SEKUMPULAN naskah berusia kira-kira 100 tahun sudah banyak yang
lapuk dan tulisannya di sana-sini tak terbaca lagi. Yang disurat
di atas bambu, kulit kayu, rotan, daun lontar atau nipah, dalam
bahasa dan huruf Nusantara, umumnya tak lagi "berbunyi" bagi
kebanyakan anak-cucu. Sebab huruf Bugis, Sunda, Jawa, Batak,
Bali dan sebagainya itu, tak lagi dipakai sehari-hari.
Tapi berminatkah Anda? Di Museum Nasional dipamerkan sebanyak 77
naskah dari sektar 5 rlbu koeksinya. Berangsung selama
sebulan sampai 14 Maret, pameran ini secara khusus menampilkan
naskah yang dapat dijadikan sumber sejarah, terutama sejarah
lokal.
Naskah lontar Gebug Buleleng, misalnya. Ditulis dalam bahasa dan
huruf Bali, dalam bentuk tembang, naskah ini menceritakan
keadaan Pulau Bali waktu tentara Belanda menyerang Buleleng.
Naskah kertas Hikayat Raja Banjar dan Kotaringin, yang ditulis
tahun 1828-dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu, mengisahkan
asal-usul keturunan Raja Negara Dipayang yang kemudian berperang
dengan Raja Ban)ar. Dalam peperangan itu, Raja Demak konon baru
mau membantu Raja Banjar setelah ia bersedia memeluk agama
Islam.
Sebagian besar koleksi Museum Nasional ini ditulis dengan huruf
dan bahasa Jawa, di antaranya naskah-naskah babat, seperti Babad
Banten, Babad Betawi, Babad Pajajaran, Babad Banyumas, Babad
Mataram. Banvak pula koleksi berhuruf Arab dan berbahasa Melayu.
Misalnya, naskah Hikayat Aceh, Asal Usul Pagaruyung, Tambo
Minangkabau, Sejarah Tambusai, dan Scjarah Pasemah.
Naskah lontar terkenal Nagarakretagama karangan Empu Prapanca
dipamerkan pula. Naskah ini berbentuk puisi beruklran 48,3 x
3,4 cm sebanyak 45 lampir dalam huruf Bali dan bahasa Jawa Kuno
sumber utama sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit. Pernah
dipelajari dengan intensif oleh Prof. Dr. Slametmulyana, bekas
dekan l:akultas Sastra UI (19661969), naskah itu telah
menghasilkan banyak tulisan ilmiah tentang sejarah Majapahit. Ia
merupakan seorang peneliti Majapahit yang belum ada bandingannya
(TEMPO, 29 Januari 1980).
Belum banyak memang sejarawan Indonesia yang memanfaatkan naskah
kuno ini, baik yang tersimpan di Neeeri Belanda maupun di Museum
Nasionar. "Sumber-sumber anak negeri ini penting diperhatikan,"
kata sejarawan Teuku Ibrahim Alfian dari UGM. Bekas direktur
Pusat Penelitian Ilmu-ilmu sosial di Aceh ini selama 2 tahun
meneliti 25 naskah Hikayat Perang Sabil yang kebanyakan ditulis
dalam bahasa Aceh dengan huruf Arab. Penelitian itu dilakukannya
di Leiden, dan hasilnya dipergunakan menyusun disertasi yang
berjudul Perang di Jalan Allah Ace 1873-1912.
Naskah kuno ini, menurut Alfian, masih merupakan tambang intan
yang belum banyak digali. Adalah Z.J. Manusama misalnya, yang
berhasil membuat suatu rekonstruksi mengenai keadaan Hitu
(Maluku Tengah) sebelum abad ke-17 dengan menggunakan naskah
kuno ini. Disertasinya, Hikayat Tanah Hitu, yang dipertahankan
di Universitas Leiden, antara lain "meneOOunakan naskah kuno
yang ditulis oleh suatu nama yang tidak pernah dikenal," kata
Abdurrachman Surjomihardjo dari LIPI.
Naskah kuno ini dapat menjadi sumber yang melengkapi atau
pembanding bagi sumber-sumber asing seperti arsip-arsip Belanda
yang lebih banyak digunakan oleh sejarawan kita selama ini.
Bahkan dari berbagai dokumen yang ditinggalkan VOC sekalipun,
belum tentu kita bisa mendapat gambaran yang tepat. Dengan juga
menggunakan naskah kuno warisan tertulis nenek-moyang itu,
"penulisan sejarah Indonesia tidakberat sebelah," kata
Abdurrachman.
Tapi sejarawan masa kini umumnya tak tertarik pada naskah kuno
ini. Mengapa? "Mereka tak memahami bahasa dan tulisan naskah
itu," ucap Edi Ekajati. Menurut direktur Museum Asia-Afrika di
Bandung itu yang banyak meneliti naskah-naskah seni-budaya Sunda
dari abad ke-19, bagi mereka lebih gampang meneliti naskah yang
sudah disalin ke dalam huruf Latin.
Dengan menggunakan hasil transliterasi filolog Itulah, sejarawan
mulai berorientasi menggunakan naskah-naskah kuno ini. "Jadi
memakai sumber sekunder," kata Abdurrachman.
Persoalan ialah tak banyak orang yang berminat menjadi filolog.
Menurut Dirjen Kebudayaan, Haryati Soebadio, seorang di antara
filolog yang langka itu, di Indonesia dewasa ini hanya ada 50
orang filolog. Tak banyak yang ingin mengikuti jejak tokoh
seperti Hoesein Diaiadiningrat atau Poerbatjaraka. "Di Jawa
Barat saja," kata Edi Ekajati, "hanya ada dua orang filolog."
Naskah kuno itu kian lapuk jua. Tapi untunglah, kata Tuti
Munawar dari Bagian Koleksi Naskah Museum Nasional, "sebagian
besar sudah dimikrofilmkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini