Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menabur garam memetik hujan

BPPT bersama badan meteorologi dan geofisika mengadakan hujan buatan atas permintaan perum otorita jatiluhur. sejak 1979 sudah lima kali percobaan di lakukan oleh BPPT. (ilt)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA ketinggian 9.000 kaki, pesawat Casa 212 milik TNI-AU itu melayang di atas wilayah Sumedang-Conggeang, Jawa Barat. Begitu terdengar bel berdering panjang, Sersan Kepala Mista dengan sigap merobek kantung-kantung plastik yang teronggok di depannya. la tak menggunakan pisau komando, melainkan pisau dapur biasa. Kantung itu pun hanya berisi garam halus. Melalui corong yang terdapat di perut pesawat, garam tadi ditebarkan ke atas gumpalan mega. Pekerjaan itu membutuhkan waktu 15 menit. Kemudian pesawat kembali ke Pangkalan Husein Sastranegara, Bandung. Sejak 24 September lalu, dua pesawat TNI-AU (Skyvan dan Casa 212) serta dua pesawat Pilatus Porter milik Satuan Udara Pertanian bergantian mengudara dalam upaya membuat hujan. Rangkaian kegiatan ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), atas permintaan Perum Otorita Jatiluhur (POJ). Kuat dugaan, hujan yan mengguyur Jakarta pada 1 Oktober lalu merupakan bagian dari hujan buatan ini. Soalnya, percobaan periode 24 September-l Oktober memang diarahkan untuk Jakarta, dan dijatuhkan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, seluas 100 km2. Setelah itu, 1-7 Oktober, percobaan diarahkan ke timur-barat Jatiluhur, sekitar Kabupaten Subang. Sejak 1979, sudah lima kali percobaan membuat hujan dilakukan. Kali ini, atas permintaan POJ, jadwal percobaan dimajukan mengingat kemungkinan musim kemarau panjang. Persediaan air di waduk Jatiluhur makin menyusut. "Memang belum begitu gawat," ujar Ir. Newoso, kepala Subdirektorat Penelitian dan Pengembangan POJ, yang ditemui TEMPO pekan lalu. Pada catatan 5 Oktober, duga muka air (DMA) di waduk tersebut memperlihatkan +87,95. Untuk memutar mesin turbin pembangkit listrik, dibutuhkan minimal DMA +76. Tapi, bila kemarau terlalu panjang, akan dihadapi kesulitan mencapai titik optimum musim hujan terakhir (+ 107). Karena itu, percobaan hujan buatan ini merupakan "upaya menaikkan debit air, supaya waduk tidak sempat kering dan pembangkit listrik bekerja normal," ujar Ridwan Tamin, B.Sc., koordinator proyek hujan buatan. Bendungan Jatiluhur, yang mempunyai kapasitas tampung tiga milyar m3- air, minimal harus melaksanakan tiga fungsi. Pertama, sebagai pembangkit tenaga listrik dengan produksi rata-rata 700 juta kwh pertahun. Kedua, penyediaan air bagi 260 ribu hektar areal persawahan. Dan terakhir, sebagai sumber air minum, industri, serta penggelontoran - terutama untuk Jakarta - dengan debit air 14 m3 per detik. Percobaan kali ini, di samping untuk mengisi waduk, juga dimaksudkan membantu pengairan di daerah nonteknis yang terlanjur ditanamn Sekaligus menambah debit Sungai Ciliwung, sumber PAM DKI Jakarta Raya. Sebelum percobaan, debit air Ciliwung hanya 3 m3 per detik. Setelah percobaan, debit air naik menjadi 6,5 m3 per detik. Debit yang diharapkan adalah 14 m3 per detik. Prinsip hujan buatan sebetulnya sangat sederhana. Pembibitan awan hujan yang pertama diciptakan oleh Vincent J. Schaefer dan Irving Langmuir dari General Electric, 1946. Asas yang mendasarinya merupakan model logika dan kesederhanaan. Ke dalam awan, yang terdiri dari titik-titik air sangat dingin, dimasukkan zat perangsang untuk membentuk hablur. Ada dua bahan yang lazim dipakai ketika itu, yaitu perak iodida dan karbon dioksida padat alias es kering. Dalam percobaan saat itu, BPPT menggunakan garam halus (NaCl) yang ditebarkan pada lapisan awan. Bahan ini berfungsi sebagai inti kondensasi yang mengikat uap menjadi butir-butir air. Untuk menyiram kawasan Jatiluhur seluas 400 km2, dibutuhkan empat sampai lima ton garam halus yang ditebarkan dalam 12 kali penerbangan, pagi sampai lewat tengah hari. Selesai menabur garam, dua pesawat Pilatus Porter naik, masing-masing memuat 500 liter cairan, campuran urea, amonium nitrat, dan air, dengan perbandingan 3:1:4. Cairan ini disemprotkan di lokasi yang sama, untuk menjatuhkan butir-butir air tadi. Hujan biasanya turun dua sampai tiga jam setelah penyemprotan. Hujan yang turun di sekitar lokasi dicatat oleh stasiun pengamat meteorologi dan dikirimkan ke pos komando di Lanuma Husein Sastranegara, setiap pagi. Modal dasar yang diperlukan ialah awan. Namun, secara teoretis, hujan buatan bisa diciptakan tanpa awan, asal kelembaban udara mencapai 70%. Kemudian harus diperhitungkan arah dan kecepatan angin. Melebihi 15 knot per jam, lapisan awan akan buyar. Suhu awan tidak boleh melebihi 12øC. "Kalau terlalu panas, awan menjadi kering dan tak mengandung air," kata Ridwan Tamin, yang juga staf Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam BPPT. Ketinggian ideal awan ialah di bawah 7.000 kaki. Selama empat kali percobaan terdahulu, hujan yang bisa "dipetik" dari percobaan semacam ini cukup menggembirakan: 1979 (118 juta m3), 1980 (110 juta m3), 1981 (95 juta m3), dan 1982 (400 juta m3). Percobaan kali ini diharapkan mampu menaikkan DMA di waduk Jatiluhur sekitar +2. "Dengan demikian, titik hampir gawat sudah terlewati," ujar Deddy Supriadi, pejabat hubungan masyarakat POJ. Hingga saat ini, percobaan hujan buatan BPPT hanya dilakukan setahun sekali. Membuat hujannya sendiri memang tidak sulit. Tetapi persiapannya memakan waktu lama dan perlu koordinasi dengan instansi lain. Misalnya TNI-AU, BMG, Pertamina, ITB, dan IPB - "pawang" yang dilibatkan sekitar 100 orang. Di samping itu, ongkosnya tak bisa dibilang ringan. Sekali percobaan menelan Rp 100 juta sampai Rp 150 juta. Selain di Jatiluhur, pernah pula dilakukan percobaan di Gunung Kidul (1980-1981) Lombok ( 1980), dan Kalimantan Selatan (Mei-Juni 1983). Percobilan hujan buatan pernah dianggap merusakkan taman tembakau petani Subang, 1981. Ketika itu, pemerintah daerah Jawa Barat bersama BPPT dan POJ sempat membuat seminar di Bandung. Kesimpulannya: hujan buatan dapat dikuasai, teknologinya perlu disempurnakan, dan tidak boleh melangggar proses alamiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus