RADIASI, istilah yang kerap menakutkan itu, perlahan-lahan mulai "memasyarakat" di sini. Berdiri paling depan dalam mempromosikan teknologi ini, Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) baru saja mendatangkan perangkat radiasi untuk pengawetan kayu lapis. Dltempatkan di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi di Pasar Jumat, Jakarta, perangkat buatan Jepang ini cukup mahal. "Sekitar Rp I milyar," ujar Ir. Djali Ahimsa, dirjen Batan. Itu pun masih merupakan proyek percontohan, tentu saja. "Sebagaimana lazimnya teknologi mutakhir, alat semacam itu memang tidak murah, lagi pula pengoperasiannya tidak bisa ditangani sembarang orang," kata kalangan produsen kayu lapis di Indonesia. Tambahan pula, "Dalam situasi perdagangan kayu lapis yang agak sepi ini, agaknya mustahil ada yang beram mengimvestasikan modalnya untuk alat semacam itu," kata sumber yang sama. Tetapi, perangkat radiasi yang didatangkan dengan biaya bersama pemerintah Indonesia, UNDP, Badan Tenaga Atom Internasional, dan pemerintah Jepang itu me mang bukan semata-mata untuk kepentingan domestik. Ia juga akan digunakan oleh negara-negara anggota Regional Cooperative Agreement (RCA): Malaysia, Singapura, Muangthai, Filipina, India, Sri Lanka, Pakistan, dan Bangladesh, yang akan mengirimkan orang-orangnya ke Batan. Digunakan untuk kayu lapis, alat ini akan menghasilkan mutu, "Yang lebih kuat, lebih halus, dan tahan api," kata Djali Ahimsa. Secara sederhana, kayu lapis terjadi dari lapisan-lapisan kayu yang, setelah diberi perekat, ditekan dengan teknikdingin ataupun panas. Perekat bisa menggunakan damar sintetis,. misalnya phenol, atau urea-formaldeyde. Konon, yang disebut belakangan ini menghasilkan produk yang lebih baik: tahan terhadap perubahan cuaca dan serangan organisme renik. Langkah berikutnya, sebelum kayu lapis memasuki pasaran, ialah pengawetan dan perkuatan permukaan. Teknik yang lazim dipakai adala Dolimerisasi. Melalui proses ini, permukaan kayu lapis seolah-olah dibubuhi "lapisan plastik" yang sangat tipis, hingga hampir tidak terlihat mata telanjang. Untuk itu dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi. Dengan alat percontohan ini, kayu lapis tak lagi perlu dipanaskan. Bahan monomer cukup disiramkan di atas lapisan, kemudian ditembaki dengan elektron oleh akselerator. Penembakan elektron ini menghasilkan thermoplastic, seperti polythylene dan polyvinyl chloride. Seluruh proses memakan waktu satu menit. Untuk kita, salah satu hambatan dalam menggunakan alat ini ialah, sekali lagi, biaya. Salah satu bahan baku monomer, yaitu liquid nitrogen, kelewat mahal: hampir Rp 1 juta untuk pemakaian sepuluh jam. "Di Jepang memang lebih murah," ujar Ir. Wandowo, kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Jakarta, tanpa menyebut harga pasti. Batan sendiri, sebetulnya, diamdiam sudah agak jauh mempromosikan pemanfaatan radiasi dan radioisotop di berbagai bidang. Di dunia kedokteran, produksi isotop Batan secara rutin melayani RSCM dan RS Persahabatan di Jakarta serta RS Hasan Sadikin Bandung. Permintaan dari tahun ke tahun meningkat antara 24% dan 55%. Radiasi juga digunakan untuh menyucihamakan peralatan kedokteran, karena dianggap jauh lebih menguntungkan dari teknik sucihama menggunakan panas dan gas Etilen Oksida (ETO). Apalagi, beberapa negara mulai melarang penggunaan ETO, karena resldu gas ini dapat memmbulkan efek mutagen dan carcinogen - yang menjurus kepada kanker. Pada 1982, misalnya, tidak kurang dari 26 ton peralatan kedokteran yang disucihamakan Batan dengan teknik nuklir ini. Teknik radiografi dengan sinar gamma dan sinar X untuk memeriksa mutu las, hasil cor logam, dan konstruksi beton juga makin galak di sini. Paling tidak, sekarang terdapat sepuluh perusahaan swasta yang bergerak dalam jasa pemeriksaan radiografi, di samping beberapa instansi pemerintah. Radiasi juga digunakan untuk vulkanisasi lateks karet alam dan analisa kimia pencemaran. Namun, yang sering mengundang pertanyaan kelompok awam, agaknya, ialah bila radlasi dikaitkan dengan pengawetan makanan. Padahal, Batan sudah mencobakan teknologi ini untuk pengawetan udang dan beberapa jenis rempah. Hasilnya, "Tidak mengurangi nilai gizi, meskipun kadang-kadang bisa mengubah rasa," kata Hans Blix, direktur Badan Tenaga Atom Internasional, yang datang ke Jakarta meresmikan alat radiasi kayu lapis tadi.Badan pangan dan kesehatan PBB sudah merekomendasikan teknik pengawetan ini, November 1982. Syaratnya, radiasi tidak boleh melewati 1 megarad. Dalam percobaan Batan terhadap udang, kata Djali Ahimsa, hanya digunakan kekuatan 0,3-0,5 megarad. Radiasi dengan kekuatan 10 ribu rad, misalnya, sudah mencegah kentang brkecambah. Dengan 50 ribu rad serangga-serangga yang menggerogoti gandum bakal tewas, dan dengan tiga juta rad daging babi menjadi steril. Lalu, bagaimana faktor keamanannya? "Sebagai makhluk hidup, kita sebenarnya menerima radiasi dari zat-zat radioaktif di permukaan bumi," kata sebuah sumber Batan. Zat itu bisa terdapat di baharl dinding dan lantai bangunan, dalam air, dari sinar kosmos yang berasal dari matahari maupun ruang antarbintang, bahkan dalam tubuh kita sendiri. "Toh kita tetap sehat," kata sumber tadi. Toh tak ada salahnya sikap berhati-hati. Itulah sebabnya, barangkali, Departemen Kesehatan belum serta-merta memberikan lampu hijau pada teknik radiasi untuk pengawetan makanan. "Kita masih mempelajarinya dengan mengambil perbandingan beberapa negara maju," ujar Midian Sirait, dirjen POM Depkes kepada TEMPO, pekan lalu. Di samping faktor toleransi tubuh, Midian juga mempertimbangkan sikap negeri pengimpor makanan awet kita. "Bagaimana kalau mereka ragu sehingga angka ekspor kita turun?" katanya. Betul juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini