ADA kabar gembira untuk para nelayan: bisnis penangkapan ikan memasuki zaman satelit! Pawang ikan bisa kehilangan mata pencarian, dan main tebak-tebakan sudah bukan masanya lagi. Pendek kata sebelum turun ke laut, para nelayan modern memerlukan singgah di sebuah stasiun bumi, dan membaca informasi lokasi ikan yang dipancarkan dari satelit ruang angkasa. Hanya saja, fasilitas ini baru dinikmati kelompok terbatas. Terutama para nelayan California, AS, yang mencari nafkah dengan berburu ikan salem, tongkol, atau jenis lainnya di Lautan Teduh. Pada tingkat pertama, satelit akan "membaca" bagian laut tempat ikan tertentu mencari makanan. Dengan informasi ini, para nelayan tidak perlu menghabiskan waktu dan bahan bakar, berputar-putar di laut luas mencari lokasi ikan. Menurut perkiraan sementara, dengan sistem satelit ini nelayan Pantai Barat menghemat waktu sekitar 25%. Menurut para ahli bahari, cara baru ini akan banyak menolong industri perikanan AS, yang kebetulan sedang oleng dihajar tingginya ongkos bahan bakar. Dari segi lingkungan, konon, populasi ikan tidak akan terganggu selama "manajemen pemanfaatan sumber" bisa diatur secara tertib. Sampai saat ini, informasi itu disiarkan cuma-cuma kepada para nelayan melalui kerja sama Lembaga Atmosfer dan Samudra Nasional, Laboratorium Tenaga Jet, dan Lembaga Oseanografi Scripps. Pelayanan ini, agaknya, diberikan mengingat musibah yang menimpa nelayan Pantai Barat, tahun silam. Ketika itu, terjadi bencana "El Nino" - kenaikan suhu laut di luar ukuran normal. Sebagai akibatnya, ikan-ikan menghilang dari tempat mereka biasa ditemukan.: Dalam bentuk sederhana, satelit melacak lokasi ikan melalui perbedaan suhu dan warna permukaan laut. "Kegiatan kawanan ikan mencari makanan membawa perubahan warna tertentu pada permukaan laut, ujar Mike Laurs, oseanograf pada Pusat Perikanan Barat aya. Angin lepas pantai dan beberapa faktor lain membuat suhu laut turun di sepanjang pantai. Keadaan ini mengundang datannya plankton dalam jumlah melimpah. Daram keadaan demikian, permukaan laut cenderung berwarna hijau kotor, atau cokelat. Secara relatif, air laut yang lebih panas dan berwarna biru, atau ungu, selalu berhampiran dengan air yang kotor. Perbedaan warna ini dengan mudah bisa dibaca pada permukaan laut. Ternyata, satelit jua dapat menginderakannya tanpa kesulitan yang berarti. Ikan tongkol, menurut Dr. Laurs, menyenangi air laut yang lebih hangat. Ikan salem, sebaliknya, lebih menyukai air yang dingin. Kawanan salem mencari makan dengan mengandalkan penciuman. Satelit, dengan kemampuan penglihatannya yang panoramis, secara tepat akan memperlihatkan perubahan warna dan suhu air laut. "Satelit tidak akan memberi tanda X di peta dan mengatakan ikan berada di tempat itu," ujar Dr. Laurs. "Melainkan, satelit akan mengatakan bahwa kemungkinan mendapat ikan di lokasi X lebih besar daripada di tempat lain." Secara tradisional, para nelayan juga menentukan lokasi ikan, antara lain dengan memperhatikan perubahan warna pada permukaan laut. "Tapi mencari perubahan warna ini dengan mata telanjang, dan di laut terbuka, tentu sulit," ujar Frank Mason, pimpinan Asosiasi Pemilik Kapal Ikan Pantai Barat, San Diego, yang beranggotakan 450 nelayan. Selama ini, "perikanan merupakan bisnis yang mempertukarkan bahan bakar dengan ikan," katanya. Tidak jarang para nelayan menghabiskan sekitar 500 liter bahan bakar hanya untuk berputar-putar di laut lepas, tanpa hasil seekor jua. Kapal besar yang menggunakan pukat bisa menghabiskan Rp 3 juta sehari hanya untuk bahan bakar. Beberapa perusahaan perikanan bahkan menggunakan helikopter untuk mencari lokasi ikan. "Kini, satelitlah yang tampil sebagai juru selamat para nelayan," ujar Donald Montgomery dari laboratorium Tenaga Jet di Pasadena, California. Laboratorium yang merintis teknik satelit oseanografis ini menerima Rp 100 juta per tahun dari lembaa ruang angkasa AS (NASA) dan pemerintah federal untuk mengalihkan teknologi satelit perikanan kepada sektor swasta. Selama hampir dua tahun, laboratorium ini menetapkan standar perbedaan warna permukaan laut untuk nelayan komersial di Pantai Barat. Sekali seminggu, gambar-gambar itu ditempelkan di kantor-kantor pelabuhan, toko pengadaan kebutuhan nelayan, dan depot bahan bakar. Karena perubahan warna biasanya bertahan sampai seminggu, para nelayan tetap mendapat kesempatan melaut dan mencari lokasi yang ditentukan. Untuk kapal penangkap ikan yang dilenkapi pesawat penerima, lokasi itu bisa dibacakan dari darat oleh kantor pemilik kapal. "Kami menggunakan warna palsu untuk membedakan tingkat paling hijau dan paling biru permukaan laut," ujar Dr. Montgomery. Sebuah satelit, yang bernama Nimbus 7, bahkan menemukan konsentrasi klorofil, yang mengimbaskan perubahan warna pada permukaan laut. Melalui satelit lain, pusat-pusat informasi perikanan ini juga mengeluarkan peta suhu permukaan laut, yang terbit seminggu sekah. Semua satelit yang dioperasikan untuk informasi perikanan ini melacak kawasan laut hingga setengah jarak pelayaran dari Pantai Barat menuju Hawaii. Kesulitannya, "nelayan, umumnya, kaum yang sangat konservatif," kata Jan Svejkovsky, ilmuwan peneliti pada Lembaga Scripps. "Mereka lebih suka berpedoman pada kayu hanyut, burung, atau isyarat alamiah lainnya."Karena itu, kini, usaha para ilmuwan dipusatkan pada meyakinkan para nelayan betapa mustahaknya informasi satelit bagi kehidupan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini