Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMPUT harapan di kepala, cang-kul di pundak. Itulah kehidup-an pagi Wahani. Hampir saban hari lelaki berumur setengah abad itu meluncur ke sawahnya. Bukan untuk bertani, melainkan mencangkul lempung untuk dibuat batu bata.
Tapi, pagi itu ketika sedang bekerja di ladang, cangkulnya menyentuh benda ke-ras. Benda itu adalah batu bata de-ngan ukuran tak lazim: lebarnya lebih da-ri sejengkal, panjangnya tiga jengkal atau sekitar 60 sentimeter.
Wahani tersentak. Benda yang ia te-mui di bawah sawah itu memang bukan harta karun, melainkan batu bata kuno bagian dari sebuah candi. Wahani buru-buru melaporkan temuannya. Dan serombongan orang dari Balai Arkeologi Yogyakarta menggeruduk ke dusun sunyi itu. Dusun Samberan di Desa Ringi-nanom, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, itu pun geger.
Di kedalaman 2,5 meter, menurut hari-an setempat, Bernas, para arkeolog itu berhasil menemukan tiga sudut bangun-an yang diduga berbentuk candi. Luas bangunan tersebut diperkirakan 16 meter persegi. Candi itu konon mirip Candi Sambisari di Kelurahan Purwomartani, Kabupaten Sleman, yang juga tertimbun tanah hingga kedalaman 6 meter.
Candi Sambisari dan candi tanpa na-ma di Magelang itu adalah potret sebuah kota yang hilang ditelan lumpur letusan gunung. Persis seperti Kota Pompeii di Italia, yang dikubur oleh Gunung Vesuvius pada tahun 79, atau Kerajaan Tambora di Pulau Sumbawa yang ditelan lumpur Gunung Tambora pada 1815.
Hasan Djafar, arkeolog Universitas In-donesia, menuturkan, sejarah menca-tat bencana dahsyat Gunung Merapi pa-da sekitar tahun 1006. Batu dan lahar meng-hancurkan Kerajaan Hindu Mataram, yang beribu kota di sekitar YogyakartaKlaten. ”Empu Sendok, yang menjadi penguasa kala itu, terpaksa memboyong ibu kota kerajaan ke Jawa Timur,” kata Hasan.
Mun-tahan dari letusan Gunung Me-rapi- dapat disaksikan di Candi Sambisari, yang terletak 12 km ke arah timur da-ri pusat Yogyakarta. Candi ini terku-bur da-lam material tanah dan batu Merapi sedalam 6 meter. Baru pada 1966 se-orang petani yang sedang mencangkul me-nemukan candi yang kini terletak di Ke-lurahan Purwomartani, Kabupaten Sle-man, itu.
Tidak jauh dari Sambisari terda-pat Candi Kedulan, yang tertimbun mun-tah-an Gunung Merapi sedalam 3 meter. ”Batu-batunya utuh dan terlihat terdorong oleh tekanan,” kata Hasan. Tekanan itu kemungkinan besar disebabkan aliran lahar karena tanah di sekitar candi berupa campuran pasir dan sisa lahar dingin. Untungnya, batu dan lahar itu tidak sampai menghancurkan Candi Kalasan dan Prambanan, yang letaknya lima kilometer dari Sambisari.
Batu dan abu gunung berapi pernah juga menenggelamkan Trowulan, yang dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Majapahit. Secara geografis, kota ini berada di kaki Gunung Penanggung-an dan Gunung Anjasmoro (perbatasan Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur). Menurut Edi Triharyantoro, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Benda Purbakala, selama Majapahit berdiri tercatat sembilan kali letusan gunung berapi. ”Pusat kota pernah hancur oleh letusan Gunung Penanggungan,” kata Edi.
Padahal, ketika masa pemerintahan Hayam Wuruk atau Rajasanegara, Trowulan menjadi kota yang maju dan terkenal. Pada relief- yang ditemukan di Candi Minakjinggo, misalnya, terlihat rumah-rumah penduduk dari strata menengah ke atas yang umumnya berpagar kayu maupun batu tinggi. Tinggi pagar mencapai dua kali ukuran manusia.
Sisa-sisa kejayaan Kota Trowulan juga terlihat dari hasil foto uda-ra yang dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) beberapa tahun lalu. Dari foto tersebut, tampak jaringan kanal kuno yang memperlihatkan kanal-kanal itu diatur sedemikian rupa sehingga membentuk segi empat besar pada tiap blok perumahan. Di dalam segi empat itu terdapat kelompok-kelompok permukim-an. Kanal itu selanjutnya membuang air ke waduk dan sungai besar.
Setelah 500 tahun, kota seluas 10 x 10 kilometer itu terbengkalai. Pemerintah tak punya biaya untuk merestorasi kota itu. Sebagian batu bata kunonya digangsir oleh ratusan pembuat batu bata di sekitar Trowulan. Dan kota itu pun pelan-pelan hancur.
Untung Widyanto, Zed Abidien dan Kukuh S. Wibowo (Mojokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo