KNOP 15, sekarang menggigit tukang- krupuk H.T. Rustandar
pengusaha krupuk "Sukacni" di Bandung menunjuk pada lompatan
bahan baku tapioka dari Rp 10 ribu/kwintal menjadi Rp 18 ribu.
Sedangkan minyak goreng dari Rp 300/kg bengkak jadi Rp 490/kg.
Sementara harga tradisional krupuk tetap Rp 5 (kecil) dan yang
besar Rp 10.
"Kami bisa mengatakan rugi terus," kata Rustandar. Ia menunjuk
beberapa pengusaha krupuk sudah mulai menjual hartanya untuk
menjaga kelestarian pabrik. Kalau rugi terus, dikhawatirkan
sekitar 140 buah pabrik krupuk di Bandung akan berhenti
berproduksi. Ini menyangkut nasib 7000 orang pedagang krupuk di
kota itu. Total ada 25 ribu orang terancam pengangguran di
seluruh Jawa Barat.
Daerah Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel di Bandung merupakan
wilayah krupuk. Dua pengusaha asal Tasikmalaya--Sukarma dan
Sahidin--telah memulainya sejak tahun 1930. Mereka begitu
tersohor, sehingga sekarang dua buah gang dinamakan Gang Sukar
dan Sahidin. "Buruh-buruh yang pernah bekerja di pabrik krupuk
mereka, kini tidak sedikit yang sudah bisa berdiri sendiri,"
kata Rustandar (52 tahun) yang jadi pengusaha krupuk sejak 1972.
Bahkan menurut keterangannya dari 250 orang pengusaha krupuk di
Bandung semuanya dulu pernah bekerja pada Suharma dan Sahidin.
Tersebutlah seorang lelaki bernama iudiana. Sejak lulus SD
tahun 1953ia langsung bekerja di pabrik krupuk milik Sahidin di
Jalan Kopo. Mula-mula ia buruh tetap. Sejak 1955 ia banting stir
jadi pengedar krupuk. Selama setahun ia memikul blek besar
keluar-masuk lorong. Karena rajin, ia berhasil membeli 7 buah
blek krupuk. "Hasilnya ternyata lumayan. Tahun 1966 malah krupuk
itu tidak saya pikul lagi, tapi sudah dibawa dengan sepeda.
Sepeda dengan krupuk di bagasi hasil ciptaan saya sendiri," kata
Sudiana (36 tahun) kepada TEMPO.
Sedikit demi sedikit kemudian Sudiana menumpuk laba. Hanya
setahun kemudian (1967 ia berhasil membeli tanah 15 tumbak.
Waktu itu harga tanah di pinggiran Bandung masih murah. Sahidin,
bos Sudiana kemudian tertarik pada keuletan, kerajinan dan
kejujuran bawahannya itu. Akhirnya diangkatnya jadi menantu. Di
sinilah awalnya Sudiana punya fikiran untuk bikin pabrik
sendiri. Sekarang kaiau kita ke Jalan Kopo akan terlihat salah
satu pabrik pakai merek "Sudiana". "Saya pernah dipukul anak
tukang warung waktu jadi pengedar krupuk, karena terus menerus
menagih," kata Sudiana mengenang kepahitan di masa lalu. Setelah
memuku bukannya bayar, malahan ganti langganan.
Tidak semua pengedar krupuk bernasib baik. Harun, 23 tahun,
setiap hari harus bekerja 6 jam, menempuh radius 7 km jalan di
Kota Bandung. Ia masih jadi pengedar krupuk. Sehari keuntungan
yang disadapnya sekitar Rp 1000 sampai Rp 2000. "Tapi uang
sekian, yah, cukup untuk makan saja, sudah untung waktu
sekarang," ujarnya. Ia punya langganan 30 warung. Kalau sudah
mulai hujan, hanya separuhnya berhasil didatangi. "Susahnya
kalau langganan sukar ditagih. Padahal, ada atau tidak ada uang
masuk, storan ke pabrik tetap harus dipenuhi," kata ayah dari
seorang anak ini.
Ditolak Warung
Di pihak pengusaha, kembali pada Rustandar yang memulai usahanya
sejak 1972 dengan 4 orang buruh dan 3 pengedar. Pada tahun 1977
buruhnya meningkat jadi 30 orang, sedangkan pengedarnya sudah 50
orang. Setelah Knop 15 ia pernah berusaha menaikkan harga
krupuk, tetapi tukang-tukang warung menolak. Kini ia berusaha
bertahan. Pernah dapat permintaan krupuk dari Negeri Belanda
dalam jumlah besar. "Tapi ya bagaimana kami bisa melayaninya,
sedangkan alat-alat masih serba tradisional dan modal
morat-marit," kata pensiunan TNI-AD itu.
Di Jakarta, Toha asal Ciamis, berkata "Waktu zaman revolusi
orang-orang pada teriak merdeka, saya sudah mikul krupuk." Waktu
itu usianya masih belasan tahun. Ketika 1949 ia pindah ke
Jakarta, ia melanjutkan pengabdiannya pada krupuk di sebuah
pabrik milik H. Kodir di Menteng Atas. "Dulu berdagang krupuk
agak lumayan, belum banyak saingan. Masih sepi. Jarak tiap
warung juga jauh-jauh," ujarnya.
Tahun 1951 ia tergoda untuk bikin pabrik sendiri. Bersama 3
rekannya orang Tasik, ia berangkat ke Malang --Jawa Timur.
Tepatnya Desa Krebet. Dengan modal Rp 27 ribu plus peralatan
dari Tasik, terwujudlah mimpinya itu. Mula-mula bintangnya
terang. Ia pun makin ulet. Segala macam cobaan ia hadapi.
Termasuk pernah tidur di kuburan, karena daerahnya kebanjiran.
Sementara harga sebuah mobil truk hanya Rp 50 ribu --waktu itu,
ia sudah sempat mengantongi sampai jumlah Rp 550 ribu dari hasil
krupuk saja. Tetapi karena patah hati gara-gara pacar, hidupnya
mulai tak tenang. Untuk menyembuhkan jiwanya, selama 2 tahun ia
gentayangan. Pabriknya tidak terurus. Dijual pada saudaranya dan
berhenti jadi juragan pada 1959.
Pada 1971 Toha kembali ke Menteng Atas, Jakarta. Bekerja di
pabrik krupuk milik H. Apip. Badannya sudah tambah ringkih.
Sehari ia hanya bisa menjual 1000 lembar krupuk. Penghasilannya
Rp 2.000 tiap hari. Seminggu sekali ia harus minum jamu. Bulan
lalu keponakannya datang dari Malang, sedih melihat nasib orang
tua ini. Dia diajak kembali ke Malang untuk mencoba usaha lagi,
tapi Toha belum memberikan jawaban. Padahal sebagai pedagang
krupuk di Jakarta nasibnya begitu-begitu saja. "Apalagi kalau
diusir yang punya rumah waktu kita sedang berteduh di emper,
sedang hujan deras," ungkapnya.
"Yang paling terasa capek di pundak dan paha," Galih (25 tahun)
menceritakan pengalamannya keliling berjalan kaki menjajakan
krupuk. Ia juga mengambil krupuk di Menteng Atas. Ia pernah
sekolah sampai kelas II SMP. Berhenti karena teman-teman
sekampungnya pada berhenti, lalu lari ke Jakarta jadi penjual
krupuk. Bersama 24 rekan lainnya ia tinggal dalam asrama khusus
bagi penjual krupuk. Sebuah rumah dengan petak-petak kamar
-ietiap petak menampung 4 jiwa. Petakpetak ini disediakan oleh
juragan, si pemilik pabrik.
Setiap kali habis berkeliling menawarkan dagangannya, Galih
pesan 1000 krupuk lagi pada juragan untuk esoknya. Bersama
pedagang-pedagang lainnya, krupuk itu kemudian digoreng sendiri.
Ada dua tahap dalam menggoreng. Mula-mula dengan minyak setengah
panas, kemudian minyak panas, untuk mendapat krupuk yang mekar.
Biasanya tukang krupuk punya kelompok-kelompok dalam menggoreng,
setiap kelompok beranggota 4 orang.
Rahasia Pedagang
Krupuk yang dikembalikan oleh warung, tidak dibuang. Dicampur
bersama yang baru. "Krupuk yang agak lembek itu bakal jadi
kering kembali kalau dicampur dengan yang baru. Tapi ini sih
rahasia pedagang sebenarnya," kata Galih. Ia sendiri kadangkala
sulit membedakan krupuk baru atau krupuk sisa setelah dipanasi
kembali.
"Kalau tak salah, sudah 3 tahun ini harga krupuk tetap saja Rp
5," kata Partoyo (35 tahun) pedagang krupuk keliling di Yogya.
Kenapa harga krupuk tidak naik, sedangkan bahan bakunya
melonjak? Dijawab oleh pedagang yang setiap-hari menempuh 30 km
itu dengan tenang. "Pembeli krupuk itu tidak teliti mas. Krupuk
itu besarnya sama karena angin. Coba, makan krupuk sekarang kan
seperti angin. Begitu sampai di lidah, seperti hilang. Dulu kan
tidak?"
"Untuk menaikkan harga krupuk salah satu jalannya dengan
mempcrkecil ukuran krupuknya," kata Duki (59 tahun), pemilik
perusahaan krupuk DK di Gandekan Lor, Yogya. Itulah yang
dilakukannya sejak Knop 15, sehingga krupuk yang kini berharga
Rp 10 sama dengan krupuk seharga Rp 5 dulu. Ia percaya
perusahaan krupuk Yogya--sekitar 15 buah -- tidak akan mungkin
gulung tikar. "Yang penting kelincahan perusahaan itu sendiri
dalam menanggapi situasi," katanya.
Perusahaan krupuk DK berdiri tahun 1934. Dimulai dengan 8 buruh.
Pada tahun 1970/1971 usaha itu berkembang. Kini dapat dikatakan
sedang mengalami masa jaya. Buruhnya 38 orang dengan 58 orang
penjaja. Setiap hari menghabiskan 4 kwintal tapioka dengan hasil
88 ribu krupuk setiap hari. "Terjual habis setiap hari," kata
Duki.
Karsana (60 tahun) membuka usaha krupuk di Gowongan--masih di
Yogya -- kecil-kecilan. Ia hanya memproduksi 1000 krupuk setiap
hari. Kenaikan bahan baku dihadapinya dengan akal persis seperti
apa yang dilakukan Duki. Ia sudah membuka usaha sejak zaman
penjajahan. Di tahun 1945 ia mencatat sejarah emas. Pekerjanya
waktu itu sudah 40 orang. Pada tahun 1965 ia jatuh karena tidak
bersemangat lagi. "Sejak itu saya kerja menurut yang jual. Kalau
ada yang jual saya kerja," kata Karsana. Kini ia hanya punya 2
penjaja. "Saya ingin cari pekerja, tapi tak kuat bayar, habis
bahan naik terus," ujarnya.
Di Cirebon ada perusahaan krupuk bernama Harum, milik Toto
Suharto (45 tahun). Pabrik ini didirikan sejak 1962 dengan omzet
30 ribu sehari. Sebelum Knop 15 kelihatannya perusahaan ini
sehat. Setelah harga jumpalitan Toto mencoba menaikkan harga
krupuk dari Rp 5 menjadi Rp 10. "Tidak laku. Sebab jangan lupa,
konsumen krupuk adalah masyarakat kelas bawah di Cirebon,"
ujarnya.
Koperasi Krupuk
Toto mengaku rugi Rp 100 ribu setiap bulan. Tapi ia mencoba
terus bertahan. "Sekedar menahan nafas dan menghidupi pekerja
yang sudah lama. Saya hanya menampung tenaga yang sudah tidak
bisa melanjutkan sekolah," ujar Toto. Tetapi rupanya ia tak kuat
bertahan lama. "Saya paling bisa bertahan cuma 2 bulan merugi,
kalau bulan ini harga tapioka tidak turun, dengan berat hati
terpaksa saya menutup pabrik. Buat apa diteruskan kalau rugi,"
keluhnya. Kemudian masih disambungnya lagi: "Saya punya kaleng
krupuk di warung sekitar 1500 buah. Kalau pabrik saya tutup --
berarti kaleng itupun tidak kembali."
Toto mengaku, sebagai pengusaha krupuk ia pernah menikmati
untung lumayan. Dari 30.000 lembar krupuk yang dijualnya, ia
bisa menyisihkan untung sehingga mampu menyekolahkan anak dan
membeli kendaraan. "Meski begitu bukan berarti pengusaha krupuk
selalu senang," ujarnya, "kalau musim hujan tiba, krupuk
terpaksa dipanggang di atas api untuk menggantikan sinar
matahari. Ini berarti penambahan pengeluaran bahan bakar."
Akibatnya krupuk kurang gurih dan Toto harus bersedia menerima
omelan.
Untuk menghadapi berbagai macam kemungkinan mengenai krupuk, di
Bandung sudah mulai ada gerakan. Pada 23 September yang lalu, 30
pengusaha krupuk mendirikan Koperasi Industri Krupuk Tradisionil
Bandung (KIKTB). Rustandar yang sudah kita sebut-sebut di atas
jadi ketua. Tujuannya antara lain untuk menguasai peredaran
tapioka sendiri. Menghimpun modal dan meningkatkan mutu. Dan
agaknya mereka sedang mengharapkan uluran tangan dari
Pemerintah.
Paling tidak yang diharapkan adalah penyaluran tapioka harus
lewat KUD. Bayangkan saja harga singkong dari petani dibeli oleh
pengusaha nonpri Rp 14 per kg. Setelah jadi tepung, dijual
kepada pengusaha krupuk Rp 17.000 sampai Rp 21.000 per kwintal.
"Kalau singkong dibeli KUD dan usaha tapioka dilola oleh pribumi
insya Allah petani singkong akan tertolong. Pabrik krupuk akan
semarak kembali. Kan krupuk salah satu kekayaan bangsa kita
juga," kata Rustandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini