucapanya bersama-sama. Peragaan dilanjutkan dengan bondongan jamaah menuju ke satu sudut, sebelah timur 'Ka'bah" dan dekat pagar asrama -- yang ada papan bertuliskan "Babus Salam". Rombongan kemudian menuju "Hajar Aswad". Mereka lalu berpraktek thawaf. Sambil berkeliling Ka'bah 7 kali, mereka mengucapkan: "Labaik Allalumma Labaik .. Labaik Lasyarika Laka Labaik," dan seterusnya. Kyai Mansur menerangkan bagaimana caranya shalat di maqom (tempat tegak) Nabi Ibrahim. "Mungkin bapak-bapak dan ibu-ibu nantinya tidak bisa mendekati maqom itu seperti di sini," ujarnya, "tapi itu tak perlu. Asal sudah lihat saja, cukuplah." Sampailah mereka pada praktek "Sa'i", yaitu lari kecil antara "Bukit Syafa" dan "Marwah". Titik "Syafa" di Pondok Gede itu tak lain hanyalah gundukan tanah setinggi satu meter. "Marwah" ada di luar pagar asrama, telah mereka capai. "Ibu-ibu, pegangan kuatkuat pada bapak. Tapi jangan sampai sobek kain bapak," ujar Mansur. Dan jamaah yang sedikit terengah-engah itu gerr. "Bapak yang nggak bawa ibunya, jangan ngiri ya. Lain kali berangkat sama ibu. Biar menikmati Sa'i. Acara seperti Tahalul (potong rambut sedikit), pergi ke Arafah, soal bermalam di Muzdalifah dan Mina, cukup diterangkan saja. Peragaan terakhir hanyalah melempar Jurah tujuh kali di "Jumratul Aqabah" dan juga "Jumrah" di "Mina". "Mari kita praktekkan melempar Jumrah," kata Mansur keesokan harinya, "ibu-ibu dulu dan baru menyusul bapak-bapak. Ayo ibu-ibu ...." Para wanita kemudian berebutan melontarkan kerikil ke arah miniatur Jumrah yang terbuat dari papan, bagaikan tugu dengan alas melingkar. "Melemparnya satu-satu, ibu-ibu! Jangan sekaligus, nanti nggak kena semua. Dan jangan kena kepala temannya ya, Bu." Peragaanpun selesai. Awas Kantong Tahun ini, sejak 29 September sampai 25 Oktober, ada 55 rombongan diberangkatkan ke Halim. Pengeras suara tiap kali mengumumkan tentan keberangkatan tiap unit Para jamaah diharuskan bersiap-siap menuju bis yang tersedia. Sementara itu, di luar pagar, ribuan pengantar berdesak-desakan di pintu unit asrama yang jumlahnya ada delapan buah. Setiap kali pengeras suara memberi peringatan "Awas copet, bapak-bapak dan ibu-ibu. Awas barang dan kantong." Pengantar yang ingin menjenguk saudara atau temannya yang diasramakan rata-rata 48 jam itu, telah ditentukan jam kunjungannya yaitu 16.00--18.00. "Tetapi mengaturnya repot," ujar Habiburrahim BA, salah seorang dari 33 petugas di Wisma Haji yang baru itu. Lokasi Wisma Haji yang baru ini dianggap cukup baik. Letaknya di luar kota, tidak begitu jauh dengan lapangan terbang Halim dan hanya 12 km dari pusat Jakarta. Letak bangunan asrama menjorok ke dalam agak ke bawah dan nyaris tampaknya tersembunyi. Asrama dan mesjid berderet dari selatan ke utara dan sejajar dengan jalanan yang telah diaspal di depannya. Tiap lokasi berpagar batako dan bagian depan diberi pagar berkawat. Penanganannya lebih mudah dan bagi para jamaah lebih mapan rasanya. Mungkin ini bisa jadi penglipur lara ketika ongkos Naik Haji melonjak sampai Rp 1.490.000.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus