Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi Al-Quran Thomas Jefferson
Penulis: Denise A. Spellberg
Penerbit: PT Pustaka Alvabet
Terbitan: April 2014
Tebal: 488 halaman
SEBELAS tahun sebelum menulis Deklarasi Kemerdekaan, Thomas Jefferson membeli sebuah Al-Quran. Pada 1765, Virginia Gazette, koran lokal di Williamsburg, satu-satunya penjual buku di koloni tersebut, mencatat pembelian itu. Jefferson memperoleh Al-Quran terjemahan George Sale dalam dua jilid seharga 16 shilling. Al-Quran milik Jefferson itu masih bertahan hingga sekarang di Perpustakaan Kongres.
Waktu itu Jefferson adalah seorang mahasiswa hukum dan tengah aktif mengkritik Undang-Undang Materai yang baru disahkan. Jefferson adalah sosok unik di antara para pendiri Amerika; tak seperti pendiri Amerika lain yang menganut Protestan, ia memupuk keingintahuannya memahami Islam dengan melihat langsung dari sumbernya.
George Sale (1696-1736) adalah seorang pengacara dan penganut Anglikan. Ia menggambarkan Nabi Muhammad pada halaman terjemahannya sebagai seorang "legislator bangsa Arab". Hal ini diyakini menarik minat Jefferson, yang kemudian menjadi legislator Virginia pada 1776. Meski dimaksudkan untuk membantu muslim berpindah menjadi Protestan, Sale bertekad menyajikan terjemahannya sebagai karya yang sangat ilmiah, dengan menyebutnya sebagai "versi yang tidak memihak".
Meskipun Jefferson menolak doktrin teologis yang diterima tanpa sangsi oleh Sale, keduanya memiliki kesamaan: menolak pemaksaan atau kekerasan terhadap minoritas agama karena keimanan mereka. Hal ini menempatkan keduanya dalam pandangan alternatif dari pemikiran Eropa dalam mendukung toleransi agama. Jefferson bahkan nantinya beranjak lebih jauh, dengan menyerukan jaminan hak-hak individu tanpa memandang agama.
Buku ini memberikan sejarah baru tentang era pendirian Amerika Serikat, salah satu yang menjelaskan bagaimana dan mengapa Jefferson serta segelintir orang mengadopsi dan kemudian bergerak melampaui gagasan-gagasan Eropa mengenai toleransi terhadap umat Islam. Pembelaan itu juga menciptakan ruang politik untuk mengakui hak-hak kaum minoritas lainnya, yaitu umat Yahudi dan Katolik.
Khilafah dan Umat Islam Indonesia
Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila
Pengarang: Komaruddin Hidayat (ed.)
Penerbit: Penerbit Mizan
Terbitan: November 2014
Tebal: 278 halaman
SEJAK Negara Islam (Islamic ÂState/IS)—sebelumnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—mendeklarasikan terbentuknya kekhilafahan baru bagi umat Islam dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai khalifahnya pada 29 Juni 2014, isu tentang khilafah Islamiyah kembali ramai dibicarakan.
Sebelum ISIS, wacana dan upaya mewujudkan khilafah telah dipromosikan secara masif oleh Hizbut Tahrir dan Al-Qaidah sebagai pengganti dari sistem demokrasi yang dipandang sebagai sistem tidak islami. Selain Hizbut Tahrir dan Al-Qaidah, salah satu promotor wacana khilafah adalah Abul A'la Maududi (1903-1979), yang menyebutkan bahwa khilafah adalah salah satu dari tiga prinsip politik Islam, yaitu tauhid, risalah (kenabian), dan khilafah.
Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah telah hancur pada Maret 1934 setelah sistem ini berjalan lebih dari 13 abad semenjak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 Masehi. Namun, sebagai wacana, gagasan untuk membangun kembali khilafah terus muncul dalam tubuh umat Islam.
Buku ini hadir sebagai respons terhadap gagasan untuk mendirikan negara Islam dan kekhilafahan yang berembus dari wilayah Timur Tengah hingga menjalar ke wilayah Nusantara. Secara singkat, buku ini menyajikan analisis awal mula munculnya kekhalifahan dalam sejarah Islam yang dimulai sejak sepeninggal Rasulullah yang kemudian mengalami perubahan karakternya. Lalu disajikan berbagai pendapat pemikir yang membahas teori politik dalam Islam.
Pembahasan buku ini ditutup dengan melihat sejarah dan kondisi obyektif umat Islam Indonesia yang lahir dan tumbuh dalam rumah besar Indonesia.
Erwin Zachri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo