Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denting nada akor minor dari gitar klasik Benny M. Tanto mengalir dalam tempo lambat. Suasana yang terbangun be-gitu melankolis. Pada akhir nomor itu—Adagio from Concierto de Aranjuez karya komponis Spanyol, Joaquin Rodrigo—Benny menutupnya dengan mengulang nada bagian pembuka.
Aranjuez menjadi nomor pembuka babak kedua konser perjalanan gitar Benny M. Tanto di gedung pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Benny, yang malam itu didampingi permainan piano Linda Suharso, bermain rapi. Di tangan gitaris berusia 47 tahun itu, Aranjuez terasa bagai ratapan. ”Lagu ini saya persembahkan buat mendiang ayah saya,” katanya.
Tapi Benny tak sedang menyuguhkan serangkaian repertoar muram. Sejak pertama kali bersentuhan de-ngan- gitar pada 1980, ia beranggap-an- gitar merupakan instrumen yang ”me-ngandung sentuhan melankoli- dan- kontemplatif”. Dan konser Silver- Guitar Concert itu merupakan refleksi- perjalanan kariernya sepanjang seperempat abad dalam mengusung ke-yakinannya itu.
Benny memang telah jauh melang-kah. Setelah lulus dari Institut Kese-ni-an Jakarta, gitaris kelahiran Pa-lem-bang, Sumatera Selatan, itu me--lan--jutkan studinya ke program mas-ter- bidang gitar klasik di Chapman School of Music, Amerika. Ia juga ke-rap mengikuti kelas-kelas gitar klasik yang digelar para maestro gitar, seper-ti John Williams, Julian Bream, dan Oscar Ghilia. Dan selama kuliah di Ame-rika, ia telah menggelar sejumlah konser di berbagai tempat di sana. Puncaknya, ia terpilih sebagai 15 gita-ris klasik terbaik dalam kompetisi yang diadakan Guitar Foundation of America di New Orleans, Louisiana.
Dalam konser yang ter-bagi dalam dua babak ini, dosen gitar Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Pelita Harapan itu menampilkan 15 reper-toar dari zaman Barok hingga- mo--dern. Dibuka dengan -No-cc---turno karya komponis Italia, Ferdinando Carulli, Benny tampil duet bersama gitaris An-ton Delaperkasa.
Penampilan menarik Benny terlihat ketika ia berduet de-ngan pemain biola Zulkarnaen Arief. Mereka membawakan kom--posisi karya Niccolo Paga-nini, Sonata III, dan milik Jo-han Sebastian Bach, Ave Maria. Gesekan biola yang me-liuk-liuk ditingkahi petikan dan kocokan gitar nan lincah. Pada babak ini tergelarlah dialog dua instrumen akustik yang padu dan atraktif. Dialog serupa terjadi saat Benny tampil ber-dua dengan peniup flute, Ulung Tanoto, membawakan karya Niccolo Paganini: Sonate Concertata. Tiupan flute yang mendayu-dayu dan petikan liris sang gitaris bersekutu membuai sekitar 300 penonton malam itu.
Sepanjang konser, hanya satu ka-li- Benny tampil solo ketika memba-wa-kan komposisi Isaac Albeniz, Sevilla-. Karya komponis Spanyol itu aslinya- me-rupakan komposisi piano solo. Musik mengalir dalam gaya derap per-mainan gitar Spanyol yang kental. Jari-jari Benny lincah memetik dawai, mengocoknya, lalu mengkombinasikan petikan dan kocokan. Benny tampak benar-benar menyelam dalam keriangan nomor itu.
Di pengujung konser, ia tampil ber-sama tiga rekannya dari Forum Gitaris- Klasik Indonesia. Mereka memilin komposisi karya George Bizet, Prelude and Chanson Boheme. Benny- me-mimpin dengan petikan-petikan-nya. Tiga rekannya mengiringi de-ngan kombinasi petikan dan kocokan, sebuah ensemble indah dengan melodi berlapis-lapis.
Konser Benny malam itu seolah ingin- menegaskan bahwa daya pikat kom--posisi gitar klasik terletak pada keelokan dan kekayaan teksturnya. Dan Benny M. Tanto, dengan modal seperempat abad perjalanannya meng-usung gitar, telah menyelesaikannya dengan rapi.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo