Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Meninju Nasib, Ditinju Hidup

Novel grafis bisa jadi wahana yang jitu untuk menangkap dan mengungkap hidup yang buas. Mari berjumpa dengan Harry Haft, seorang antihero.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang Petinju
Cerita dan gambar: Reinhard Kleist
Tebal: 207 halaman
Penerbit: Gramedia, 2015

Perang adalah sebuah narasi besar yang sering kali menyembunyikan narasi-narasi kecil para manusia yang bertahan melampaui perang. Perang Dunia Kedua, misalnya, seperti sebuah sumur cerita yang tak pernah kering hingga kini. Begitulah nanti kita juga akan selalu berjumpa dengan kisah-kisah kecil para manusia di tengah berbagai perang masa kini—Palestina, Vietnam, Irak, Afganistan, Suriah, dan mungkin juga era revolusi yang keras di Indonesia, yang berlanjut ke era genosida 1965, Timor Timur, dan banyak lagi konflik di negeri kita ini.

Dalam semua itu, para juru cerita modern, seperti novelis, pembuat film, dan komikus, bagaikan seorang arkeolog yang menggali-gali reruntuhan di situs-situs konflik dan menemukan cerita-cerita kecil tersebut. Apalagi, sejak 1990-an, muncul misuh-misuh di kalangan kritikus ataupun pembaca bahwa "kenyataan" sering kali lebih dahsyat, lebih dramatis, lebih ajaib, dan bahkan lebih fantastis daripada fantasi atau kisah yang sekadar fiksi. Itulah mengapa novel-novel sejarah, buku-buku jurnalisme sastrawi, juga film-film dokumenter semakin kini semakin banyak dibicarakan.

Seorang desainer grafis dan kartunis Jerman, Reinhard Kleist, seperti menemukan fokus dalam novel grafis yang menuturkan biografi serta kisah nonfiksi yang mengandung sejarah. Namanya mencuat saat membuat novel grafis biografi Johnny Cash, Cash, I See a Darkness (2006), serta dua novel grafis nonfiksi tentang Kuba: Havana, Eine Kubanische Reise (2008) dan Castro (2010). Khususnya lewat Cash, Kleist mencuri perhatian publik internasional karena keunikannya: seorang Jerman yang menyelami hidup seorang seniman musik Amerika secara mendalam. Tapi sejak awal membuat komik, pada pertengahan 1990-an, Kleist memang tampak tertarik pada kisah nonfiksi.

Sang Petinju pertama kali terbit dalam bahasa Jerman pada 2012. Ketika pada 2014 terbit terjemahan bahasa Inggrisnya, Comicsbulletin.com menyebutnya sebagai "novel grafis terbaik tahun ini". Kita bisa melihat daya tariknya bagi publik Amerika: kisah seorang penyintas kamp konsentrasi Yahudi di Polandia semasa Perang Dunia Kedua yang pindah dan membangun hidup di Amerika setelah bertahan hidup dengan kekerasan, yang dituturkan oleh seorang Jerman.

Dari segi Kleist sendiri, menuturkan kisah semacam ini adalah sebuah penyeberangan (crossing over) yang boleh jadi eksistensial: memandang Jerman dari sudut pandang liyan yang digilas Jerman Raya semasa Perang Dunia Kedua yang degil itu. Tak ada apologia di dalam komik ini. Adegan cerobong maut di halaman 56-57, sebuah adegan horor tak terperi di halaman 87, adegan-adegan sabung manusia antartahanan kamp yang harus bertarung sampai mati demi kepuasan para perwira Jerman dan pasangan mereka. Kleist memaparkan semuanya dalam bahasa visual dan garis ekspresif yang bisa tercetak dalam benak pembaca.

Keberhasilan utama Kleist adalah menampilkan sosok Harry Haft (nama aslinya Hertzko Haft), sang tokoh utama, tanpa romantisisme seorang korban perang. Harry hanyalah seorang remaja miskin Polandia keturunan Yahudi yang terjebak dalam lingkaran kekerasan di negerinya ataupun di Amerika. Pada usia 16 tahun, Harry ditawan di kamp Auschwitz. Dia ditangkap justru pada hari menjelang ia menikahi tunangannya, Leah Pablansky.

Kenangan dan harapan akan Leah membuat Harry mampu bertahan. Tapi tak ada melodrama di sini. Leah menjadi semacam wahana Harry untuk melawan kenyataan penuh anyir darah, lapar yang menggigit, dan bau bangkai yang jadi kesehariannya. Seperti Tuhan bagi Peretz, abangnya yang akhirnya jadi tawanan kamp bersama Harry. Ada yang berdoa, ada yang membayangkan cinta perempuan: hidup dalam kamp dan tekanan raksasa perang membutuhkan harapan, walau sekadar bayang-bayang yang susah payah didekap erat setiap malam.

Bayangan Leah membawa Harry jauh menyintas perang. Bertahan hidup (berharap berjumpa lagi dengan Leah) jadi yang utama. Ketika seorang komandan menawarinya jadi pemain tinju yang jebulnya tak lebih dari ajang "adu ayam" para perwira Jerman, Harry bersedia. Lebih dari itu, ia menang terus. Bagi Harry, tak ada pilihan: yang kalah akan mati—Harry tak bisa melepas harapannya menjumpai Leah. Harapan itu pula yang menuntunnya melarikan diri dari kamp saat tentara Soviet menduduki Polandia pada April 1945. Itu juga membawanya jadi penyelundup barang-barang mewah bagi tentara Amerika di Eropa, membuatnya jadi buron sekali lagi, dan akhirnya membuatnya pergi ke Amerika.

Di Amerika, bukan Leah yang segera ia jumpai, melainkan dunia kekerasan yang lain lagi. Sebuah dunia penuh lampu neon dan permainan duit. Harry ingin berada di tengah lampu sorot agar dunia, tepatnya Leah, tahu bahwa ia masih hidup dan selalu mencari Leah. Tapi Sang Nasib sekali lagi meninju Sang Petinju. Harry dipasang bertanding melawan Rocky Marciano dan mafia tinju ikut campur. Harry melontarkan hook-nya yang keras, tapi Amerika barangkali sebuah kenyataan yang lebih keras daripada kenyataan perang di Eropa. Betapapun kerasnya hook darinya, di satu titik Harry harus mengalah pada kenyataan hidup di negeri itu.

Kleist membingkai kisah Harry dari sudut pandang anak Harry, Alan Scott Haft, di awal dan akhir buku. Alan kecil, yang suatu ketika diajak oleh ayahnya ke sebuah tempat di Florida, menemui seseorang yang bisa membuat sang ayah menangis di hadapannya. Harry adalah ayah yang keras, sering kali bahkan melakukan kekerasan kepada anaknya, dan hari itu menangis di hadapan Alan kecil. Inilah sebuah residu perang, ketika perang telah lampau.

Lewat medium novel grafis, Kleist leluasa menangkap dan mengungkap dunia keras Harry itu. Kleist memilih gaya tutur yang sangat berjarak, mirip cara tutur seorang korban kekerasan yang mencoba berjarak dari segala kekerasan yang telah ia alami. Kleist meletakkan emosi tidak pada tuturan kata, tapi pada sapuan tintanya. Sapuan tinta Kleist sangat ekspresif, dan kadang Kleist meniadakan bingkai panel agar ekspresi emosional itu diam-diam lepas, mengalir tanpa kurungan panel. Perhatikan saja adegan-adegan di halaman 77, 95-97, dan 184.

Sayang, edisi terjemahan bahasa Indonesia ini dicetak dengan mutu digital printing kelas dua. Ekspresi tinta Kleist jadi pudar terasa. Toh, penerbitan novel grafis semacam ini, melengkapi penerbitan novel grafis Rampokan Java & Celebes (Peter van Dongen) dan Catatan Kaki dari Gaza (Joe Sacco), patut diacungi jempol. Sebab, kita perlu pembanding semacam ini.

Negeri kita punya sejarah panjang novel grafis sejak 1950-an, sekaligus sejarah jauh lebih panjang lagi jatuh-bangun manusia Indonesia sejak pra-Indonesia hingga ke era yang konon berciri "pasca-Indonesia" kini. Contohnya kesaksian-kesaksian korban pada pengadilan rakyat 1965 di Den Haag baru-baru ini—bukankah itu bahan yang kaya bagi, misalnya, lahirnya novel-novel grafis Indonesia yang kuat, bisa jadi sama kuatnya dengan novel grafis karya Kleist ini? Semestinya sih begitu.

Hikmat Darmawan, Direktur Kreatif Pabrikultur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus