"JIKA seseorang kau beri ikan, ia akan makan ikan sepanjang
hari. Tapi jika seseorang kau ajari menangkap ikan, ia akan
makan ikan sepanjang hidupnya," kata Nugroho Notosusanto dalam
pidato pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei pekan
lalu.
Mengutip ungkapan lama, Menteri P&K itu mencoba menjelaskan
hakikat pendidikan berpikir, salah satu gagasannya selain
pedidikan humaniora yang akhir-akhir ini giat dikampanyekannya.
Katanya, kurikulum tidak boleh dijejali "ikan", melainkan harus
diisi dengan pelajaran "menangkap ikan." Dan memang kurikulum
ini nampaknya yang diperioritaskan untuk diubah Nugroho. "Salah
satu kebijaksanaan di bidang Pendidikan Nasional yang
direncanakan, adalah perubahan kurikulum," katanya.
Jadi, akankah ada perubahan? "Sebetulnya tidak ada perubahan
dalam sistem pendidikan dari dulu hingga kini," kata bekas
Menteri P&K periode 1974-1978, Dr. Sjarif Thajeb. "Yang ada
hanya tekanan pada bidang yang berbeda-beda sesuai tantangan
yang dihadapi tiap menteri."
Sjarif Thajeb pun memberi contoh. Di masa Dep. P&K di pegangnya,
ia mementingkan sekolah teknik menengah. "Tapi karena biayanya
ternyata mahal sekali, ide saya itu tak berhasil," katanya
jujur. Ia menganggap wajar saja bila kini Nugroho Notosusanto
menekankan pada pendidikan bidang humaniora, yang antara lain
memandang humaniora, yang antara lain memandang penting
pelajaran Sejarah. "Itu untuk menanamkan rasa kebangsaan pada
para pelajar kita," komentar bekas menteri yang kini menjadi
anggota DPA itu.
Maka tampaknya perubahan-perubahan sehubungan adanya menteri
baru sering tidak menyelesaikan persoalan pokok. Setiap waktu
tantangan yang dihadapi dunia pendidikan memang bergeser. Yang
menjadi pertanyaan ialah, adakah perubahan itu merupakan
perubahan konsep dasar, atau hanya penyesuaian di sana-sini.
Menurut bekas Menteri P&K yang baru saja turun, Dr. Daoed
Joesoef, dalam sebuah tulisannya, "sebagian besar dari usaha
perbaikan dunia pendidikan ditujukan untuk menanggulangi masalah
darurat." Dengan kata lain, perbaikan atau perubahan itu masih
tambal sulam sifatnya. Belum ada "usaha menanggapi masalah
pendidikan secara menyeluruh," tulis Daoed pula.
Yang ada baru usaha ke arah itu. Misalnya, pada bulan Agustus
1978, beberapa bulan setelah Daoed Joesoef dilantik menjadi
Menteri P&K, ia membentuk KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan
Nasional). Anggotanya antara lain Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo dan Prof. Slamet Iman Santoso. Tujuannya,
menemukan satu konsep untuk dijadikan Undang-undang Pokok
Pendidikan dan Kebudayaan (UPPK), untuk memenuhi pasal 31 UUD
1945.
Dalam pidato peresmian KPPN yang mempunyai masa kerja 1 « tahun
itu, Daoed meminta agar konsep itu nanti bersifat "semesta,
menyeluruh, dan terpadu." Ini untuk menjamin berakarnya konsep
itu pada permasalahan pendidikan kita. Antara lain konsep itu
diharapkan mencakup sistem pendidikan yang menjaga agar manusia
tak terjerumus mementingkan ilmu dan teknologi saja. Sistem
pendidikan yang bersifat menyeluruh: antara jenjang pendidikan
satu dengan yang lain tidak berkembang sendiri-sendiri. Sistem
itu pun seyogyanya merupakan landasan adanya semangat belajar
seumur hidup. "Karena orang belum selesai belajar, pada saat ia
tamat sekolah atau menerima gelar kesarjanaan," kata Daoed waktu
itu.
Dan pada tahun 1980, KPPN telah menyerahkan hasil pemikirannya
kepada Menteri P&K. Dalam sebuah buku berukuran 29 x 21 cm,
setebal 71 halaman plus lampiran-lampiran, KPPN merumuskan
konsep pendidikan nasional. Di dalamnya tercakup mulai dari
dasar dan haluan pendidikan, struktur dan kurikulum sampai
kepada bahan program belajar-mengajar di semua jenjang dan jenis
pendidikan. Memang konsep KPPN itu belum final. Masih diperlukan
pihak Menteri P&K. Dan menurut Daoed kepada TEMPO sebelum habis
masa jabaunnya, konsep tersebut telah direvisi oleh pihaknya.
Tinggal diajukan pada sidang kabinet, untuk kemudian bila sudah
disetujui sidang -- diteruskan ke DPR sebagai rencana UPPK itu
tadi.
Tapi seberapa besar manfaat UPPK itu kelak? Setidaknya adanya
UPPK bisa melenyapkan kekhawatiran masyarakat: ganti menteri
ganti peraturan. Dan, tak hanya itu. Pada dasarnya, kemudian,
siapa pun menterinya tak bebas bikin peraturan macam-macam --
semuanya harus berdasar pada UPPK. "Undang-undang merupakan
dasar hukum untuk melahirkan peraturan-peraturan di bidang
tersebut," kata Daoed.
Persoalannya kini, bagaimana nasib konsep itu? Menteri P&K
Nugroho Notosusanto tak menolak pentingnya UPPK. "Tapi konsep
itu baru saya terima kemarin," katanya Jumat pekan lalu. Nugroho
belum menyebutkan rencananya tentang nasib hasil KPPN itu.
Padahal, seperti yang dikatakan Slamet Iman Santoso, dalam hasil
komisi yang anggotanya diambil dari banyak kalangan masyarakat
itu tercakup pendidikan humaniora, gagasan menteri P&K yang baru
itu.
Tim semacam KPPN itu memang bukan barang baru. Setidaknya
menurut Slamet Iman Santoso, tim serupa pernah dibentuk pada
tahun 1964. "Tapi ternyata semua usul yang saya ajukan, baik
ketika menjadi anggota tim itu maupun anggota KPPN, tak pernah
ketahuan nasibnya. Bahkan saya tak tahu apakah usul-usul tim itu
betul-betul diulas atau dipelajari," ujar Slamet kesal. Bekas
Wakil Ketua KPPN itu menyimpulkan perubahan-perubahan di bidang
pendidikan selama ini tak pernah lengkap. "Ibarat rencana
membangun rumah yang dikerjakan cuma wcnya saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini