KURSI-kursi untuk keperluan bedah telah diciptakan oleh seorang
dokter kelahiran Kediri. Dibanding dengan buatan luar negeri,
alat kedokteran "pribumi" ini lebih praktis dan harganya sangat
murah. Penciptanya tidak lain Prof. Dr. Moestopo, 70 tahun, ahli
ilmu kedokteran gigi terkemuka yang pernah pula dikenal sebagai
pembakar semangat arek-arek Suroboyo pada 1945 bersama Bung
Tomo.
Dokter tua tamatan Sekolah Tinggi Kedokteran Surabaya (1937) ini
memang tak pernah diam. Di zaman kemerdekaan ia mendirikan
Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Dari kampusnya di
Jalan Hang Lekir, Jakarta, telah dihasilkan tak kurang dari 300
dokter gigi. "Saya sudah menciptakan dokter-dokternya. Sekarang
saya usahakan pula peralatannya," kata Moestopo.
Peralatan tersebut kini dipamerkan di kompleks yayasan di sudut
persimpangan Jalan Ir. H. Juanda dan Jalan Dayang Sumbi --
kawasan perumahan elite di Bandung Utara. Di sana tampak tiga
kursi untuk keperluan bedah dan sebuah lemari yang konon
berfungsi banyak. Semua hasil karya Mayor Jenderal (Purn) Dr.
Moestopo itu.
Di kalangan kedokteran, kursi-kursi operasi dan lemari untuk
peralatan kedokteran semacam itu sebenarnya sudah ada --
terutama produksi Siemens, Jerman Barat. Tetapi yang buatan
Moestopo ini memang lebih praktis. Universal Medical Dental
Chair alias kursi operasi multi fungsi, misalnya. Prinsipnya
persis sama dengan kursi yang digunakan oleh dokter gigi.
Kelebihannya, dudukan kursi bagian depan dihubungkan dengan dua
kursi tanpa sandaran yang bisa dilipat. Dengan begitu ia juga
bisa direntangkan sebagal tempat tidur. Di sebelah kirinya
terdapat peralatan seperti kursi dokter gigi biasa, lengkap
dengan lampunya. Di samping lengan kursi sebelah kiri ada kotak
obat. Selain untuk operasi mulut dan rahang, menurut Moestopo,
kursi ini bisa digunakan untuk bedah umum dan operasi kandungan.
Bila kursi-kursi operasi yang lazim hanya bisa digunakan untuk
satu keperluan saja, misalnya untuk operasi kandungan, kursi
Moestopo bisa dipakai oleh empat ahli: dokter gigi, ahli bedah
mulut, bedah umum, ahli kandungan, dan dokter umum. Harganya
cuma Rp 1 juta -- bandingkan dengan harga peralatan impor yang
bisa mencapai Rp 10 sampai Rp 25 juta. Bahan yang dipakai
Moestopo memang sederhana: pipa-pipa besi untuk kerangka dan
dongkrak mobil sebagai alat penggerak naik-turun. Pada 1981
Direktorat Jenderal Transmigrasi memesan tujuh buah, untuk
puskesmas di Lampung, Medan, Lombok, Jakarta, Banjarmasin, dan
Ujungpandang.
Selain itu Moestopo juga menciptakan kursi untuk pengobatan gigi
yang lebih sederhana (ia menyebutnya Simple Medical Dental
Chair) dilengkapi mesin bor gigi yang juga buatan Moestopo
sendiri. Masih ada lagi kursi untuk keperluan pengobatan gigi
yang bisa dibawa ke mana-mana, terutama untuk desa-desa
terpencil. Moestopo memberinya nama Field Medical Dental Chair.
Ada lagi sebuah lemari, Universal Dental Medical Unit, yang
keempat sisinya memiliki pintu yang bisa dibuka sekaligus, yang
Juga berfungsi sebagai meJa operasi.
Selain dilengkapi kipas angin lampu operasi, dan juga aki 12
volt, beberapa raknya berisi peralatan kedokteran. Lerrari pada
bagian bawah sebelah kanan (dengan pintu yang membuka-menutup
secara vertikal) sebagai penyimpan mesin bor dan mesin poles
gigi. Yang sebelah kiri bawah sebagai tempat sterilisator.
Seperti halnya kursi operasi yang dapat digunakan oleh empat
ahli tadi, lemari ini pun prinsipnya sama, yaitu mempersatukan
semua keperluan dokter. "Pabrik Siemens hanya memproduksi lemari
khusus untuk obat-obatan saja atau untuk lampu-lampu operasi
saja," kata Moestopo. Semua peralatan tersebut, pada 1981 telah
mendapat hak paten No. 154510 dari Departemen Kehakiman.
Dalam setiap kesempatan kongres PABMI (Perhimpunan Ahli Bedah
Mulut Indonesia) dan PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia),
Moestopo tak jemu-jemunya memamerkan hasil karyanya. Baik
Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, Direktur Jenderal
Pelayanan Kesehatan Dr. Brataranuh, dan bahkan Presiden Soeharto
sendiri sudah menyaksikannya.
Tapi peralatan tersebut ternyata kurang laku -- barangkali
karena belum mendapat lisensi dari Departemen Kesehatan. Tahun
lalu Moestopo mengirim gambar-gambar hasil karyanya ke
departemen tersebut. Tapi hasilnya nihil. "Yah, buat apa lagi
saya mengemis-ngemis. Saya ini hanya mengabdi kepada Tuhan dan
membantu yang sengsara," ujar bapak sembilan anak ini.
Gagasan membuat sendiri peralatan kedokteran seperti itu pertama
kali dikemukakan oleh Moestopo pada 1953. "Ketika itu ratusan
kursi kedokteran gigi diproduksi atas order Dinas Kesehatan
Angkatan Darat. Tapi sejak 1960-an, ketika kursi buatan luar
negeri yang kualitasnya lebih baik mulai masuk, produksi kursi
Pak Moes itu terhenti," tutur Drg. P. Martanto, dosen FKG Unpad
yang pernah bertugas di Kodam VI Siliwangi.
Gagasan Moestopo mulai terbetik sejak 1939, ketika ia praktek
sebagai dokter gigi. "Di zaman perang, mana mungkin ada dokter
gigi mampu mengimpor peralatan. Karena itu saya lalu membuat
peralatan sendiri," katanya. Ia masih ingat ketika berkeliling
Surabaya mendorong gerobak berisi peralatan kedokteran gigi.
Katanya lagi dengan bangga: "Sampai sekarang saya sudah melatih
lebih dari 2.000 tukang gigi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini