PADA ketinggian 9.000 kaki, pesawat Casa 212 milik TNI-AU itu
melayang di atas wilayah Sumedang-Conggeang, Jawa Barat. Begitu
terdengar bel berdering panjang, Sersan Kepala Mista dengan
sigap merobek kantung-kantung plastik yang teronggok di
depannya. la tak menggunakan pisau komando, melainkan pisau
dapur biasa. Kantung itu pun hanya berisi garam halus.
Melalui corong yang terdapat di perut pesawat, garam tadi
ditebarkan ke atas gumpalan mega. Pekerjaan itu membutuhkan
waktu 15 menit. Kemudian pesawat kembali ke Pangkalan Husein
Sastranegara, Bandung.
Sejak 24 September lalu, dua pesawat TNI-AU (Skyvan dan Casa
212) serta dua pesawat Pilatus Porter milik Satuan Udara
Pertanian bergantian mengudara dalam upaya membuat hujan.
Rangkaian kegiatan ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG), atas permintaan Perum Otorita Jatiluhur (POJ).
Kuat dugaan, hujan yan mengguyur Jakarta pada 1 Oktober lalu
merupakan bagian dari hujan buatan ini. Soalnya, percobaan
periode 24 September-l Oktober memang diarahkan untuk Jakarta,
dan dijatuhkan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, seluas
100 km2. Setelah itu, 1-7 Oktober, percobaan diarahkan ke
timur-barat Jatiluhur, sekitar Kabupaten Subang.
Sejak 1979, sudah lima kali percobaan membuat hujan dilakukan.
Kali ini, atas permintaan POJ, jadwal percobaan dimajukan
mengingat kemungkinan musim kemarau panjang. Persediaan air di
waduk Jatiluhur makin menyusut. "Memang belum begitu gawat,"
ujar Ir. Newoso, kepala Subdirektorat Penelitian dan
Pengembangan POJ, yang ditemui TEMPO pekan lalu.
Pada catatan 5 Oktober, duga muka air (DMA) di waduk tersebut
memperlihatkan +87,95. Untuk memutar mesin turbin pembangkit
listrik, dibutuhkan minimal DMA +76. Tapi, bila kemarau terlalu
panjang, akan dihadapi kesulitan mencapai titik optimum musim
hujan terakhir (+ 107). Karena itu, percobaan hujan buatan ini
merupakan "upaya menaikkan debit air, supaya waduk tidak sempat
kering dan pembangkit listrik bekerja normal," ujar Ridwan
Tamin, B.Sc., koordinator proyek hujan buatan.
Bendungan Jatiluhur, yang mempunyai kapasitas tampung tiga
milyar m3- air, minimal harus melaksanakan tiga fungsi. Pertama,
sebagai pembangkit tenaga listrik dengan produksi rata-rata 700
juta kwh pertahun. Kedua, penyediaan air bagi 260 ribu hektar
areal persawahan. Dan terakhir, sebagai sumber air minum,
industri, serta penggelontoran - terutama untuk Jakarta - dengan
debit air 14 m3 per detik. Percobaan kali ini, di samping untuk
mengisi waduk, juga dimaksudkan membantu pengairan di daerah
nonteknis yang terlanjur ditanamn Sekaligus menambah debit
Sungai Ciliwung, sumber PAM DKI Jakarta Raya. Sebelum percobaan,
debit air Ciliwung hanya 3 m3 per detik. Setelah percobaan,
debit air naik menjadi 6,5 m3 per detik. Debit yang diharapkan
adalah 14 m3 per detik.
Prinsip hujan buatan sebetulnya sangat sederhana. Pembibitan
awan hujan yang pertama diciptakan oleh Vincent J. Schaefer dan
Irving Langmuir dari General Electric, 1946. Asas yang
mendasarinya merupakan model logika dan kesederhanaan. Ke dalam
awan, yang terdiri dari titik-titik air sangat dingin,
dimasukkan zat perangsang untuk membentuk hablur. Ada dua bahan
yang lazim dipakai ketika itu, yaitu perak iodida dan karbon
dioksida padat alias es kering.
Dalam percobaan saat itu, BPPT menggunakan garam halus (NaCl)
yang ditebarkan pada lapisan awan. Bahan ini berfungsi sebagai
inti kondensasi yang mengikat uap menjadi butir-butir air.
Untuk menyiram kawasan Jatiluhur seluas 400 km2, dibutuhkan
empat sampai lima ton garam halus yang ditebarkan dalam 12 kali
penerbangan, pagi sampai lewat tengah hari.
Selesai menabur garam, dua pesawat Pilatus Porter naik,
masing-masing memuat 500 liter cairan, campuran urea, amonium
nitrat, dan air, dengan perbandingan 3:1:4. Cairan ini
disemprotkan di lokasi yang sama, untuk menjatuhkan butir-butir
air tadi. Hujan biasanya turun dua sampai tiga jam setelah
penyemprotan. Hujan yang turun di sekitar lokasi dicatat oleh
stasiun pengamat meteorologi dan dikirimkan ke pos komando di
Lanuma Husein Sastranegara, setiap pagi.
Modal dasar yang diperlukan ialah awan. Namun, secara teoretis,
hujan buatan bisa diciptakan tanpa awan, asal kelembaban udara
mencapai 70%. Kemudian harus diperhitungkan arah dan kecepatan
angin. Melebihi 15 knot per jam, lapisan awan akan buyar. Suhu
awan tidak boleh melebihi 12øC. "Kalau terlalu panas, awan
menjadi kering dan tak mengandung air," kata Ridwan Tamin, yang
juga staf Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam BPPT.
Ketinggian ideal awan ialah di bawah 7.000 kaki.
Selama empat kali percobaan terdahulu, hujan yang bisa "dipetik"
dari percobaan semacam ini cukup menggembirakan: 1979 (118 juta
m3), 1980 (110 juta m3), 1981 (95 juta m3), dan 1982 (400 juta
m3). Percobaan kali ini diharapkan mampu menaikkan DMA di waduk
Jatiluhur sekitar +2. "Dengan demikian, titik hampir gawat sudah
terlewati," ujar Deddy Supriadi, pejabat hubungan masyarakat
POJ.
Hingga saat ini, percobaan hujan buatan BPPT hanya dilakukan
setahun sekali. Membuat hujannya sendiri memang tidak sulit.
Tetapi persiapannya memakan waktu lama dan perlu koordinasi
dengan instansi lain. Misalnya TNI-AU, BMG, Pertamina, ITB, dan
IPB - "pawang" yang dilibatkan sekitar 100 orang. Di samping
itu, ongkosnya tak bisa dibilang ringan. Sekali percobaan
menelan Rp 100 juta sampai Rp 150 juta. Selain di Jatiluhur,
pernah pula dilakukan percobaan di Gunung Kidul (1980-1981)
Lombok ( 1980), dan Kalimantan Selatan (Mei-Juni 1983).
Percobilan hujan buatan pernah dianggap merusakkan taman
tembakau petani Subang, 1981. Ketika itu, pemerintah daerah
Jawa Barat bersama BPPT dan POJ sempat membuat seminar di
Bandung. Kesimpulannya: hujan buatan dapat dikuasai,
teknologinya perlu disempurnakan, dan tidak boleh melangggar
proses alamiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini