SEJAK pukul enam pagi, Sabtu ini, orang Medan yang ingin
menelepon ke Ambon atau Jayapura harus menahan diri. Hubungan
teleks dan telegrap antara kedua kota itu pun terputus. Dalam
istilah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, pembekuan
hubungan ini justru dinamakan "masa bakti".
Syahdan pada hari itu, satelit Palapa A yang bekerja tujuh
tahun, memasuki masa 'pensiun'. Fungsinya akan digantikan Palapa
B 1, yang diluncurkan belum lama berselang, melalui penerbangan
ketujuh pesawat angkasa ulang-alik Amerika, Challenger.
Pengalihan operasional ini mengharuskan perubahan arah antena
122 stasiun bumi di Indonesia. Sebelum 30 Juli, antena menghadap
ke 77ø Bujur Timur (BT), di atas Srilangka. Setelah itu, antena
mengarah ke 108ø BT, di atas Kalimantan.
Perubahan kiblat inilah yang diperkirakan memakan waktu sekitar
sembilan jam. "Masa bakti itu tidak bisa kita elakkan, kecuali
kita memiliki dua antena di tiap stasiun bumi," ujar Direktur
Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Ir. S. Abdurrahman. Dengan dua
antena, satu tetap diarahkan ke Palapa A, dan satunya lagi
menghadap Palapa B.
Memang masih ada alternatif lain untuk mengelakkan "masa bakti".
Yaitu dengan jaringan ganda, misalnya, gelombang mikro, di
samping SKSD Palapa. Dan kita memang punya gelombang ini, meski
terbatas pada jalur
Sumatera-Jawa-Madura-Bali-Ujungpandang-Banjarmasin. Karena itu,
masa bakti tidak mengganggu hubungan antardaerah tersebut.
Pekerjaan reposisi antena sebenarnya tidak begitu sulit. "Hanya
bersifat mekanis," kata Ir. Benny S. Nasution, kepala Bagian
Operasi Teknik Transmisi Satelit Perumtel, yang berkantor di
Stasiun Pengendali Utama (SPU) Cibinong. Pekerjaan itu meliputi
pemindahan tiang-tiang penyangga antena, sehingga arahnya tepat
ke Palapa B 1.
Sedikit kesulitan ditemukan pada kenyataan, banyak di antara
tiang penyangga itu sudah berkarat, sehingga agak sulit
digerakkan. Kesulitan lain lebih bersifat sosial ketimbang
teknis. Misalnya, setelah diukur, ternyata ada tiang baru yang
harus dipancangkan di pekarangan orang, bahkan di atas makam.
Lalu bagaimana? "Biasanya penduduk yang bersangkutan bisa
diyakinkan," ujar Benny.
Sebetulnya, tidak semua stasiun bumi membutuhkan waktu sembilan
jam untuk pengalihan operasional itu. "Makin besar antena, dan
makin ke barat letaknya, makin lama waktu yang diperlukan," ujar
Benny, insinyur teknik elektro lulusan ITB, berusia 33 tahun
itu. Soalnya, sudut yang dibentuk Stasiun Bumi (SB), Palapa A 1,
dan Palapa B 1, tidak sama untuk setiap SB. Di Irian Jaya,
misalnya, perubahan arah akan lebih cepat ketimbang di Sumatera
dan Jawa.
Pengalihan operasional juga tidak serta merta membuat sibuk
semua pemakai jasa Palapa. TVRI yang mempunyai stasiun sendiri,
misalnya, tidak akan mengubah arah antenanya secara serentak.
Mereka meminta waktu dua bulan kepada Perumtel, di samping
bantuan teknisi. Sampai batas tertentu Palapa A memang masih
bisa dimanfaatkan, kendati tenaganya surut berangsur-angsur.
Begitu pula Filipina, Muangthai, Malaysia, Singapura, dan
Departemen Hankam, yang juga menyewa transponder Palapa B. Untuk
mengubah arah antena, mereka menunggu Palapa B 2, yang akan
diluncurkan awal tahun depan. Apalagi, selama ini mereka toh
menggunakan Palapa A 2.
Penggunaan Palapa B yang lebih banyak transpondernya
dibandingkan dengan Palapa A (24:12) tidak otomatis berarti
penambahan alat di bumi. "Jumlah peralatan lebih ditentukan lalu
lintas komunikasi," ujar Benny. SPU Cibinong memang mengalami
penambahan alat, karena stasiun ini punya tugas lain, yaitu
mengoperasikan satelit. Di Cibinong kini dipasang peralatan
pengendali satelit, dan komputer pemrosesan data satelit, yang
masih baru. Lima antena di Cibinong pun belum semua diarahkan ke
Palapa B.
Penambahan transponder, yang sampai dua kali lipat, konon
terjadi akibat keperluan jaringan telekomunikasi yang lebih
besar. Apalagi penambahan ini tidak terlalu banyak menambah
biaya. Selama ini, Palapa A memang sudah kewalahan memenuhi
permintaan. Palapa B juga diperkirakan akan mengalami hal yang
sama.
Peningkatan lalu lintas telekomunikasi terutama terjadi antara
kota-kota besar. Tetapi tidak seluruh permintaan bisa dilayani,
karena pembangunan Stasiun Bumi Kecil (SBK) untuk komunikasi
daerah terpencil juga harus diperhitungkan. Terutama dari segi
pemerataan.
Meski angka yang pasti belum diumumkan, Palapa B diperkirakan
lebih mahal ketimbang Palapa A, yang berharga US$ 57 juta pada
1975. Tetapi, menurut Ir. S. Abdrurrahman, kita memang
membutuhkan satelit ini. "Tidak ada perhitungan untung rugi,
karena kami selalu menghitungnya secara total dalam seluruh
operasi Perumtel," katanya. Dan, "semuanya bisa
dipertanggungjawabkan.
"Misi yang pertama adalah pelayanan," ujar Abdurrahman pula.
Sebagai contoh ia menyebut crash program pembangunan SBK yang
dilakukan menjelang pemilihan umum lalu. "Tekanannya pada
pemerataan telekomunikasi," kata Abdurrahman.
Pengalihan operasional dilaksanakan pada hari Sabtu dengan
anggapan, kegiatan telekomunikasi pada hari itu lebih sepi
ketimbang hari lain. Mengapa bukan Minggu? "Nanti ada yang tidak
kebagian film boneka Si Unyil," kata petugas Hubungan Masyarakat
Postel, Drs. Sjamsuddin Tanuatmadja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini