ISTILAH "peternakan raksasa" pada masa depan bisa berarti lain.
Maksudnya, bukan lagi peternakan dengan modal atau bisnis
raksasa. Melainkan usaha pemeliharaan dan pemasaran, misalnya
ayam sebesar kambing, domba segede kuda, atau sapi seukuran
gajah.
Dan tulisan ini tidak bermaksud melucu. Tiga pekan lalu, Akademi
Ilmu New York menyerahkan penghargaan kepada Dr. Ralph
L.Brinster dari Universitas Pennsylvania dan Dr. Richard D.
Palmiter dari Universitas Washington, Seattle. Kedua ilmuwan itu
diakui sebagai pemuka riset mengenai "tikus transgenik".
Alkisah, para ilmuwan Amerika sekarang sedang bergulat dalam
usaha membiakkan hewan yang "agak manusiawi". Percobaan
dilakukan melalui tikus. Hasilnya, telah lahir beberapa lusin
tikus yang membawa gene cangkokan untuk hormon pertumbuhan
manusia. Tikus "elite" ini dua kali lebih besar dibandingkan
dengan tikus jelata.
Tujuan riset dan percobaan ini, sebetulnya, adalah pemahaman
yang lebih tepat mengenai cara pengendaliah gene. Tetapi, dasar
manusia, sebagian orang melihatnya sebagai janji yang
menguntungkan pertaman di masa depan. Kini, misalnya, seekor
sapi rata-rata menyediakan bahan untuk 17 porsi bistik yang
paling baik. Dengan jalan transgenik, sapi di masa depan bisa
diharapkan menyajikan bahan bistik dua kali lipat.
Gene adalah faktor yang menentukan ciri bawaan atau sifat
turunan. Di dalam nukleus, setiap sel mempunyai pasangan lengkap
gene, yang mengandung cetak biru sifat turunan. Dari cetak biru
inilah, secara teoretis pribadi yang sama sekali baru lahir dan
tumbuh.
Tapi, dalam setiap sel normal, secara relatif hanya beberapa
gene yang diperlukan untuk berfungsinya sel itu sendiri. Ia juga
beraksi pada saat yang sungguh-sungguh tepat. Pemilihan waktu
yang teliti inilah yang membuat sel otot, misalnya, tetap
menjadi sel otot. Ia tidak akan melenceng menjadi sel kulit,
limpa, atau tulang.
Gene yang tidak terpakai akan "padam" atau, dalam istilah
ilmiahnya, "tidak menyatakan diri". Seluruh pola pertumbuhan
manusia, sejak "konsepsi" hingga tua bangka, dalam keadaan sehat
ataupun saklt, merupakan permainan pengendalian gene yang dlatur
kebiasaan dan waktu, tempat gene mengambil peranan dalam
mekanisme tubuh.
Sampai sekarang, para ilmuwan baru memiliki beberapa kunci untuk
menyingkapkan teka-teki proses vital ini. Masalah pengendalian
gene menjadi salah satu problem paling penting dalam riset
biologi modern. "Tata tertlb gene, dl atas segala-galanya,
merupakan titik perhatian kami," ujar Dr. Ralph L. Brinster.
"Bila masalah ini bisa dipahami," katanya menambahkan, "saya
percaya, kita akan mengetahui betapa gene bekerja keliru dalam
penyakit tertentu."
Dalam percobaan terhadap tikus, pencangkokan gene dilakukan
ketika embrio masih berupa telur tunggal yang telah dibuahi.
Diambil dari alat reproduksi tikus betina, embrio diletakkan di
pinggan kaca laboratorium. Melalui pengawasan mikroskopis,
embrio tadi dengan sangat berhati-hati ditusuk dengan jarum yang
lebih halus ketimbang rambut manusia. Jarum itu sekaligus
menyemprotkan sejumlah gene manusia, yang sudah dimodifikasikan
secara khusus, ke dalam satu di antara dua struktur sel, yang
dinamakan pronuklei. Inilah yang kemudian berkembang menjadi
nukleus sel embrionik awal.
Sel telur itu kemudian dikembalikan ke dalam alat reproduksi
tikus betina. Selang 20 hari, lahirlah seekor bayi tikus, yang
secara lahiriah tampak sama saja dengan jutaan tikus yang lain.
Padahal, dalam semua sel tubuhnya terkandung "salinan" gene
manusia.
Kendati hasil percobaan masih bervariasi secara persentase,
dalam ukuran tertentu telah dicapai sukses yang pasti. Di antara
sukses itu, pencangkokan berialan stabil dan kemudian diturunkan
elalui cara berkembang biak yang normal. Sebagai akibatnya,
telah lahir generasi tikus yang sama sekali baru.
Suatu kesulitan, para peneliti belum mampu mengendalikan tempat
terpadunya gene asing ItU di bagian tubuh hewan percobaan.
Kadang-kadang ia bersarang di sebuah kromosom, pada kesempatan
berikutnya di kromosom lain. Pada awal percobaan, banyak sekali
kegagalan sebelum gene asing itu "menyatakan diri" atau bekerja
aktif.
Sukses dramatis baru tercapai tahun lalu di bawah kerja sama Dr.
Brinster dengan Dr. Palmiter dan beberapa ilmuwan lain. Mereka
berhasil menyusun "pesan genetik khusus" dengan cara memadukan
sebuah gene hormon pertumbuhan tikus dengan gene lain yang
jumlahnya bisa dikontrol, yang dinamakan gene metallothionein.
Pencangkokan gene campuran ini menghasilkan tikus dua, kali
ukuran normal Belakangan, barulah gene hormon pertumbuhan
manusia dicobakan. Mengacu pada eksperimen para ilmuwan di
Pennsylvania dan Washington itu, riset yang sama dikembankan
pula oleh Dr. Thomas Wagner dan rekan-rekannya dari Universitas
Ohio.
Dalam sebuah simposium terapi gene, yang baru-baru ini
diselenggarakan Lembaga Nasional untuk Kesehatan Anak dan
Pertumbuhan Manusia di Bethesda, Maryland AS, Dr. Wagner tampil
menyampaikan "kabar gembira". Dalam sebuah tim yang dipimpinnya
bersama Dr. Finney Murray Wagner mengaku memperluas eksperimen
itu pada hewan ternak. "Memang belum berhasil betul," katanya,
"tapi tinggal soal waktu."
Dr. Wagner tidak melihat prohlem etis dalam penggunaan teknologi
genetlka ini. "Semua hewan rumah sekarang ini," katanya, "secara
tidak langsung sudah mewarisi kecerdasan manusia." Menurut jalan
pikiran Wagner, hewan yang keluar dari kehidupan alami dan masuk
kota itu tidak akan bisa mempertahankan diri tanpa campur tangan
kecerdasan manusia.
Riset yang sama dilakukan juga oleh Dr. Brinster bersama Dr.
Harold Hawk dari laboratorium Departemen Pertanian di
Beltsville, Maryland. Ia mengaku, "banyak faktor yang belum
diketahui mengenai efek jangka panjang pencangkokan ini terhadap
hewan ternak." Tapi, sepanjang menyangkut ternak potong, efek
itu dianggap sepele. "Toh hewan itu sudah dipoton pada usia
muda," ujar Dr. Brinster. Yang belum dibayangkan sang doktor,
agaknya, ialah bagalmana suara hati nurani ketika menyantap
bistik sapi yang, kita tahu, dibesarkan dengan hormon
pertumbuhan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini