Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon seluler Imam Supriyanto menjerit-jerit. Bekas Menteri Peningkatan Produksi Pangan Negara Islam Indonesia itu tak menggubris panggilan tersebut karena tengah menjadi narasumber di sebuah acara stasiun televisi swasta. Seusai acara, awal Mei lalu, ia menghubungi balik nomor tersebut. Di ujung sana, bekas koleganya di Yayasan Pesantren Indonesia, Dani Ramdani, memberi kabar yang membuatnya kaget. "Ia memberi tahu nama saya sudah dicoret dari yayasan," kata Imam.
Ganjil atas pemecatan sepihak, Imam berangkat menuju Subang, Jawa Barat. Yang dituju kantor notaris Ii Rokayah Sulaeman, notaris yayasan. Karena Ii sudah pensiun, Imam berurusan dengan Tommy Soerjakantjana, anak Ii yang mengambil alih kantor notaris itu. Setelah mendapat akta perubahan pengurus yayasan, Imam baru percaya namanya memang benar dicoret. Hanya, tanda tangannya dipalsukan seolah-olah ia mengajukan pengunduran diri.
Didirikan pada 24 Januari 1994, menurut Imam, yayasan itu merupakan kamuflase usaha pencarian dana Negara Islam Indonesia (NII). Pencetusnya, Imam NII Komandemen Wilayah 9 Panji Gumilang. Panji belakangan menjadi ketua pembina yayasan. Tercatat dalam akta pendirian pertama, nama Imam dan Syarwani sebagai pendiri. Keduanya dianggap kader NII yang tidak sedang diburu polisi. "Struktur yayasan cuma pendiri. Saat itu Panji juga bukan pengurus," katanya.
Pada tahun-tahun awal, pemasukan yayasan bergantung pada iuran anggota dan setoran pengurus daerah. Kisarannya Rp 50 ribu sampai Rp 250 ribu. Sedangkan setoran pengurus daerah dipatok Rp 25 juta per bulan. Menurut Sofwan Ardyanto, bekas anggota NII yang pernah menjadi camat dalam struktur NII, target setoran pengurus daerah bisa dipenuhi dengan membaiat anggota NII. Setiap orang yang mau menjadi anggota NII, kata Sofwan, dikenai setoran Rp 20 juta. Semua dana masuk ke rekening yayasan atas nama Panji Gumilang dan Imam.
Pada tahun-tahun itu, kata Imam, yayasan bisa mengantongi Rp 10 miliar per bulannya. Kuncinya, semakin banyak orang yang masuk NII, jumlah setoran semakin banyak pula. Yayasan, yang saat itu berkantor di Subang, juga memfasilitasi warga negara yang ingin meminjamkan emas (qirad) ke negara melalui yayasan. Emas dalam tempo tertentu akan dikembalikan. Selama lima tahun sejak qirad emas itu diberlakukan, sudah terkumpul 2 ton emas. "Sebagian disimpan di bank, sebagian untuk membangun Pesantren (Ma’had) Al-Zaytun," kata Imam.
Dengan dibangunnya Ma’had Al-Zaytun di Indramayu yang menelan dana Rp 250 miliar lebih, mesin uang yayasan berputar cepat. Pundi-pundi yayasan mengalir dari segala arah. Untuk menjadi santri di pesantren, setiap calon dipungut US$ 3.500. Ketika menjelang pemilu, ujar Imam, yayasan juga digerojoki dana dari partai, calon kepala daerah, ataupun calon presiden yang ingin didukung Al-Zaytun. Belum dari hasil kelola 700 hektare sawah di Subang, Jawa Barat. Sebulan, kata Imam, bisa ratusan miliar rupiah masuk ke kas yayasan.
Asetnya juga terus bertambah. Di antaranya adalah empat unit bangunan sekolah Al-Zaytun yang masing-masing senilai Rp 25 miliar, dan gedung Masjid Rahmatan Lil Alamin senilai Rp 100 miliar. Ada juga Gedung Soeharto senilai Rp 40 miliar dan lapangan sepak bola yang biaya pembangunannya sekitar Rp 25 miliar. Aset lain berupa belasan alat berat yang disewakan.
Pada akhir 2005, struktur kepengurusan yayasan dirombak. Nama yang semula hanya sebagai pendiri diubah menjadi pembina, pengurus harian, dan pengawas. Dalam struktur baru ini, Panji mulai memasukkan anggota keluarganya. Abdul Halim, keponakannya, ditunjuk sebagai anggota pembina. Sedangkan anaknya, Imam Prawoto, ia angkat sebagai pengurus harian. Panji sendiri menjadi ketua pembina yayasan.
Namun bibit kongsi Al-Zaytun mulai pecah pada 2002. Saat itu Panji mulai menggunakan uang yayasan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Keuangan yayasan pun tidak pernah diaudit. Adik Panji, Agung Sedayu, misalnya, pernah meminjam uang Rp 3,25 miliar untuk bisnis batu bara. "Uangnya hilang karena proyeknya fiktif," kata Imam.
Terhadap semua tuduhan yang menyebutnya memakai uang yayasan, Panji Gumilang menjawab, "Semua itu tidak benar."
Anton Aprianto, Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo