Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampan berwarna abu-abu terus menyusuri tambak itu. Dengan tambak seluas 1,5 hektare dan matahari yang berada di ubun-ubun, Slamet mencabuti rumput laut dan mengumpulkannya ke sampan. Di pasaran, harga komoditas tambak itu turun dari Rp 3.800 menjadi Rp 3.300 per kilogram, ”Karena isu pencemaran limbah lumpur Lapindo,” ujar warga Desa Tegalsari, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.
Tidak hanya rumput laut, harga bandeng juga anjlok. Sebelumnya harganya Rp 15 ribu per kilogram, kini cuma mencapai setengahnya. Nasib udang bakal lebih buruk. Iwan Hamzah, Koordinator Paguyuban Petani Tambak Tradisional Sidoarjo, meramalkan bahwa petambak udang bakal gulung tikar kalau lumpur panas dibuang ke Selat Madura.
Kecamatan Jabon memang terdiri dari pertambakan seluas 1.600 hektare. Kecamatan ini menjadi pembatas antara Selat Madura dan Kecamatan Porong, pusat semburan lumpur. Sejak 29 Mei, setiap hari sekitar 50 ribu meter kubik lumpur panas muncrat dari perut bumi setelah PT Lapindo Brantas Inc. gagal melakukan pengeboran sumur gas.
Karena kontur tanahnya lebih rendah dan dibelah Kali Porong, secara alamiah lumpur bakal mengalir ke Jabon. Tak ayal, para petambak yang jaraknya 17 kilometer dari Porong terus menyuarakan kerisauannya terhadap Lusi, nama beken lumpur Sidoarjo. Beruntung, Syaiful Illah, yang juga memiliki tambak, kini menjadi Wakil Bupati Sidoarjo. ”Saya akan berusaha supaya tambak tak tercemar,” katanya, Rabu pekan lalu.
Skenario mengalirkan lumpur ke Ka-li Porong kemudian disisihkan. PT La-pindo Brantas langsung mendatangkan pipa berdiameter 50 sentimeter untuk mengalirkan air lumpur menyusuri bantaran Kali Porong. Sejak pekan lalu, penyambungan pipa itu sudah dimulai.
Rewindra, General Manager East Java PT Lapindo Brantas, menjelaskan pipa itu akan membuang air dari kolam penampungan di Desa Mindi ke pantai di Desa Tegalsari (lihat infografik). Dari bibir pantai, pipa itu masuk ke laut sejauh 3 kilometer. ”Target pemasangan pipa harus selesai sebelum musim hujan,” katanya.
Keputusan membuang air lumpur ke laut diambil melalui proses panjang. Kementerian Lingkungan Hidup dan aktivis lembaga swadaya masyarakat awalnya menolak gagasan itu. Mereka berdalih, langkah itu bakal mengancam areal tambak seluas 6.800 hektare di Jabon dan kecamatan pesisir lainnya.
Tidak hanya itu, lumpur juga bisa merusak ekosistem Kali Porong dan Selat Madura. Lumpur yang bersifat koloid tentunya bakal menyulitkan pro-ses rehabilitasi dan berdampak pada penurunan pendapatan 4.300 nelayan Si-doarjo.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kemudian memberikan lampu hijau setelah melihat gagal-nya dua skenario penghentian lumpur dan jebolnya tanggul di beberapa desa. Apalagi musim hujan diperkirakan mulai turun November. Maka, ”Keharusan mengolah air lumpur tak dapat ditawar-tawar lagi,” kata Rachmat.
Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Pencemar-an, Mohammad Gempur Adnan, menga-takan Lapindo sedang menyeleksi vendor yang bakal melakukan pengolahan lumpur. ”Harus ada beberapa vendor karena volume lumpurnya sangat besar,” kata Adnan, Rabu pekan lalu, se-usai rapat di Bapedal Jawa Timur.
General Manager Lapindo Brantas Inc., Imam Agustino, mengatakan alat pengolah didatangkan dari Australia yang, ”mampu mengolah hingga separuh dari semburan yang mencapai 50 ribu meter kubik per hari,” katanya. Lapindo juga mendatangkan alat pemisah lumpur dari Kalimantan.
Kolam pengolahan air lumpur ini akan bekerja di dekat kolam 5, kolam 2, dan kolam 3. Air yang berada di dalam kolam-kolam itu dipompa dan disalurkan ke kolam pengolahan. Sebagian air ini juga dipompa ke kolam lain untuk mencairkan lumpur agar bisa mengalir. ”Selain menggunakan mesin, kami juga menyiapkan sistem pengendapan,” kata Imam. Menurut dia, desain pengendapan lumpur diserahkan ke Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS).
Saat ini ITS sedang mencoba satu unit instalasi pengolah air yang memiliki kapasitas 30 hingga 40 meter kubik per jam. Dalam sehari, ia mampu mengolah sekitar 200 meter kubik. Jika sehari diasumsikan ada 60 ribu meter kubik yang tersembur dari perut bumi, ”Setidaknya dibutuhkan 6 unit instalasi pengolah air untuk mampu mengolah 20 persen semburan,” kata Prof Dr Noor Endah, juru bicara tim ahli ITS untuk menangani semburan lumpur.
Menurut Noor Endah, timnya segera me-masang satu unit di dekat kolam pe-nampungan. Diakui, ada kendala men-dapatkan lokasi dengan cepat karena ji-ka lambat bisa terendam lumpur. Selain itu, ”Harus segera ada keputusan tek-nologi mana yang digunakan,” katanya.
Enam vendor dengan metode yang berbeda-beda itu sudah mengajukan proposal pemisahan lumpur dan air. Ada yang memakai metode cyclone, envirotube, serta coagulation dan sedimentation, yakni air yang terpisah dari lumpur kemudian diolah lagi di kolam penampungan sebelum dibuang ke laut. Target pembuangan air ke laut mulai 22 September.
Namun, persoalan masih menganga karena ada dua hal yang belum jelas. Pertama, penanganan lumpur padat yang makin lama makin membukit. Dari semburan lumpur diperkirakan 70 persennya berupa bahan cair, sedangkan sisanya adalah benda padat. Sampai 31 Agustus nanti, Institut Teknologi Surabaya memperkirakan jumlah lumpur yang keluar mencapai 4,3 juta meter kubik. Mau diapakan 1,2 juta lumpur padat ini?
Persoalan kedua, belum jelasnya institusi yang berkewajiban memonitor teknologi pengolahan lumpur sehingga air yang dihasilkan memenuhi baku mutu. Padahal, lumpur yang menyembur dari perut bumi Porong tak ramah untuk lingkungan. Penelitian yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum/Bina Marga Jawa Timur beberapa waktu lalu menemukan kandungan fenol yang cukup tinggi.
Peneliti ITS, Lily Pudjiastuti, malah mendapati 9 dari 10 kandungan fisik dan kimia yang dijadikan parameter baku mutu air telah jauh melampaui ambang batas limbah. Sebagai contoh, kandung-an merkuri (Hg) yang didapati 2,565 mg/liter Hg, padahal ambang batasnya 0,002 mg/liter Hg.
Andai merkuri sampai masuk ke Selat Madura, tragedi Minamata di Jepang bisa saja terulang. Apalagi air itu bakal bergerak sesuai dengan arus dan ombak, sehingga tidak tertutup kemungkin-an merkuri itu dibawa fauna laut yang mobilitasnya luas. Tak ayal, ikan dan bio-ta laut lainnya di perairan Selat Madura bakal tercemar.
Sadar akan bahayanya, Greenomics Indonesia menuntut tim pengolah lumpur Lapindo memberi penjelasan soal air buangan itu secara transparan kepada publik. Lembaga ini khawatir, jika yang dibuang mengandung bahan berbahaya dan beracun, ”Kerugian yang timbul semakin besar,” ujar Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effen. Padahal, bagi Slamet dan ratusan petambak di Sidoarjo, kerugian sudah membikin merana, sungguh pun Lusi masih tersimpan di kolam-kolam penampungan yang berjarak 17 kilometer dari tambak mereka.
Untung Widyanto, Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo