Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Krupuk dalam bahaya

Pengusaha krupuk di bandung terancam tutup. harga krupuk dinaikkan ditolak pedagang, sedangkan harga bahan baku naik. mengatasinya dengan mendirikan koperasi industri krupuk tradisional bandung (kiktb).(sd)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KNOP 15, sekarang menggigit tukang- krupuk H.T. Rustandar pengusaha krupuk "Sukacni" di Bandung menunjuk pada lompatan bahan baku tapioka dari Rp 10 ribu/kwintal menjadi Rp 18 ribu. Sedangkan minyak goreng dari Rp 300/kg bengkak jadi Rp 490/kg. Sementara harga tradisional krupuk tetap Rp 5 (kecil) dan yang besar Rp 10. "Kami bisa mengatakan rugi terus," kata Rustandar. Ia menunjuk beberapa pengusaha krupuk sudah mulai menjual hartanya untuk menjaga kelestarian pabrik. Kalau rugi terus, dikhawatirkan sekitar 140 buah pabrik krupuk di Bandung akan berhenti berproduksi. Ini menyangkut nasib 7000 orang pedagang krupuk di kota itu. Total ada 25 ribu orang terancam pengangguran di seluruh Jawa Barat. Daerah Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel di Bandung merupakan wilayah krupuk. Dua pengusaha asal Tasikmalaya--Sukarma dan Sahidin--telah memulainya sejak tahun 1930. Mereka begitu tersohor, sehingga sekarang dua buah gang dinamakan Gang Sukar dan Sahidin. "Buruh-buruh yang pernah bekerja di pabrik krupuk mereka, kini tidak sedikit yang sudah bisa berdiri sendiri," kata Rustandar (52 tahun) yang jadi pengusaha krupuk sejak 1972. Bahkan menurut keterangannya dari 250 orang pengusaha krupuk di Bandung semuanya dulu pernah bekerja pada Suharma dan Sahidin. Tersebutlah seorang lelaki bernama iudiana. Sejak lulus SD tahun 1953ia langsung bekerja di pabrik krupuk milik Sahidin di Jalan Kopo. Mula-mula ia buruh tetap. Sejak 1955 ia banting stir jadi pengedar krupuk. Selama setahun ia memikul blek besar keluar-masuk lorong. Karena rajin, ia berhasil membeli 7 buah blek krupuk. "Hasilnya ternyata lumayan. Tahun 1966 malah krupuk itu tidak saya pikul lagi, tapi sudah dibawa dengan sepeda. Sepeda dengan krupuk di bagasi hasil ciptaan saya sendiri," kata Sudiana (36 tahun) kepada TEMPO. Sedikit demi sedikit kemudian Sudiana menumpuk laba. Hanya setahun kemudian (1967 ia berhasil membeli tanah 15 tumbak. Waktu itu harga tanah di pinggiran Bandung masih murah. Sahidin, bos Sudiana kemudian tertarik pada keuletan, kerajinan dan kejujuran bawahannya itu. Akhirnya diangkatnya jadi menantu. Di sinilah awalnya Sudiana punya fikiran untuk bikin pabrik sendiri. Sekarang kaiau kita ke Jalan Kopo akan terlihat salah satu pabrik pakai merek "Sudiana". "Saya pernah dipukul anak tukang warung waktu jadi pengedar krupuk, karena terus menerus menagih," kata Sudiana mengenang kepahitan di masa lalu. Setelah memuku bukannya bayar, malahan ganti langganan. Tidak semua pengedar krupuk bernasib baik. Harun, 23 tahun, setiap hari harus bekerja 6 jam, menempuh radius 7 km jalan di Kota Bandung. Ia masih jadi pengedar krupuk. Sehari keuntungan yang disadapnya sekitar Rp 1000 sampai Rp 2000. "Tapi uang sekian, yah, cukup untuk makan saja, sudah untung waktu sekarang," ujarnya. Ia punya langganan 30 warung. Kalau sudah mulai hujan, hanya separuhnya berhasil didatangi. "Susahnya kalau langganan sukar ditagih. Padahal, ada atau tidak ada uang masuk, storan ke pabrik tetap harus dipenuhi," kata ayah dari seorang anak ini. Ditolak Warung Di pihak pengusaha, kembali pada Rustandar yang memulai usahanya sejak 1972 dengan 4 orang buruh dan 3 pengedar. Pada tahun 1977 buruhnya meningkat jadi 30 orang, sedangkan pengedarnya sudah 50 orang. Setelah Knop 15 ia pernah berusaha menaikkan harga krupuk, tetapi tukang-tukang warung menolak. Kini ia berusaha bertahan. Pernah dapat permintaan krupuk dari Negeri Belanda dalam jumlah besar. "Tapi ya bagaimana kami bisa melayaninya, sedangkan alat-alat masih serba tradisional dan modal morat-marit," kata pensiunan TNI-AD itu. Di Jakarta, Toha asal Ciamis, berkata "Waktu zaman revolusi orang-orang pada teriak merdeka, saya sudah mikul krupuk." Waktu itu usianya masih belasan tahun. Ketika 1949 ia pindah ke Jakarta, ia melanjutkan pengabdiannya pada krupuk di sebuah pabrik milik H. Kodir di Menteng Atas. "Dulu berdagang krupuk agak lumayan, belum banyak saingan. Masih sepi. Jarak tiap warung juga jauh-jauh," ujarnya. Tahun 1951 ia tergoda untuk bikin pabrik sendiri. Bersama 3 rekannya orang Tasik, ia berangkat ke Malang --Jawa Timur. Tepatnya Desa Krebet. Dengan modal Rp 27 ribu plus peralatan dari Tasik, terwujudlah mimpinya itu. Mula-mula bintangnya terang. Ia pun makin ulet. Segala macam cobaan ia hadapi. Termasuk pernah tidur di kuburan, karena daerahnya kebanjiran. Sementara harga sebuah mobil truk hanya Rp 50 ribu --waktu itu, ia sudah sempat mengantongi sampai jumlah Rp 550 ribu dari hasil krupuk saja. Tetapi karena patah hati gara-gara pacar, hidupnya mulai tak tenang. Untuk menyembuhkan jiwanya, selama 2 tahun ia gentayangan. Pabriknya tidak terurus. Dijual pada saudaranya dan berhenti jadi juragan pada 1959. Pada 1971 Toha kembali ke Menteng Atas, Jakarta. Bekerja di pabrik krupuk milik H. Apip. Badannya sudah tambah ringkih. Sehari ia hanya bisa menjual 1000 lembar krupuk. Penghasilannya Rp 2.000 tiap hari. Seminggu sekali ia harus minum jamu. Bulan lalu keponakannya datang dari Malang, sedih melihat nasib orang tua ini. Dia diajak kembali ke Malang untuk mencoba usaha lagi, tapi Toha belum memberikan jawaban. Padahal sebagai pedagang krupuk di Jakarta nasibnya begitu-begitu saja. "Apalagi kalau diusir yang punya rumah waktu kita sedang berteduh di emper, sedang hujan deras," ungkapnya. "Yang paling terasa capek di pundak dan paha," Galih (25 tahun) menceritakan pengalamannya keliling berjalan kaki menjajakan krupuk. Ia juga mengambil krupuk di Menteng Atas. Ia pernah sekolah sampai kelas II SMP. Berhenti karena teman-teman sekampungnya pada berhenti, lalu lari ke Jakarta jadi penjual krupuk. Bersama 24 rekan lainnya ia tinggal dalam asrama khusus bagi penjual krupuk. Sebuah rumah dengan petak-petak kamar -ietiap petak menampung 4 jiwa. Petakpetak ini disediakan oleh juragan, si pemilik pabrik. Setiap kali habis berkeliling menawarkan dagangannya, Galih pesan 1000 krupuk lagi pada juragan untuk esoknya. Bersama pedagang-pedagang lainnya, krupuk itu kemudian digoreng sendiri. Ada dua tahap dalam menggoreng. Mula-mula dengan minyak setengah panas, kemudian minyak panas, untuk mendapat krupuk yang mekar. Biasanya tukang krupuk punya kelompok-kelompok dalam menggoreng, setiap kelompok beranggota 4 orang. Rahasia Pedagang Krupuk yang dikembalikan oleh warung, tidak dibuang. Dicampur bersama yang baru. "Krupuk yang agak lembek itu bakal jadi kering kembali kalau dicampur dengan yang baru. Tapi ini sih rahasia pedagang sebenarnya," kata Galih. Ia sendiri kadangkala sulit membedakan krupuk baru atau krupuk sisa setelah dipanasi kembali. "Kalau tak salah, sudah 3 tahun ini harga krupuk tetap saja Rp 5," kata Partoyo (35 tahun) pedagang krupuk keliling di Yogya. Kenapa harga krupuk tidak naik, sedangkan bahan bakunya melonjak? Dijawab oleh pedagang yang setiap-hari menempuh 30 km itu dengan tenang. "Pembeli krupuk itu tidak teliti mas. Krupuk itu besarnya sama karena angin. Coba, makan krupuk sekarang kan seperti angin. Begitu sampai di lidah, seperti hilang. Dulu kan tidak?" "Untuk menaikkan harga krupuk salah satu jalannya dengan mempcrkecil ukuran krupuknya," kata Duki (59 tahun), pemilik perusahaan krupuk DK di Gandekan Lor, Yogya. Itulah yang dilakukannya sejak Knop 15, sehingga krupuk yang kini berharga Rp 10 sama dengan krupuk seharga Rp 5 dulu. Ia percaya perusahaan krupuk Yogya--sekitar 15 buah -- tidak akan mungkin gulung tikar. "Yang penting kelincahan perusahaan itu sendiri dalam menanggapi situasi," katanya. Perusahaan krupuk DK berdiri tahun 1934. Dimulai dengan 8 buruh. Pada tahun 1970/1971 usaha itu berkembang. Kini dapat dikatakan sedang mengalami masa jaya. Buruhnya 38 orang dengan 58 orang penjaja. Setiap hari menghabiskan 4 kwintal tapioka dengan hasil 88 ribu krupuk setiap hari. "Terjual habis setiap hari," kata Duki. Karsana (60 tahun) membuka usaha krupuk di Gowongan--masih di Yogya -- kecil-kecilan. Ia hanya memproduksi 1000 krupuk setiap hari. Kenaikan bahan baku dihadapinya dengan akal persis seperti apa yang dilakukan Duki. Ia sudah membuka usaha sejak zaman penjajahan. Di tahun 1945 ia mencatat sejarah emas. Pekerjanya waktu itu sudah 40 orang. Pada tahun 1965 ia jatuh karena tidak bersemangat lagi. "Sejak itu saya kerja menurut yang jual. Kalau ada yang jual saya kerja," kata Karsana. Kini ia hanya punya 2 penjaja. "Saya ingin cari pekerja, tapi tak kuat bayar, habis bahan naik terus," ujarnya. Di Cirebon ada perusahaan krupuk bernama Harum, milik Toto Suharto (45 tahun). Pabrik ini didirikan sejak 1962 dengan omzet 30 ribu sehari. Sebelum Knop 15 kelihatannya perusahaan ini sehat. Setelah harga jumpalitan Toto mencoba menaikkan harga krupuk dari Rp 5 menjadi Rp 10. "Tidak laku. Sebab jangan lupa, konsumen krupuk adalah masyarakat kelas bawah di Cirebon," ujarnya. Koperasi Krupuk Toto mengaku rugi Rp 100 ribu setiap bulan. Tapi ia mencoba terus bertahan. "Sekedar menahan nafas dan menghidupi pekerja yang sudah lama. Saya hanya menampung tenaga yang sudah tidak bisa melanjutkan sekolah," ujar Toto. Tetapi rupanya ia tak kuat bertahan lama. "Saya paling bisa bertahan cuma 2 bulan merugi, kalau bulan ini harga tapioka tidak turun, dengan berat hati terpaksa saya menutup pabrik. Buat apa diteruskan kalau rugi," keluhnya. Kemudian masih disambungnya lagi: "Saya punya kaleng krupuk di warung sekitar 1500 buah. Kalau pabrik saya tutup -- berarti kaleng itupun tidak kembali." Toto mengaku, sebagai pengusaha krupuk ia pernah menikmati untung lumayan. Dari 30.000 lembar krupuk yang dijualnya, ia bisa menyisihkan untung sehingga mampu menyekolahkan anak dan membeli kendaraan. "Meski begitu bukan berarti pengusaha krupuk selalu senang," ujarnya, "kalau musim hujan tiba, krupuk terpaksa dipanggang di atas api untuk menggantikan sinar matahari. Ini berarti penambahan pengeluaran bahan bakar." Akibatnya krupuk kurang gurih dan Toto harus bersedia menerima omelan. Untuk menghadapi berbagai macam kemungkinan mengenai krupuk, di Bandung sudah mulai ada gerakan. Pada 23 September yang lalu, 30 pengusaha krupuk mendirikan Koperasi Industri Krupuk Tradisionil Bandung (KIKTB). Rustandar yang sudah kita sebut-sebut di atas jadi ketua. Tujuannya antara lain untuk menguasai peredaran tapioka sendiri. Menghimpun modal dan meningkatkan mutu. Dan agaknya mereka sedang mengharapkan uluran tangan dari Pemerintah. Paling tidak yang diharapkan adalah penyaluran tapioka harus lewat KUD. Bayangkan saja harga singkong dari petani dibeli oleh pengusaha nonpri Rp 14 per kg. Setelah jadi tepung, dijual kepada pengusaha krupuk Rp 17.000 sampai Rp 21.000 per kwintal. "Kalau singkong dibeli KUD dan usaha tapioka dilola oleh pribumi insya Allah petani singkong akan tertolong. Pabrik krupuk akan semarak kembali. Kan krupuk salah satu kekayaan bangsa kita juga," kata Rustandar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus