Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh Ismiono hanya terdiam meski seekor lebah hendak hinggap di telinganya. "Tidak perlu ditepis, karena lebah akan menyerang kalau merasa terancam," katanya Jumat dua pekan lalu. Teguh sudah 49 tahun akrab dengan lebah. Sejak berusia 11 tahun, Teguh ikut mencari lebah di hutan pinggiran desa bersama ayahnya, Arjo Sentono. "Saya beternak lebah sejak SD."
Teguh mengembangbiakkan lebah di pekarangan rumahnya di Desa ManguÂngan, Kecamatan Dlingo, Bantul, Yogyakarta. Lebah tangkapan dari hutan ia simpan di dalam kotak kayu 60 x 40 sentimeter, tinggi 30 sentimeter. Ada delapan kotak di pekarangan yang rimbun dengan pohon rambutan, kelengkeng, durian, akasia, alpukat, dan pepaya itu.
Dalam setiap kotak setidaknya terdapat delapan sisir sarang lebah. Kotak yang lebih besar biasa menampung 12 sisir. Menurut dia, satu sisir sarang bisa dihuni sekitar 500 ekor lebah. Mereka mendiami lubang di kanan dan kiri sisir. Di lubang itu pula madu dan telur lebah tersimpan.
Dari pepohonan di sekitar kotak itu, lebah mendapat makanan dan pekerjaan sekaligus. Tak sekadar mengisap sari bunga dan menghasilkan madu, lebah punya peran penting sebagai penyerbuk (polinator) andal. "Lihat pohon itu," kata pria 60 tahun ini, menunjuk pohon kelengkeng setinggi dua meteran di samping salah salah kotak lebah. "Pohon itu baru berusia dua tahun, tapi sudah berbuah."
Bersama angin dan serangga lain, seperti kupu-kupu dan lalat, lebah memang berperan besar dalam rantai makanan. Bahkan ada yang bilang, "Jika lebah musnah dari muka bumi, manusia hanya punya empat tahun sebelum ikut musnah." Pernyataan populer itu kerap dinisbatkan kepada ahli fisika Albert Einstein.
"Sebenarnya Einstein tidak pernah mengatakan itu," kata Anette Schuermann, Ketua Bayer Bee Care Center di Leverkusen, Jerman, akhir November lalu. "Tapi, siapa pun yang mengatakannya, pada prinsipnya kenyataannya adalah eksistensi kita ditentukan oleh polinator seperti lebah. Mungkin tidak empat tahun. Mungkin 10, 20 tahun, tapi kehidupan manusia akan terancam jika keberadaan lebah, terutama lebah liar, terancam," tuturnya.
Karena itulah Schuermann dan timnya melakukan penelitian tentang lebah di seluruh dunia. Dalam hasil penelitian yang disampaikan bersamaan dengan pemaparan tahunan Bayer, ia menyinggung ketidakseimbangan antara peningkatan jumlah tanaman pangan dan jumlah lebah dalam beberapa tahun terakhir. "Sejak Perang Dunia II, jumlah tanaman pangan meningkat hingga 70 persen. Tapi peningkatan jumlah lebah hanya 45 persen," ujarnya.
Artinya, ada selisih 25 persen antara perkembangan jumlah tanaman pangan dan lebah yang dibutuhkan untuk penyerÂbukan. Itu baru menghitung lebah yang diternakkan, belum soal menurunnya jumlah lebah liar akibat menipisnya luas hutan dan lahan terbuka hijau lainnya. Padahal lebah liar lebih piawai dalam penyerbukan dibanding lebah madu yang diternakkan.
Ada berbagai hal yang mengancam keberadaan lebah dan kualitas penyerbukan yang mereka lakukan. "Salah satunya penggunaan pestisida yang tidak tepat," kata Schuermann. Pestisida tidak hanya membunuh serangga pengganggu, tapi juga serangga yang bermanfaat bagi tanaman. Kalaupun tak mati, lebah enggan singgah ke tanaman berpestisida. "Ada pohon jagung, tapi kok tak ada lebahnya, bisa dipastikan pohon itu banyak mengandung zat kimia," kata Teguh.
Lebah, menurut Teguh, binatang yang sensitif terhadap pestisida. Jangankan memakan sari bunga dari pohon yang meÂngandung zat kimia, membaui zat berbahaya saja lebah bisa pingsan. Pengasapan untuk membunuh nyamuk, misalnya, bisa membunuh lebah dari jarak 200 meter. "Wong, kena bau kecoa saja lebah itu minggir, kok," katanya.
Sayangnya, pemakaian pestisida, di sawah-ladang, di pohon-pohon buah di kebun, kian gencar saat ini. Ia teringat, pada 1965, ketika pertama kali belajar beternak lebah pada orang tuanya, ada setidaknya 80 kotak lebah di pekarangannya. Kala itu produktivitas madu dari tiap kotak terbilang masih tinggi. "Pernah panen 3,5 liter sebulan," ia mengenang saat-saat terbaik itu.
Kalaupun penggunaan pestisida bisa dikurangi hingga taraf yang tak mengganggu serangga polinator, masalah belum selesai. Lahan pertanian atau perkebunan bukanlah tempat yang nyaman untuk lebah, karena sebagian besar lahan pertanian telah dibuat intensif. Pertanian modern umumnya hanya membolehkan satu jenis tanamÂan dalam lahan tertentu. Tanaman lain disingkirkan karena tidak berguna secara ekonomis.
Dr Peter Kevan, salah satu direktur Canadian Pollination Initiative (Canpolin), menunjukkan akibat buruk lahan monokultur ini. Karena hanya ada satu jenis makanan, lebah kekurangan nutrisi dan gampang mati. Lebah yang selamat berusaha mencari tempat lain yang tanamÂannya lebih beragam. Akibatnya, jumlah panen merosot tajam karena tak ada lebah yang menyerbuki tanaman tersebut. "Sama seperti manusia, lebah yang menu makannya tak berimbang akan mendapatkan gizi buruk," kata Schuermann.
Kesimpulan itu didapat setelah peneliti Bayer bekerja sama dengan 44 ilmuwan dari 26 universitas di Kanada yang tergabung dalam Canpolin. Mereka mengamati menurunnya hasil panen lowbush blueberry yang merupakan salah satu komoditas ekspor di negeri itu.
Sebenarnya sudah lama para ilmuwan mengendus hal ini. Selama empat tahun, sejak 2010, para peneliti di Bayer melakukan penelitian di 50 hektare lahan yang dibuat ramah terhadap serangga. Mereka menanam berbagai bunga dan tanaman lain di samping ladang (tumpang sari). Sekitar 10 persen dari area ladang disediakan sebagai "restoran untuk serangga".
Pada tahun pertama, hanya ada 31 spesies lebah liar di sana. Tapi, dalam beberapa tahun setelah itu, jumlahnya berlipat hingga 74 jenis lebah liar di seluruh area. Dalam titik sampling seluas 5 x 5 meter, pada 2010 hanya terdapat 13 ekor lebah (dari 5 jenis), meningkat menjadi 1.445 ekor (33 jenis) pada 2013.
Tentu "restoran" ini juga mengundang serangga pengganggu, seperti kutu daun (aphids), tapi pada saat yang sama predator kutu daun juga muncul. Burung juga hadir untuk memakan serangga hama seperti itu. "Seluruh rantai makanan diuntungkan ketika ada beragam spesies," kata Dr Rainer Oppermann dari Institut of Agroecology and Biodiversity (IFAB) di Mannheim, Jerman. Keberhasilan inilah yang kemudian diterapkan di Kanada oleh Canpolin. Mereka mulai melakukan sistem tumpang sari di berbagai area perkebunan lowbush blueberry.
Masalah kekurangan gizi juga dialami oleh lebah-lebah Teguh. Pada 1965, ayahnya memiliki 80 kotak lebah. Tapi kini, 49 tahun kemudian, hanya ada 30 kotak. Hanya delapan yang ada di pekarangan rumah. Delapan kotak ia gembalakan di Kebun Buah Mangunan, dan sisanya ia taruh di hutan yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Menurut Teguh, hal itu ia lakukan lantaran persediaan makanan bagi lebah terus berkurang. "Ini namanya angon tawon (menggembalakan lebah)," katanya.
Lewat seorang kemenakannya yang bekerja di Kebun Buah, Teguh menempatkan kotak lebahnya di sana. Penempatan lebah di kebun membentuk relasi yang saling menguntungkan. Teguh diuntungkan oleh ketersediaan makanan bagi lebahnya, sedangkan pohon di kebun mendapat penyerbuk alami. Dia yakin kelestarian alam menjadi penentu bagi populasi lebah. Begitu juga keyakinan Schuermann dan rekan-rekannya.
Qaris Tajudin (Leverkusen), Anang Zakaria (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo