Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penari lelaki ini berulang kali menjatuhkan diri di atas panggung, kemudian bangkit lagi. Beberapa waktu kemudian ia memukul-mukul dadanya sendiri. Setelah itu, ia bersimpuh. Mulutnya menganga lebar, urat lehernya bertonjolan. Seperti tengah berteriak, tapi dalam diam.
Lampu panggung kemudian meredup. Tiga penari perempuan dan satu lagi penari lelaki lain bergantian memasuki panggung berhias puluhan lampu bohlam gantung, yang kini menyala kekuningan. Kadang mereka terdiam di satu sudut panggung, cukup lama. Namun, di saat lain, mereka berlari mengitari panggung, berputar, meliuk, sampai menjambak rambut sendiri.
Danang Pamungkas, koreografer tarian ini, ingin mengajak penonton kembali mengunjungi beban dan rasa frustrasi atas semua perasaan yang dipendam, tak pernah terucap. Entah atas nama tata krama entah ketakutan terhadap konsekuensi yang mengikutinya.
"Karya ini memang tentang perasaan galau yang tersimpan," ujarnya ketika ditemui seusai geladi resik A Part of Passion-begitu tajuk tarian ini di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, 14 Oktober lalu. Tari ini, menurut Danang, bukan cerita pribadi tentang dirinya. "Tapi tentang Anda semua," kata koreografer asal Solo yang sempat bergabung selama tiga tahun di Cloud Gate Dance Theatre di Taiwan ini.
Tak melulu bergelut pada masalah internal diri sendiri, Danang juga membicarakan masalah ini dalam konteks hubungan antarmanusia. Seperti saat penari pria berulang kali mencoba merengkuh seorang penari wanita dengan halus. Seperti berpikir beberapa lama, sang penari perempuan kemudian selalu menolaknya.
Pertunjukan ini menggunakan panggung berbentuk segi empat yang ditata minimalis. Selain lampu bohlam yang menjuntai dari langit-langit, properti yang digunakan hanyalah kursi, yang muncul sekelebat, dan kipas angin, yang diletakkan di satu sisi panggung. Kipas ini dinyalakan oleh penari hampir di sepanjang pertunjukan yang berlangsung selama satu jam itu. Selain untuk menunjang estetika, Danang menyebut angin yang muncul dapat diartikan sebagai perlambang tekanan pada para penari.
Sementara itu, kesuraman karya ini tak hanya terlihat dari raut wajah, tapi juga baju kelabu berpotongan sederhana yang digunakan para penari. Di beberapa bagian, para penari kadang sama sekali tak bergerak. Mereka terdiam cukup lama, tanpa ada musik yang mengiringinya. Ini adalah jawaban Danang atas "keharusan" untuk bergerak dalam tari.
"Dalam koreografi, ada kecenderungan takut diam, harus bergerak. Padahal ketika diam itu ada momen yang penting di sana," ujarnya. Ia juga banyak menggunakan gerak yang sangat perlahan dalam tarian ini, yang inspirasinya diambil dari gerak tarian Jawa dan taichi.
Bagian akhir tarian adalah saat katup-katup penyumbat akhirnya meledak. Tubuh penari mengejang liar, dengusan napas yang keras menyertai liukan tubuh. Rambut tak lagi diikat serta gaun-gaun yang disingkap tak lagi menyembunyikan lekuk tubuh.
Danang menyebutkan ia menyemai embrio pertunjukan tari ini sejak 2011, ketika mengerjakan proyeknya yang berjudul Passion. Karyanya tentang Dewi Uma dan Dewa Siwa pada 2012 juga memberi pengaruh pada tarian ini. "Bahwa mereka adalah suami-istri, tapi berkonflik," katanya.
Ia juga mendapat pengaruh dari film Hungaria yang diproduksi pada 2011, The Turin Horse. Dalam film ini, kata Danang, diceritakan sepasang suami-istri yang tak ada hasrat dalam kehidupannya."Mereka mempertanyakan sebenarnya hidup berdampingan itu penting atau tidak," ujarnya.
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo