Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dulu sengkon-karta, kini taliso

Karena dituduh membunuh, seorang nelayan di tapanuli, taliso dan kedua anaknya ditahan di lp kotanopan, sibolga. setelah 4 th ditahan ternyata mereka tak bersalah. (hk)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TALISO Goa muncul dari balik jeruji besi, langkahnya terhuyung-huyung, menyambut Onan Purba, tamunya dari LBH, dengan ratapan, "Tolonglah kami, Pak ... bukan kami yang membunuhnya." Salah seorang anaknya yang sama-sama menjalam hukuman, Sudarso Goa, menambahi, "Benar, Pak, pembunuh yang sebenarnya, Taliruddin Lao Iy, orangnya juga ada di LP ini." Taliruddin, yang disebut kedua orang itu, mengangguk membenarkan, "Benar, saya lah yang membunuh bersama Buala Halawa." Selama ini tutur Taliruddin, ia takut mengaku membunuh seorang nelayan bernama Tamajis Zoga. "Karena diancam Bua la," kata Taliruddin, yang ketika peristiwa pembunuhan terjadi, 1980, masih berusia 1 tahun. Kasus "salah hukum", yang pernah dialami Sengkon dan Karta tiga tahun lalu, kini muncul lagi. Kasus Sengkon dan Karta merupakan kasus salah hukum yang pertama ditemukan di Indonesia. Kedua petani Bekasi, Jawa Barat, itu telanjur dihukum karena dianggap terbukti merampok. Tapi, setelah mereka menjalani hukuman selama 6 tahun, pelaku perampokan yang diikuti pembunuhan yang sebenarnya terbukti adalah Gunel. Mahkamah Agung terpaksa menghidupkan lembaga peninjauan kembali keputusan pengadilan yang sudah mendapat kekuatan pasti, herziening. Kedua korban salah hukum itu pun dibebaskan (TEMPO 13 Desember 1980). Akan halnya Taliso, sudah hampir 4 tahun menjalani hukuman bersama dua orang anaknya, Sudarso dan (almarhum) Arsoki. Mereka dihukum bersama Taliruddin sebagai pelaku pembunuhan terhadap Tamajiso. Peristiwa buruk yang menimpa keluarga Goa yang berasal dari Nias itu bermula ketika mayat Tamajiso terdampar di Pantai Muara Singkil, Kecamatan Lumut, Tapanuli Tengah, 27 April 1980. Polisi yang datang memeriksa memasukan bahwa korban meninggal karena dibunuh - di leher mayat tersebut ditemukan bekas cekikan. Mula-mula polisi menangkap Buala dan Taliruddin. Kedua orang itu, menurut informasi yang didapat polisi, merupakan orang terakhir yang diketahui bersama korban. Tapi Buala membantah. Ia malah menuduh keluarga Goa dan Taliruddin yang membunuh Tamajiso. Sebab, menurut Buala kepada polisi, ia pernah diajak Taliso untuk membunuh korban. Ia menolak, katanya, karena tidak pernah punya urusan dengan Tamajiso. Sebaliknya, tutur Buala, keluarga Goa pernah bertengkar dengan korban. Tuduhan Buala yang terakhir ini menjadi titik tolak pengusutan polisi. Sebab, banyak saksi membenarkan Taliso pernah bertengkar dengan Tamajiso. Taliso (48) bersama kedua anaknya dan Taliruddin ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan terhadap korban yang ketika itu sedang memancing. Keempat orang itu membantah tuduhan. Tapi, seperti cerita dari balik jeruji yang sering terdengar, mereka disiksa. "Anak saya sampai meninggal akibat penyiksaan itu," kata Taliso. Arsoki, 20 tahun, anak pertama Taliso. meninggal setelah setahun ditahan dan menjalani hukumannya - setelah menderita batuk darah. "la disiksa lebih berat, karena tak mengakui pembunuhan itu," ucap Taliso lagi. Di Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili keempat nelayan itu, September 1980, mereka juga membantah tuduhan. Taliso dan kedua anaknva mengaku berada dirumah ketika terjadi peristiwa pembunuhan itu. Bahkan mereka bersedia mengajukan beberapa saksi untuk menguatkan alibi itu. Pertengkaran keluarga itu dengan Tamajiso sebelumnya dibenarkan, "tapi sudah selesai dengan perdamaian di kantor kepala kampung," ujar Taliso. Namun, majelis hakim, yang diketuai Marina Sidabutar yang sekarang menjadi hakim di Lubuk Pakam, Deli Serdang, lebih mempercayai cerita versi polisi. Taliso dihukum penjara 6 tahun, Sudarso 5 tahun, Taliruddin 4 tahun, dan Arsoki 5 tahun. Mereka menerima nasib. Dan, menurut Taliso, mereka tidak tahu bahwa ada upaya banding untuk memperbaiki putusan itu. April lalu, tidak disangka-sangka, Taliruddin mengungkapkan semua kejadian tiga tahun lalu itu kepada Taliso. Mereka, Taliruddin dan Buala, membunuh Tamajiso sebagai pelampiasan dendam Buala yang tersinggung oleh maki-makian korban. Sebelumnya, Tamajiso kesal karena, menurut Taliruddin, sampannya dipakai Buala tanpa permisi. Taliruddin mengaku ikut Buala mengejar Tamajiso ke tengah laut. Setelah ditemukan, menurut Taliruddin, korban dijerat oleh Buala dan kemudian dibenamkan ke laut sampai tidak bernapas lagi. Lalu mayatnya dibuang ke laut. "Jangan kau coba-coba ceritakan kepada orang lain. Jika kau ceritakan, nasibmu seperti dia," kata Buala mengancam seperti dituturkan kembali oleh Taliruddin. Berdasarkan pengakuan itulah, Taliso bersama anaknya mengadu ke LBH Medan. Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar Siregar, yang diberitahu kemudian, meminta LBH menjajaki kasus itu. Hasilnya, "ternyata banyak kejanggalan dalam proses perkara itu," ujar Onan Purba, yang menemui Taliso dan anaknya serta Taliruddin di LP Kotanopan, 28 September lalu. Kejanggalan itu, menurut Onan, misalnya, para tertuduh di awal persidangan tidak ditawari untuk didampingi pembela walau jelas-jelas diancam hukuman berat. Juga, setelah menyatakan vonis, hakim lupa memberi tahu hak para terhukum untuk naik banding. Tapi, yang lebih janggal, menurut Onan, tidak ada berita acara pemeriksaan persidangan. "Hakim menyepelekan kasus itu karena hanya menyangkut rakyat kecil," ujar Onan. Sebab itu, selain akan menuntut pemeriksaan ulang atau herziening, Onan berniat menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Benarkah tuduhan Onan? Dua di antara tiga hakim yang mengadili kasus itu sudah pindah dari Sibolga. Satu-satunya yang masih tinggal, Hakim A. Sani Hasibuan, membenarkan bahwa Taliso dan kawan-kawan tidak ditawari pembela "karena saat itu belum ada KUHAP." Adapun tawaran untuk banding, menurut Sani, "seingat saya ada - tapi saya tidak begitu pasti, karena berita acaranya sudah hilang." Hilangnya berita acara itu diangap Bismar Siregar sebagai "kebobrokan luar biasa para bawahannya. "Bagaimana mereka bisa membuat putusan, kalau berita acara tidak ada. Apalagi para tertuduh membantah tuduhan," ujar Bismar yang berjanji akan meluruskan kasus itu. Tak begitu mudah. Buala, yang dituding sebagai pembuat kasus salah hukum itu, kini tidak diketahui alamatnya. Sebaliknya, Taliruddin, yang mengungkapkan kasus itu, sekarang dirundung cemas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus