Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tidak Ada Lagi Sekolah Favorit

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy:

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Muhadjir Effendy. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sebagian orang tua murid, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy adalah penyebab mereka uring-uringan sebulan belakangan. Pangkal soalnya apa lagi kalau bukan Penerimaan Peserta Didik Baru 2019. Banyak orang tua dan murid gondok karena gagal masuk sekolah unggulan. Mereka yang merasa mengantongi nilai ujian nasional menjulang tersingkir akibat sistem zonasi, yang memberikan jatah 80 persen dari daya tampung sekolah bagi siswa di sekitar sekolah tersebut.

Muhadjir, yang menelurkan mekanisme itu lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2019—perubahan dari Peraturan Mendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang menetapkan jalur zonasi sebesar 90 persen—pasrah dijadikan kambing hitam. Hampir saban malam, menjelang bertahajud, dia menerima keluhan orang tua murid baik lewat Facebook maupun WhatsApp. “Sekarang kan mudah mencari nomor handphone menteri, ha-ha-ha…,” ujar Muhadjir dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya di Jakarta, Kamis, 18 Juli lalu.

Muhadjir, 62 tahun, mengatakan penerimaan siswa lewat jalur zonasi telah berjalan tiga tahun. Pada 2017, sekolah masih diperbolehkan menggunakan nilai ujian nasional sebagai penyaring calon siswa baru. Pada 2018, reaksi- keras mulai muncul karena Kementerian memperketat- aturan itu. Tahun ini pun sama. “Kami sudah menghitung bahwa pasti ada kontraksi karena ini perubahan yang struktural,” tuturnya.

Menurut dia, salah satu penyebab kisruhnya penerimaan siswa baru adalah kurang taatnya beberapa pemerintah daerah terhadap peraturan Menteri Pendidikan dengan membuat aturan turunan yang menyimpang. Salah satunya, kata dia, DKI Jakarta, yang masih merujuk pada nilai ujian nasional dalam seleksi siswa baru. “Ini sudah terlalu jauh dari peraturan Mendikbud,” ucap Rektor Universitas Muhammadiyah Malang 2008-2016 itu.

Meski dihadang banyak protes dan masalah, Muhadjir memastikan penerimaan siswa baru dengan jalur zonasi berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, tanpa memandang siapa menterinya. Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Angelina Anjar, Muhadjir mengatakan sistem ini merupakan langkah awal pemerataan kualitas pendidikan. Selanjutnya adalah redistribusi guru serta pemerataan sarana dan prasarana.

Bagaimana evaluasi Anda terhadap Penerimaan Peserta Didik Baru dengan sistem zonasi?

Jalur zonasi ini sudah berjalan di tahun ketiga. Kami memberlakukannya secara bertahap. Jadi dari tahun ke tahun makin ketat. Karena makin ketat, wajar kalau kemudian reaksi masyarakat makin keras.

Dengan kuota relatif sama, kurang-lebih 90 persen, mengapa reaksi tiap tahun berbeda?

Saat awal kami perlonggar. Misalnya masih dimungkinkan memakai nilai ujian nasional. Jadi, untuk persentasenya, pemerintah daerah masih boleh menawar. Karena itu, kontraksinya tidak terlalu tinggi. Nah, pada 2018, sudah mulai ketat. Itulah yang menyebabkan munculnya masalah pendaftar dengan surat keterangan miskin palsu. Tahun ini lebih ketat lagi. Tapi kami sudah menghitung bahwa pasti ada kontraksi karena ini perubahan yang struktural. Yang namanya struktural itu pemaksaan.

Tidakkah kuota 90 persen itu terlalu tinggi?

Itu kesepakatan kami dengan dinas. Saat itu dinas merasa tidak ada masalah. Sebetulnya sebagian besar daerah pun tidak ada masalah, hanya daerah tertentu. Buktinya, setelah kami menambah kuota jalur prestasi menjadi 15 persen, tidak semua daerah mengikuti.

Banyak orang tua murid memprotes batas 90 persen tersebut karena membuat anaknya gagal masuk sekolah favorit….

Itu muncul karena interpretasi di daerah kurang tepat. Sebetulnya, dengan jalur prestasi, calon peserta didik bisa memilih di luar zona dan lebih dari satu sekolah. Jadi, walaupun kuota hanya 5 persen, peluangnya besar karena bisa memiliki banyak pilihan.

Orang tua murid juga mengeluhkan minimnya sosialisasi sehingga terlambat menyadari aturan zonasi. Apa pembelaan Anda?

Ada dua kemungkinan. Pertama, sosialisasinya memang kurang sehingga para orang tua belum mendapat sosialisasi. Kedua, ada orang tua yang pura-pura tidak mendapat sosialisasi karena berharap, kalau pura-pura, mereka masih bisa memperoleh sesuatu yang mereka inginkan. Tapi kami memang harus sabar. Saya juga menerima banyak komplain.

Komplain lewat apa?

Ada yang lewat Facebook, ada juga yang lewat Whatsapp. Sekarang kan mudah mencari nomor handphone menteri, ha-ha-ha…. Biasanya saya lihat sebelum salat malam. Itu saya layani satu per satu. Kadang-kadang bisa sampai satu jam.

Sejauh mana sosialisasi yang Kementerian lakukan?

Kami menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 51 Tahun 2018 jauh hari, yakni Desember tahun lalu. Kami berharap waktu enam bulan, hingga penerimaan peserta didik baru pada Juni, adalah waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi. Sebenarnya sebelum Desember pun sudah ada pertemuan-pertemuan dengan dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk menyusun aturan itu, termasuk menetapkan zonanya.

Jadi kekisruhan penerimaan siswa baru ini akibat ketidaksiapan pemerintah daerah?

Sebagian besar siap. Hanya beberapa yang tidak siap.

Apa yang membuat mereka tidak siap?

Mereka selalu kami undang ke Jakarta sepanjang Desember hingga Juni. Kami pun turun ke daerah. Tapi orangnya berganti-ganti. Hari ini yang datang kepala dinas, besoknya yang datang orang lain. Saya pun yakin hasil pertemuan kami tidak diberitahukan. Itu kan sangat berpengaruh terhadap pemahaman mereka. Jadi agak kacau, ha-ha-ha…. Tapi ada juga daerah yang memang punya masalah, misalnya politik. Saya tahu ada banyak kepentingan yang terusik oleh kebijakan ini. Misalnya dulu ada jatah kursi di sekolah-sekolah tertentu bagi pihak-pihak tertentu. Sekarang sudah tidak ada.

Mengapa sejumlah daerah dapat menjalankan sistem berbeda, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang tetap menjadikan nilai ujian nasional sebagai acuan utama?

Terkait dengan itu, saya sudah memberikan peringatan karena diskresi yang mereka lakukan sudah terlalu jauh dari isi peraturan Mendikbud. Saya pun menemukan kejanggalan ketika berkunjung ke salah satu sekolah menengah kejuruan di Kepulauan Seribu. Ada orang tua murid yang komplain anaknya belum bisa diterima di sekolah itu, tapi sudah banyak orang dari daratan yang ke sana untuk mencari rumah kos bagi anaknya. Saya pun menelepon Pak Gubernur (DKI Jakarta, Anies Baswedan) agar memprioritaskan anak pulau dulu.

Penerimaan di sekolah itu menggunakan nilai ujian nasional?

Ya. Sebenarnya nilai ujian nasional bisa menjadi pertimbangan. Tapi usahakan dulu anak-anak yang tinggal di situ sudah terakomodasi, terutama yang miskin. Padahal DKI Jakarta daerah yang paling memenuhi syarat melaksanakan peraturan Mendikbud itu secara penuh. Kualitas sekolah di sini relatif merata. Selain DKI Jakarta, ada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bangka Belitung.

Apa masalah yang sering Anda temukan dalam penerimaan siswa baru 2019?

Bervariasi. Ada zona yang daya tampung sekolahnya kurang dari jumlah populasi peserta didik. Jadi saya menyarankan memperlebar zonanya. Misalnya kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta, sekolah dari zona tetangga bisa dimasukkan ke zona mereka. Sebenarnya kasus ini bisa diminimalisasi jika daerah mematuhi anjuran kami. Jadi, saat peraturan Mendikbud turun, mereka segera membuat pemetaan sehingga daya tampung dengan jumlah populasi peserta didik sesuai. Selain itu, ada wilayah-wilayah blank spot. Jadi di wilayah itu tidak ada sekolah sama sekali. Ada pula persoalan hubungan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Karena daya tampung lebih dari jumlah populasi peserta didik, sekolah swasta tidak kebagian. Akhirnya mereka berteriak.

Solusinya apa?

Ini dilematis. Di beberapa tempat, ada sekolah swasta bagus yang sampai menolak murid. Yang menjadi problem adalah sekolah swasta yang tidak bagus tidak kebagian murid. Sekolah swasta juga tidak boleh berleha-leha dan hanya berharap pada tumpahan murid dari sekolah negeri. Pemerintah sudah lebih dari cukup memberikan dukungan kepada sekolah swasta, dari bantuan operasional sekolah yang disamakan dengan sekolah negeri, guru yang bisa mendapat tunjangan sertifikat, hingga bantuan fisik dari dana alokasi khusus. Selain itu, sekolah swasta tidak boleh berdiri seenaknya. Pemerintah daerah harus membatasi. Kalau di dalam suatu zona tidak memungkinkan ada sekolah lagi, ya jangan diizinkan berdiri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat berkunjung ke Sekolah Dasar Negeri Klitik, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, 17 Februari 2017. TEMPO/STR/Nofika Dian Nugroho

Anda menyarankan sekolah tidak semata berorientasi pada bisnis?

Bisnis kan terkait dengan pasar. Kalau memang bagus, pasti akan dicari. Tapi banyak juga yang niatnya bukan bisnis, tapi mencari dana bantuan operasional. Jadi sekolah swasta yang seperti itu seharusnya mengubah niat mereka dan menciptakan sekolah berkualitas. Kalau tidak, sebaiknya jangan ikut-ikut pakai slogan mencerdaskan bangsa karena nantinya malah membodohkan bangsa.

Mengapa masalah selalu muncul dalam tiga tahun penerimaan siswa dengan zonasi?

Masalahnya memang selalu berubah. Pada 2018, masalahnya adalah surat keterangan miskin yang dipalsukan besar-besaran. Setelah tahu itu menjadi titik lemah, kami hapus. Saat ini dasar penentuan keluarga miskin adalah Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, dan bantuan sosial lain dari pemerintah daerah. Tahun ini, masalahnya adalah kartu keluarga palsu atau kasus pindah alamat. Jadi ini memang tidak bisa serta-merta.

Apakah tujuan kebijakan ini sudah tercapai?

Tujuan utama kebijakan ini adalah menjadi landasan kami dalam melakukan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Belum seratus persen, tapi sudah mengarah ke sana. Jadi PPDB jalur zonasi adalah langkah pertama untuk pemerataan yang berkualitas. Selanjutnya kami segera memulai redistribusi guru dan pemerataan sarana-prasarana secara bertahap. Ini semua untuk mengatasi isu yang cukup krusial dan sudah lama berlangsung, yakni “kastanisasi” sekolah negeri. Itu bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.

Kapan redistribusi guru dimulai?

Tahun ini. Kami sudah merancangnya. Setelah PPDB selesai, kami segera bergerak untuk itu.

Berapa banyak?

Kami akan melihat tingkat disparitas di setiap zona. Mungkin sepertiga dari jumlah guru harus dirotasi, mungkin juga hanya seperempat.

Apa saja pertimbangan untuk merotasi guru?

Pertama, kualitas guru. Kedua, status guru, pegawai negeri sipil atau honorer. Jadi tidak boleh ada lagi sekolah yang isinya guru honorer semua.

Ada anggapan bahwa sekolah menjadi favorit bukan karena kinerja gurunya, melainkan berkat kualitas murid-muridnya yang memang tinggi….

Itulah masalahnya. Kami menjadi kesulitan mengetahui apakah prestasi yang dicapai suatu sekolah itu karena kinerja gurunya atau input-nya memang sudah bagus. Ada guru sekolah favorit mengaku, ditinggal tidur pun anak-anaknya sudah pintar, ha-ha-ha….

Pandangan seperti itu bisa berubah lewat sistem zonasi?

Saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah favorit di Riau. Dulu nilai ujian nasional paling rendah yang diterima di sekolah itu 9,3. Sekarang, dengan PPDB jalur zonasi, nilai paling rendah yang diterima 3,6, ha-ha-ha…. Maka gurunya bilang, “Wah, sekarang kami harus kerja keras, Pak.” Memang seharusnya seperti itu. Tapi, menurut saya, rata-rata guru memahami kebijakan ini. Bahkan beberapa guru justru merasa tertantang dan ingin membuktikan sekolahnya berprestasi berkat kinerja mereka.

Artinya saat ini sudah tidak ada lagi sekolah dengan status favorit?

Ya, sebetulnya tidak ada lagi sekolah favorit dilihat dari input-nya. Tidak ada lagi sekolah yang isinya anak pintar semua. Nah, tinggal gurunya yang mesti dirotasi. Itu dilakukan negara-negara penganut sistem ini, seperti Jepang. Di sana rotasi guru maksimal empat tahun.

Di Indonesia bagaimana?

Tidak terbatas. Ada yang sejak bekerja sampai meninggal tidak dirotasi. Itu memang tidak ada aturannya. Karena itu, sekarang kami atur.

Seperti apa mekanismenya?

Rotasi dalam satu zona supaya tidak terjadi reaksi keras. Kalau di dalam zona kan masih di sekitar tempat tinggalnya. Paling jauh mungkin sekitar 2 kilometer. Jadi masih terakses.

Bagaimana upaya pemerataan sarana-prasarana pendidikan dilakukan?

Saat ini revitalisasi sekolah menjadi pekerjaan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tahun ini dimulai sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Jadi, maunya Presiden, revitalisasi itu jangan kecil-kecil, tapi yang nendang sekalian. Sekali bangun langsung bagus. Jadi selama sepuluh tahun ke depan enggak perlu ada bantuan lagi. Kalau dulu, bantuan Kemendikbud untuk revitalisasi kan basisnya kelas. Padahal revitalisasi sekolah itu bukan hanya kelas, tapi juga WC, halaman, pagar, dan sebagainya.

Anda akan melanjutkan penerimaan siswa dengan sistem zonasi?

Saya pastikan tetap dengan jalur zonasi. Nantinya, aturan tentang ini dinaikkan menjadi peraturan presiden. Saat ini sudah dalam tahap finalisasi. Mudah-mudah-an, sebelum pergantian kabinet, peraturan presiden itu sudah berlaku.

Peraturan presiden diperlukan untuk koordinasi lintas kementerian?

Ya. Tapi setelah tiga tahun ini sudah mulai ada perbaikan. Masalah pasti tetap ada. Wong, Australia saja yang sudah menerapkan jalur zonasi selama 20 tahun masih ada masalah orang yang pindah rumah untuk mendapat sekolah bagus.

Mungkinkah jalur zonasi ditetapkan sampai 100 persen?

Seharusnya memang 100 persen. Tapi bisa berjenjang. Misalnya sekolah dasar sudah 100 persen, tapi sekolah menengah atas dan kejuruan lebih longgar.

 


 

Muhadjir Effendy

Tempat dan tanggal lahir:

Madiun, Jawa Timur, 19 Juli 1956

 

Pendidikan:

- Sarjana Pendidikan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (1982)

- Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996)

- Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga, Surabaya (2008)

 

Karier dan organisasi:

- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2016-sekarang)

- Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (2008-2016)

- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (2015-2020)

- Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Timur (2014-sekarang)

- Anggota Dewan Pembina Maarif Institute (2010-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus