Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kue Lempung 'Made in' Jatiwangi

Masyarakat Jatiwangi biasa memakan tanah liat, bahkan kini dibikin kue beragam rasa yang diekspor ke Belanda. Amankah?

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat hamil empat bulan anak pertama, Tati Purwati kerap makan tanah liat yang dipanaskan seperti kue. Warga Desa Nunuk, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, itu mengambil segenggam lempung dari tumpukan tanah liat bahan genting yang ada garisnya atau bintik putih, lalu dipipihkan. Tanah itu kemudian digarang di pinggir tungku kayu bakar.

Sejam kemudian, tanah liat itu mengering, lalu didinginkan, kemudian disimpan di wadah yang bersih dan tidak mudah lembap. Kue lempung ini tahan dua-tiga hari. Setiap pagi, sedikit demi sedikit Tuti menambah sarapan dengan "kue tanah liat" itu. "Dicuil saja. Tapi tetap harus menyiapkan air putih karena di mulut tetap terasa berpasir," kata Tati saat ditemui Tempo di rumahnya, pertengahan November lalu.

Perempuan 57 tahun itu dulu diberi tahu ibunya bahwa makan lempung—disebut ampo atau hampo—akan memperlancar proses kelahiran. Entah benar entah tidak, keyakinan ini membuatnya melahap lempung hingga anaknya lahir dengan proses kelahiran yang lancar. "Itu mah kebiasaan dan mengikuti nasihat orang tua saja," ujar Tati. Kini dia sudah punya cucu dari anak yang dikandungnya itu.

Bagi perempuan hamil di daerah Majalengka, Cirebon, dan Indramayu, kue tanah liat dipercaya bisa menghilangkan rasa mual dan memberi rasa nyaman. Ampo dimakan seperti camilan. Rasanya hambar tapi renyah.

Sejak Agustus lalu, Arie Syarifuddin, 30 tahun, membuat kue lempung aneka rasa. Dia mengolah lempung seperti terigu untuk bahan kue. "Sekarang setiap bulan saya kirim ke Belanda 2.000 biji," kata sang pembuat kue lempung made in Jatiwangi, Majalengka, pertengahan November lalu.

Rasanya beragam, dari rasa kopi, cokelat, jahe, moka, keju, hingga cengkeh. Kue lempung berbentuk bola dengan diameter tiga sentimeter itu dikemas dalam plastik transparan. Satu kue dibalut satu plastik. "Saya hanya ingin melestarikan budaya," ujar desainer grafis lulusan Universitas Majalengka itu.

Di Belanda, sebiji kue lempung dijual 2 euro. Sedangkan di sini, Arie menitipkannya ke tukang rampe atau tukang kembang dan sesajen dengan harga Rp 2.000 per biji. Adakah protes dari konsumen setelah makan kue tanah itu? "Sampai sekarang belum ada keluhan," katanya.

Adonan kue lempung ini pula yang mengantarkan Arie diundang ke Dutch Design Week 2015 di Eindhoven, Belanda, pertengahan Oktober lalu. Dalam Age of Wonderland, program yang digagas Hivos dan Baltan Laboratories Eindhoven, Arie memberi pelatihan cara mengolah tanah liat menjadi beraneka makanan.

Di sana pula Arie mendeklarasikan Claynialisme Jatiwangi-Eindhoven untuk kerja sama dua daerah dalam kegiatan pengembangan identitas wilayah berdasarkan desain dan budaya. "Sementara Eindhoven dikenal sebagai Kota Lampu atau Kota Philips, Jatiwangi akan kami kembangkan sebagai kota dengan produk dari tanah liat," kata Arie.

Dalam proyek Age of Wonderland, Arie berkolaborasi dengan seniman desain dan peneliti asal Rusia, Masha Ru. Dia penasaran mengapa orang Barat menyebut kebiasaan orang yang makan tanah liat itu sebagai gangguan kejiwaan, yang biasa disebut pica (eating disorder). Padahal, kata Masha Ru, kebiasaan makan lempung lazim dilakukan penduduk di beberapa negara, seperti Suriname, Afrika, dan Indonesia. Dia sejak kecil juga gemar makan lempung. Ru pun tergerak untuk meneliti konsumsi lempung di beberapa kota di Belanda.

"Dalam riset, saya menemukan kelompok masyarakat yang gemar makan tanah liat karena mereka percaya bahwa tanah liat mengandung nutrisi dan menyehatkan," kata doktor matematika dari Eindhoven University of Technology itu.

Apakah tepung tanah liat aman dikonsumsi? Arie belum menguji tepung tanah itu ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tapi, Oktober lalu, dia menguji tepung lempung itu di lembaga penguji dan sertifikasi Societe Generale de Surveillance, Belgia.

Dalam lembar laporan yang diperoleh Tempo, tes bahan ini mengukur kandungan benda padat yang sudah disterilisasi dan dibakar dengan suhu di atas 100 derajat Celsius. Proses sterilisasi dan pembakaran kue lempung dilakukan di Jatiwangi. Hanya tepungnya yang dikirim ke laboratorium.

Dari hasil laboratorium itu, Arie menjelaskan, jika telah dipanaskan di atas 100 derajat Celsius, tanah liat aman dikonsumsi. Hasil uji, kata dia, memperlihatkan kadar logam dan arsenik masih dalam batas aman untuk dikonsumsi manusia. Kadar arsenik, misalnya, tercatat 7,6 miligram per kilogram. Jumlah itu tidak besar dibanding kadar arsenik yang pernah ditemukan inspektur senior Divisi Keamanan dan Konsumen Otoritas Keamanan Produk Konsumen dan Makanan Belanda, Noortje M. Reeuwijk, DVM, di pasar di Belanda, yang bisa sampai 45,1 mg/kg.

Walau ampo dianggap aman, konsumen tetap harus waspada. Menurut Noortje, tanah liat mengandung aluminium, arsenik, kadmium, kromium, tembaga, besi, timah, magnesium, merkuri, dan seng. Kandungan logam, arsenik, dan dioksin dalam tanah liat dalam kadar tertentu sangat berisiko. Jika masih dalam batas rendah, kata dia, masih aman dikonsumsi, "Meski tidak dianjurkan."

Tahun lalu, untuk program doktornya, Noortje meneliti ihwal pencemaran dalam makanan suplemen yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Dia menemukan jenis logam yang umumnya terkandung dalam tanah liat justru ada dalam suplemen makanan yang dikemas dalam bentuk kapsul dan tablet atau bubuk. Produk ini banyak dijumpai di toko kesehatan di Belanda dan di Internet, yang biasanya untuk membantu masalah pencernaan dan menghilangkan racun serta direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan.

Menurut Noortje, produk tanah liat dari Suriname dan Afrika yang beredar di Belanda berisiko tercemar dioksin. "Kami juga melakukan tes laboratorium terhadap tanah dari Suriname dan Afrika yang menunjukkan adanya kontaminasi terhadap produk tersebut," ujarnya. Salah satu kesimpulannya, dia menganjurkan tidak memakan tanah liat selama masa kehamilan. Alasannya, "Dapat meracuni janin."

Timbel dan merkuri bisa mengakibatkan kerusakan otak, kerusakan kulit, serta kanker kulit dan paru-paru. Adapun arsenik dapat menyebabkan kanker kandungan dan kerusakan ginjal. Kadmium bisa merusak ginjal. Nah, kandungan logam dan metaloid (unsur kimia dalam logam dan nonlogam), seperti timbel, arsenik, kadmium, dan merkuri, inilah yang banyak dijumpai dalam produk tanah liat tradisional.

Dioksin juga terdapat dalam lempung. Makanan yang tercemar kandungan dioksin dalam jumlah tinggi bisa menyebabkan luka, bercak hitam pada kulit, merusak fungsi hati, penurunan sistem kekebalan tubuh, serta merusak sistem saraf dan reproduksi.

Noortje mencontohkan sebuah perusahaan kentang goreng di Belanda yang menyortir kentang menggunakan kaolin (dikenal juga dengan nama lempung cina). Kulit kentang yang terkontaminasi tanah liat dijadikan makanan untuk sapi perah di sebuah peternakan. Penelitian Noortje menemukan polychlorinated dibenzodioxins (PCDDs) dengan kadar tinggi dalam lemak susu yang diperoleh dari sapi itu.

Ternyata penyerapan PCDDs dari tanah liat untuk susu sapi sangat efisien. Susu ibu bisa menjadi jalur penting untuk ekskresi PCDDs. Dengan membandingkan temuan ini, Noortje mengatakan kandungan dioksin dalam produk tanah liat yang dimakan ibu hamil di Jatiwangi juga berpotensi mencemari susu ibu. "Itu sama saja dengan susu sapi yang tercemar tersebut," katanya.

Sayangnya, hasil lab itu tak mencantumkan kadar dioksin, sehingga Carl Koch, ahli kimia dari Koch-Eurolab, tak bisa menyatakan tanah ini layak dikonsumsi atau tidak. "Kalau dari hasil lab itu, hanya timbel yang tidak boleh dikonsumsi," ujarnya. Di situ tercantum kandungan timbelnya 31 mg/kg. "Dengan kandungan seperti ini, kue lempung tidak boleh dimakan lebih dari 10 kali."

Ahmad Nurhasim, Yuke Mayaratih (Eindhoven), Ivansyah (Majalengka)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus