Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Lontar makin lapuk

Koleksi naskah kuno merupakan sumber sejarah, kini sudah banyak yang lapuk, di museum nasional mempunyai koleksi sekitar 5 ribu. (ilt)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKUMPULAN naskah berusia kira-kira 100 tahun sudah banyak yang lapuk dan tulisannya di sana-sini tak terbaca lagi. Yang disurat di atas bambu, kulit kayu, rotan, daun lontar atau nipah, dalam bahasa dan huruf Nusantara, umumnya tak lagi "berbunyi" bagi kebanyakan anak-cucu. Sebab huruf Bugis, Sunda, Jawa, Batak, Bali dan sebagainya itu, tak lagi dipakai sehari-hari. Tapi berminatkah Anda? Di Museum Nasional dipamerkan sebanyak 77 naskah dari sektar 5 rlbu koeksinya. Berangsung selama sebulan sampai 14 Maret, pameran ini secara khusus menampilkan naskah yang dapat dijadikan sumber sejarah, terutama sejarah lokal. Naskah lontar Gebug Buleleng, misalnya. Ditulis dalam bahasa dan huruf Bali, dalam bentuk tembang, naskah ini menceritakan keadaan Pulau Bali waktu tentara Belanda menyerang Buleleng. Naskah kertas Hikayat Raja Banjar dan Kotaringin, yang ditulis tahun 1828-dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu, mengisahkan asal-usul keturunan Raja Negara Dipayang yang kemudian berperang dengan Raja Ban)ar. Dalam peperangan itu, Raja Demak konon baru mau membantu Raja Banjar setelah ia bersedia memeluk agama Islam. Sebagian besar koleksi Museum Nasional ini ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa, di antaranya naskah-naskah babat, seperti Babad Banten, Babad Betawi, Babad Pajajaran, Babad Banyumas, Babad Mataram. Banvak pula koleksi berhuruf Arab dan berbahasa Melayu. Misalnya, naskah Hikayat Aceh, Asal Usul Pagaruyung, Tambo Minangkabau, Sejarah Tambusai, dan Scjarah Pasemah. Naskah lontar terkenal Nagarakretagama karangan Empu Prapanca dipamerkan pula. Naskah ini berbentuk puisi beruklran 48,3 x 3,4 cm sebanyak 45 lampir dalam huruf Bali dan bahasa Jawa Kuno sumber utama sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit. Pernah dipelajari dengan intensif oleh Prof. Dr. Slametmulyana, bekas dekan l:akultas Sastra UI (19661969), naskah itu telah menghasilkan banyak tulisan ilmiah tentang sejarah Majapahit. Ia merupakan seorang peneliti Majapahit yang belum ada bandingannya (TEMPO, 29 Januari 1980). Belum banyak memang sejarawan Indonesia yang memanfaatkan naskah kuno ini, baik yang tersimpan di Neeeri Belanda maupun di Museum Nasionar. "Sumber-sumber anak negeri ini penting diperhatikan," kata sejarawan Teuku Ibrahim Alfian dari UGM. Bekas direktur Pusat Penelitian Ilmu-ilmu sosial di Aceh ini selama 2 tahun meneliti 25 naskah Hikayat Perang Sabil yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Aceh dengan huruf Arab. Penelitian itu dilakukannya di Leiden, dan hasilnya dipergunakan menyusun disertasi yang berjudul Perang di Jalan Allah Ace 1873-1912. Naskah kuno ini, menurut Alfian, masih merupakan tambang intan yang belum banyak digali. Adalah Z.J. Manusama misalnya, yang berhasil membuat suatu rekonstruksi mengenai keadaan Hitu (Maluku Tengah) sebelum abad ke-17 dengan menggunakan naskah kuno ini. Disertasinya, Hikayat Tanah Hitu, yang dipertahankan di Universitas Leiden, antara lain "meneOOunakan naskah kuno yang ditulis oleh suatu nama yang tidak pernah dikenal," kata Abdurrachman Surjomihardjo dari LIPI. Naskah kuno ini dapat menjadi sumber yang melengkapi atau pembanding bagi sumber-sumber asing seperti arsip-arsip Belanda yang lebih banyak digunakan oleh sejarawan kita selama ini. Bahkan dari berbagai dokumen yang ditinggalkan VOC sekalipun, belum tentu kita bisa mendapat gambaran yang tepat. Dengan juga menggunakan naskah kuno warisan tertulis nenek-moyang itu, "penulisan sejarah Indonesia tidakberat sebelah," kata Abdurrachman. Tapi sejarawan masa kini umumnya tak tertarik pada naskah kuno ini. Mengapa? "Mereka tak memahami bahasa dan tulisan naskah itu," ucap Edi Ekajati. Menurut direktur Museum Asia-Afrika di Bandung itu yang banyak meneliti naskah-naskah seni-budaya Sunda dari abad ke-19, bagi mereka lebih gampang meneliti naskah yang sudah disalin ke dalam huruf Latin. Dengan menggunakan hasil transliterasi filolog Itulah, sejarawan mulai berorientasi menggunakan naskah-naskah kuno ini. "Jadi memakai sumber sekunder," kata Abdurrachman. Persoalan ialah tak banyak orang yang berminat menjadi filolog. Menurut Dirjen Kebudayaan, Haryati Soebadio, seorang di antara filolog yang langka itu, di Indonesia dewasa ini hanya ada 50 orang filolog. Tak banyak yang ingin mengikuti jejak tokoh seperti Hoesein Diaiadiningrat atau Poerbatjaraka. "Di Jawa Barat saja," kata Edi Ekajati, "hanya ada dua orang filolog." Naskah kuno itu kian lapuk jua. Tapi untunglah, kata Tuti Munawar dari Bagian Koleksi Naskah Museum Nasional, "sebagian besar sudah dimikrofilmkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus