Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Raden Saleh dalam Jala Ikan

Iwan Yusuf membuat wajah-wajah maestro perupa Indonesia dari bahan jala penangkap ikan. Eksplorasi tekstur dengan jaring-jaring nilon.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kejauhan, kita mengenal potret itu. Raden Saleh Sjarif Boestaman mengenakan sorban khas Turki. Matanya melirik ke sisi kanan atas. Pakaiannya tebal berlapis-lapis. Potret pelopor seni modern Indonesia ini diabadikan oleh Carl Johann Baehr lewat kanvas pada 1840. Tapi, di D Gallerie, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu, lukisan itu lebih gelap. Ada garis-garis kasar dalam lukisan itu.

Lalu, ketika lukisan itu didekati, barulah tampak bahwa gurat-gurat kasar tersebut bukanlah sapuan cat minyak atau arsiran rumit, melainkan tekstur grid yang bertumpuk-tumpuk dengan polesan cat plastik di atasnya. Ini karya terbaru Iwan Yusuf, seniman yang pernah membuat proyek seni bumi di Danau Limboto, Gorontalo, dua tahun lalu. Pada waktu itu, Iwan membuat pola berbentuk kaki raksasa dengan berton-ton eceng gondok. Karyanya ini bisa dinikmati dari ketinggian.

Sejak 2013, ketika mulai mengeksplorasi ranah mixed media, Iwan tertarik pada pola geometris kawat kasa. Mulanya seniman 33 tahun ini menemukan ketertarikannya itu kala mengikuti program residensi seniman muda di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Lalu, saat mengerjakan proyek di Danau Limboto, dia terpikat pukat-pukat nilon dekil petambak ikan di danau itu. Pukat itu memiliki pola geometris tertentu. Iwan mengamati pukat nilon ini halus dan lentur, bisa diregangkan, bisa pula dirapatkan. Dari situ, ia memiliki ide membuat rajutan wajah manusia dengan bahan tenunan jala ikan itu.

Proyek "Pukat" yang dipamerkan di Jakarta hingga akhir Desember tahun ini merupakan hasil karya Iwan selama sebelas bulan terakhir. Potret pelukis ekspresionis Affandi sengaja dipasang tegak lurus dari pintu Gallerie. Ketika datang, kita bisa melihat wajah sang maestro menatap tajam. Rambut panjang putih mulai menipis di sisi atas kepalanya. Tangannya yang kurus memegang cangklong di mulutnya. Potret dari jaring waring rumit yang saling tumpuk dalam jahitan-jahitan ini dipoles lagi dengan cat minyak seperti halnya potret Raden Saleh berjudul 1840.

Namun, tak jauh dari karya itu, kita melihat sosok Affandi yang berbeda. Affandi tampak transparan dalam jaring troll yang pola geometrisnya lebih lebar daripada jaring waring. Affandi tertawa, matanya menyipit dalam karya berjudul Potret itu. Di satu sisi, hanya ada satu lapis jaring dalam karya itu. Tapi, di sisi lain, jaring-jaring itu saling tumpuk memberikan tekstur, kedalaman. Pola garis-garisnya mengganti arsiran pensil dan polesan kuas.

Dalam Potret, sang maestro dibiarkan hitam-putih, tanpa polesan warna. Sepintas seperti karya yang belum selesai. Tapi, menurut Iwan, karya hitam-putih ini jauh lebih sulit ketimbang karya berwarna. "Setiap garis akan terlihat, enggak bisa direkayasa dengan warna," katanya.

Iwan semula membuat karyanya itu dengan membentangkan jaring nilon para nelayan dan menjahitnya langsung. Tapi cara ini mengakibatkan distorsi ketika karya itu dipindahkan di atas kanvas untuk dipajang. Karena itu, Iwan langsung menjahit jaring-jaring itu di atas kanvas.

Dia lebih dulu membuat outline garis di kanvas itu dengan selotip warna-warni. Lalu dia menjahit potongan jaring-jaring troll dan waring yang sesuai dengan tekstur yang ia inginkan di atas kanvas itu. "Sebelumnya, saya menggunting jala-jala itu dalam potongan tak beraturan, ngawur, tak terduga. Ada yang kecil, ada yang besar. Lalu baru saya cocokkan di atas kanvas." Bila potongan jaring terlalu kecil, di situlah Iwan ditantang. Dia harus meregangkan, mencari potongan lain yang sesuai, atau menjahit beberapa potongan jala untuk mendapatkan tekstur yang diinginkan.

Eksplorasi Iwan tak berhenti di situ. Pada lukisan Sindoedarsono Sudjojono, dia bermain-main dengan kode visual. Karya itu terdiri atas jaring waring dan jaring troll yang rumit saling tumpuk. Hanya ada sedikit warna di bagian wajah dengan cat plastik, sisanya dibiarkan hitam. Latarnya berwarna merah dan turquoise. Namun, pada lukisan berjudul Jiwa Ketok ini, mata sang maestro dibuat dari cermin yang bila dilihat dari sudut tertentu, kita dapat melihat refleksi mata kita dalam lukisan itu. "Apa yang terlihat di balik mata, bila melihat lebih ke dalam lagi, orang bisa melihat refleksi matanya sendiri," ujarnya.

Pada lukisan Hendra Gunawan, Iwan mencoba teknik lain. Dia tidak menumpuk potongan grid itu, tapi membiarkan karyanya dilapisi satu jaring. Bebas tumpukan. Potret Hendra berdiri dengan kemeja berkerah ukiran mengenakan kacamata dan bulan berwarna merah di belakangnya. "Saat mengerjakan karya ini sedang ramai fenomena bulan merah," katanya. Pendekatan Iwan dalam lukisan ini juga mengacu pada sosok Hendra yang diasosiasikan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). "Kebetulan saya menyelesaikan lukisan ini pada 30 September," ucapnya.

Iwan juga membuat parodi replika lukisan Hendra Gunawan dan Affandi. Dalam lukisan Rebutan Aspal, ia meniru sepotong lukisan Hendra yang paling terkenal, Rebutan Topeng, dalam format hitam-putih. Aspal yang dia maksud merupakan akronim dari asli tapi palsu. Lukisan Bunga Matahari milik Affandi juga ia buat replikanya dengan judul Lukisan Palsu. Ancaman dunia seni rupa dengan beredarnya lukisan palsu para maestro di balai lelang dan museum menjadi kritik Iwan dalam dua karya ini.

Persoalan hilangnya lukisan-lukisan dari Museum Widayat di Magelang disinggungnya pula dalam lukisan Burung-Burung Ingin Kembali ke Rumahmu. Iwan melukiskan ekspresi teduh sang pelukis, dengan seekor burung di salah satu sudut gambar. "Impian semua seniman adalah mengumpulkan semua karyanya dalam satu museum. Ironisnya, setelah beliau meninggal, banyak karya di museumnya justru raib," kata Iwan. Widayat banyak melukis obyek flora dan fauna, terutama burung, dalam karyanya.

Lukisan potret wajah Widayat ini pula yang paling banyak menyita waktu Iwan. "Saya bikin hampir sebulan. Lalu mentok dan mengerjakan karya lain. Baru setelah kembali, saya bisa menyelesaikan karya ini," ujarnya. Tekstur jaring yang kasar sulit untuk menggambarkan karakter dan ekspresi Widayat yang teduh.

Tapi Iwan menyebutkan kesulitan terbesar dia dalam proyek ini adalah mengikat karyanya dalam satu tema besar selama satu tahun. Tema besar dalam proyek ini sendiri memperkenalkan sejarah seni rupa kepada khalayak. Total 120 meter pukat nelayan dari Danau Kalipare, Malang, dihabiskan Iwan untuk proyek ini.

Toh, akhirnya godaan mengeksplorasi tema yang lain itu tak bisa dia bendung. Saat membuat instalasi trimatra yang dibuatnya langsung di Gallerie, Iwan justru membuat instalasi kapal nelayan di laut. Khusus untuk karya Badai Pasti Berlalu ini, ia menggunakan jala-jala nelayan yang dibelinya di Muara Angke, Jakarta Utara. Lalu, dengan jahitan dan lem tembak, dibuatlah karya itu dalam dua hari.

Iwan terpesona melihat banyaknya jenis dan warna pukat yang ada di pelabuhan utara Jakarta itu. "Ada bermacam-macam warna dan bahan jala di Angke, bukan cuma hitam seperti yang saya temukan di Malang. Tapi saya tidak bisa beli semua," kata Iwan. Perupa yang belajar secara otodidaktik ini makin terpikat pada jala-jala lusuh yang sudah dipakai para nelayan. "Warna yang pudar dan sambungan-sambungannya itu yang menarik," ujarnya.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus