Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengubah Limbah Dapur Menjadi Biogas

Reaktor biogas berukuran mini cocok dipasang di rumah perkotaan yang berlahan sempit. Menjadi solusi masalah pengelolaan limbah rumah tangga.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Instalasi biogas yang terpasang di rumah Wahyudi di Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat, 3 Juli 2019. TEMPO/Irsyan Hasyim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN Wahyudi bertambah sejak memasang reaktor biogas di rumahnya. Reaktor yang dikembangkan Yayasan Rumah Energi itu dinamai Biogas Mini Rumahan alias Biomiru. Memanfaatkan limbah organik rumah tangga, reaktor itu menjadi peraga bagi anak-anak sekolah dasar di sekitar rumah Wahyudi di Jalan Jati, RT 04 RW 03, Kelurahan Sawangan Baru, Kota Depok, Jawa Barat, untuk belajar mengenai energi ramah lingkungan. “Gurunya menjelaskan pemanfaatan limbah rumah tangga dan biogas sebagai contoh,” kata Yudi, Kamis, 11 Juli lalu. Ia menjelaskan tugasnya mendemokan cara kerja Biomiru.

Biomiru menjadi solusi masalah pengelolaan limbah rumah tangga. Sampah dapur, seperti kulit dan biji buah, potongan sayuran, cangkang telur, nasi basi, sisik ikan, dan kepala udang, bahkan air bekas mencuci beras, bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku membuat biogas. Begitu pun daun, pelepah, dan batang pisang; gulma; serta limbah tanaman di pekarangan rumah, yang biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar, masih berguna sebagai sumber energi terbarukan itu.

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Energi (YRE) Rebekka S. Angelyn, Biomiru merupakan inovasi institusinya yang sebelumnya mengembangkan Biogas Rumah alias Biru untuk sumber energi bagi keluarga peternak. “Biomiru untuk mengakomodasi para pengguna potensial, khususnya bagi rumah tangga yang tidak memiliki ternak sama sekali,” ujar Rebekka menjawab surat elektronik Tempo, Rabu, 17 Juli lalu. “Selain menghasilkan energi, juga menjadi solusi pengolahan limbah organik rumah tangga yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk penyubur tanaman di pekarangan rumah.”

Sejak 2012, kata dia, YRE mendapat mandat untuk meneruskan program Biru, yang sejak 2009 diinisiasi oleh Hivos, lembaga swadaya masyarakat internasional SNV, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rebekka menjelaskan, sampai 2019, telah terpasang 24 ribu unit reaktor Biru di sepuluh provinsi, yakni Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Untuk memasang Biru, rumah tangga disyaratkan memiliki sedikitnya tiga ekor sapi. Selain itu, untuk pembangunan reaktor, dibutuhkan lahan agak luas, yakni lebih dari 10 meter persegi.

Sementara Biru menggunakan ruang reaktor terbuat dari beton berkubah, Biomiru dapat menggunakan tandon air dari fiber, yang banyak tersedia di pasar. Biomiru dapat dipasang di lahan terbatas, seperti rumah-rumah di perkotaan, karena hanya membutuhkan area 2,5 atau 3 meter persegi. Minimal, menurut Rebekka, lahan yang dibutuhkan 1 x 3,5 meter. Wahyudi membangun Biomiru di lahan kosong di belakang rumahnya dengan biaya Rp 3,9 juta. “Paket reaktor Biomiru satu meter kubik, satu unit kompor tungku tunggal, dan satu lampu biogas, serta upah tukang,” ujarnya.

Untuk pertama kali, reaktor Biru harus terisi 16 ribu kilogram kotoran hewan. Setiap hari kotoran hewan harus ditambahkan sebanyak 30 kilogram. Itu sebabnya Biru hanya cocok untuk pengguna yang memiliki peternakan, seperti Kelompok Tani Lentera Yayasan Asy-Syafa’at, tempat Wahyudi bekerja, yang memiliki 30 sapi dan 20 domba. “Saya dulu ditawari YRE membangun reaktor Biru yang berkapasitas besar, tapi saya menolak. Sekarang ada yang ukuran mini, Biomiru ini,” kata Wahyudi.

Wahyudi yang tidak memiliki ternak mengandalkan limbah organik yang dihasilkan dapurnya sebagai bahan baku Biomiru. “Saya pasang Biomiru yang kapasitas kecil. Lumayan, bisa mengurangi pemakaian gas pemerintah. Memang belum bisa menggantikan elpiji seluruhnya karena produksi biogasnya kecil,” ujarnya. Manfaat lain yang disukai Wahyudi dari Biomiru adalah produk sampingan yang dihasilkannya berupa bioslurry- atau ampas biogas, yang dapat berfungsi sebagai pupuk organik untuk tanamannya. “Ini benar-benar buang sampah dapat berkah.”

Setiap hari Wahyudi menambahkan bahan baku untuk reaktor Biomiru miliknya berupa limbah dapur sebanyak satu ember berukuran 5 kilogram. Biasanya, dalam sebulan, ia menghabiskan satu tabung elpiji 3 kilogram. “Dengan adanya Biomiru, cuma memakai separuh,” ucapnya. Memang, menurut Rebekka, Biomiru kapasitas satu meter kubik dapat menghasilkan 350 liter biogas per hari yang dapat digunakan untuk memasak selama sekitar satu jam.

Idealnya, setiap hari Biomiru harus dipasok bahan baku limbah organik sebanyak 15 kilogram. Namun banyak pengguna yang kesulitan memenuhi jumlah tersebut. YRE telah memikirkan solusi bagi pengguna yang kekurangan pasokan limbah organik. Menurut Manajer Proyek YRE Agung Lenggono, pihaknya telah menyiapkan pelatihan pembuatan limbah buatan alias artificial feed stock. “Komposisi artificial feed stock tersedia di pasar, seperti dedak, air kelapa, dan gula pasir yang difermentasi,” ujar Agung.

Dia mengatakan, bila ingin membuat sendiri artificial feed stock, harga pokok produksinya Rp 10-20 ribu per 5 kilogram produk. YRE juga menjual produk artificial feed stock dalam bentuk larutan di botol ukuran 1 liter, yang akan tersedia pada September nanti. “Untuk Biomiru satu meter kubik, kebutuhan artificial feed stock sekitar 5 liter. Sekali pasok bisa untuk pemakaian biogas tiga-lima hari,” kata Agung.

Rebekka menyebutkan Biomiru baru yang direncanakan sejak 2018 itu masih dalam tahap pengenalan. Di Indonesia, baru terbangun sepuluh unit Biomiru, yakni tiga unit di Jawa Barat, masing-masing dua unit di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, serta masing-masing satu unit di Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, potensi pengguna Biomiru sangat besar jika kampanye pengolahan limbah organik oleh rumah tangga ataupun peternak skala kecil digencarkan. “Kami menargetkan seribu unit Biomiru akan terbangun setiap tahun,” ujarnya.

Dengan adanya varian baru reaktor biogas ini, Rebekka mengharapkan segmen pengguna biogas pun akan lebih luas dan turut membantu mengatasi permasalahan limbah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, volume sampah yang diproduksi penduduk Indonesia pada 2019 diperkirakan sebanyak 67 juta ton. Sebesar 60 persen dari sampah tersebut merupakan sampah organik dan 15 persen lainnya adalah sampah plastik. Sebagian besar sampah itu berakhir di tempat pembuangan akhir sampah atau mencemari lingkungan.

DODY HIDAYAT, IRSYAN HASYIM (DEPOK)

 


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus