BEIRUT 1983 adalah kota dengan angka pengeboman yang tertinggi
di dunia. Kejadian paling kolosal adalah pada 16 Oktober lalu,
tatkala suatu Ahad dibuka dengan dua letupan raksasa. Hasilnya:
hampir 300 peti mati mendarat di Amerika dan Prancis, berisi
jenazah para anggota pasukan multinasional. "Selama delapan
tahun terakhir, penduduk kota ini hidup di tengah kekerasan yang
sering tak masuk akal," tulis Thomas L. Friedman di majalah The
New York Times. Friedman adalah kepala biro Times di Beirut.
Bom mobil - "gaya" yang paling disenangi belakangan ini di sana
- hampir menjadi tontonan sehari-hari. Keramaian pasar tiba-tiba
bisa berubah menjadi pesta api. Hiruk-pikuk pejalan kaki
mendadak berganti dengan adegan panik manusia yang berlarian,
orang-orang dengan darah bercucuran di pipi. Mobil Mercedes Benz
menjadi kendaraan paling menakutkan, sebab para pengebom sangat
menyenangi merk ini untuk melakukan pengeboman - entah mengapa -
dari tingkat kecil sampai menengah.
Bangkai mobil berserakan hampir di seantero Beirut. Di
sana-sini, para anggota SAR kadang-kadang tampak mengais debu
dan arang, mencoba menemukan sepotong jenazah atau tanda
pengenal. Di halaman kantor Departemen Penerangan Libanon, yang
bagian depannya menganga dikoyak dinamit, seorang anggota Palang
Merah bercerita dengan tenang perihal korban yang setengah mati.
Tentang mata yang pucat, mulut yang penuh darah, dan gelembung
udara yang mengisyaratkan tersisanya seutas kehidupan.
Pepohonan di Beirut pun menyajikan pemandangan yang aneh. Bom
tidak memilih bulu. Ia melu ruhkan daun, merenggut tangkai dan
dahan, serta mencabik kulit dan batang. Kadang-kadang, pepohonan
itu menyumbangkan pemandangan fantastis, mirip adegan film
horor. Bayangkan: seraut wajah tak bernyawa dengan masing-masing
sehelai daun, tepat menutupi kedua mata.
Sejak 1975, Beirut identik dengan kekerasan. Kota ini juga sulit
diurus dan dimengerti. Tetapi kekerasan saja ternyata bukan
satu-satunya faktor yang meresahkan. Lebih berat dari itu ialah
kenyataan bahwa kekerasan telah memberikan kegembiraan kepada
sekelompok orang. Bahwa kekerasan telah menjadi urusan sehari
-hari bagi sejumlah penduduknya.
Kehidupan di Beirut menjadi absurd bukan lantaran begitu banyak
orang terbunuh. Melainkan karena mereka bisa terbunuh di
mana-mana. Misalnya, ketika main tenis, berjemur di pantai,
berbelanja di pasar, atau menaiki kendaraan dari rumah ke
kantor. Tidak ada jaminan keamanan, bahkan di kamar tidur
sendiri.
Kota ini hidup di perbatasan: antara perang dan damai, aman dan
rusuh. Warganya hidup hari ini dengan sebuah pertanyaan tetap:
apakah besok ia masih bisa menikmati keadaan yang sama. Apakah
hari ini bukan hari yang terakhir?
Beirut adalah kota ramah, dengan pilihan makan malam yang
memancing selera. Tapi itu sudah merupakan bagian masa lampau.
Kini, untuk main kartu saja pun, tampaknya sudah tidak ada malam
yang cukup tenang. Beirut juga mempertarungkan iklan para penata
rambut dengan perusahaan yang menjajakan alat pengaman kaca
jendela, yang memberikan perlindungan terhadap rupa-rupa pecahan
yang tidak diharapkan. Promosinya: "Setiap waktu, di setiap
tempat, ledakan bisa terjadi! " Beirut juga merupakan medan
peragaan roket Kaytusha, dengan cahaya merahnya yang berkilatan
di angkasa, ketika senja turun dan matahari menyuruk ke balik
kesenyapan Laut Tengah.
Ketegangan hidup di tengah lingkungan seperti ini telah mengubah
tradisi sehari-hari. Hampir tidak ada lagi perbedaan gaya hidup
antara si miskin dan si kaya. Tuntutan terhadap ketahanan mental
semakin tinggi. Di sela riuh-rendah bom dan peluru, orang toh
tidak bisa menyuruk sepanjang hari di lubang perlindungan. Tapi
banyak kegiatan rutin harus disesuaikan dengan keadaan. Yang
tidak tabah menghadapi kenyataan ini mudah menjadi gila. Atau,
paling tidak, terseret ke dalam tindak kejahatan.
"Apa yang sedang kami alami di Libanon berbeda dengan semua
problem ketegangan yang dihadapi Dara psikiater atau psikolog di
mana ia jadi masa lampau ," tutur Edwin Terry Prothro, direktur
Pusat Riset Perilaku pada Universitas Amerika di Beirut. "Sebuah
gempa bumi, atau katakanlah Hiroshima, bisa diamsalkan sebagai
bencana sekali pukul. Bahkan Irlandia Utara kurang sepadan
dibandingkan dengan Beirut. Di sana, pemerintah pusat masih
berjalan, dan pelayanan umum bisa diharapkan sesuai dengan
jadwal. Kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pun masih
lumayan tinggi."
"Tapi Beirut sama sekali lain," Prothro menambahkan. Beirut
adalah ketegangan delapan tahun yang berkesinambungan. Ada
sejumlah buku tentang berbagai bencana kota dan cara
menanggulanginya. Tapi tak sebiji pun bisa diterapkan di Beirut.
Untuk bagian terbesar penduduk Beirut, bentuk kekerasan yang
paling menakutkan ialah "bom mobil". Bukan saja karena senjata
yang satu ini tidak bisa membeda-bedakan sasaran juga karena ia
telah mengubah sesuatu yang menjadi bagian hidup sehari-hari
-dalam hal ini mobil menjadi kereta iblis yang mengerikan.
"Bom mobil itu betul-betul setan alas," ujar Kamal Salibi,
sejarawan terkemuka Libanon, dan guru besar pada Universitas
Amerika. "Dalam mitologi Eropa Barat, setan selalu digambarkan
dalam wujud yang tampak suci, padahal ganas luar biasa."
Hampir semua toko dan kantor kedutaan di Beirut memagari diri
dengan berbagai penghalang, untuk menahan bom mobil itu pada
jarak tertentu. Universitas Amerika di Beirut bahkan menggunakan
perkakas yang agak aneh, semacam cermin yang mampu mencium alat
peledak yang diletakkan di bagian bawah chasis setiap kendaraan
yang memasuki kampus universitas itu.
Banyak orang menggunakan segala upaya untuk menghindari
kemungkinan terjebak di antara kendaraan yang diparkir. "Saya
tidak pernah menghiraukan para penembak gelap dan penggranat,"
kata Lina Mikdadi, seorang pengarang dan ibu dua orang putri.
"Tapi bom mobil betul-betul menakutkan. Saya bisa histeris bila
tiba-tiba berada di tengah kemacetan lalu lintas. Saya memijit
klakson sepanjang-panjangnya, sampai mobil saya lepas dari
kemacetan itu. Dalam keadaan demikian, anak-anak sayayang duduk
di bangku belakang biasanya memekik-mekik. Mereka tidak mengerti
mengapa saya terus-menerus membunyikan klakson, dan saya takut
menceritakan alasan yang sesungguhnya kepada mereka."
Di Beirut, sekarang ini, bagian tertentu setiap rumah dan kantor
mendapat makna dan nilai tersendiri. "Saya selalu cemas dan
membuat berbagai perhitungan bila berada di dalam sebuah
bangunan," kata Diala Ezzedine, 21, sukarelawan Palang Merah
Libanon yang ikut mencari korban pengeboman di kedutaan besar
Amerika Serikat, 18 April lalu.
"Saya sering berpikir, bila sebiji bom tiba-tiba meletup,
manakah tempat yang paling aman? Dekat pintu, tangga, atau
dinding? Padahal, sesungguhnya, bila kemungkinan itu betul-betul
terjadi, tidak banyak yang bisa dilakukan."
Para ibu rumah tangga di Beirut pun sudah terbentuk dalam
tingkat kesiagaan permanen. Jika peluru dan bom mulai
beterbangan, jurus pertama yang mereka lakukan ialah membuka
jendela, demi mengurangi getaran yang dapat memecahkan kaca.
Setelah itu, mereka memindahkan anak-anaknya ke dekat tangga,
atau ke lorong-lorong, dalam percobaan menghindari peluru sesat.
Begitu banyak waktu yang dihabiskan penduduk Beirut menyuruk di
lorong-lorong rumahnya, sehingga muncul anekdot khas - syukur
mereka tidak kehilangan rasa humor. Alkisah, seorang warga kota
Beirut pada suatu hari memasang iklan di surat kabar. Bunyinya:
"Dicari! Sebuah rumah dengan kamar mandi, dapur, dan lorong yang
sangat panjang. . . "
Pada zaman damai Beirut, restoran, disko, kasino, dan rumah
bordil baru dibuka pukul sembilan malam. Sekarang, pukul
sembilan malam merupakan akhiracara hiburan yang tak bisa
ditawar. Perang saudara ini telah menyikat kehidupan malam.
Beirut dilatih menghargai kegelapan.
Dengan sedikit pengecualian, para bandit politik yang beroperasi
di kota ini masih memiliki sedikit perasaan kemanusiaan. Mereka
ini ialah para pemasang bom, yang beraksi karena perbedaan
agama, atau sekadar balas dendam karena kurang mendapat kutipan
mingguan. Mereka biasanya memasang bahan peledaknya di atas jam
sepuluh, dengan perhitungan bahwa pada saat itu sebagian besar
penduduk sudah mengurung diri di kamar tidur.
Beberapa restoran yang bagus memang masih memberikan pelayanan
di sekitar kota. Justru nafsu makanlah yang tampaknya menurun
drastis. Terkadang, di sebuah restoran hanya tampak seorang
tamu, makan sebatang kara, dikerumuni para pelayan yang
membosankan. Kesempatan bersenang-senang secara berkelompok
lebih banyak dilakukan dengan memutar video, atau makan malam,
di rumah tertentu. Acaranya pun biasanya sangat singkat.
"Sekarang, lebih banyak orang memilih merayakan sesuatu di rumah
sendiri," tutur Amine Halwany, manajer supermarket Goodies. "Hal
itu bisa saya simpulkan lewat bisnis catering kami," katanya.
Banyak pengusaha toko makanan terkemuka, seperti halnya Halwany,
harus belajar menyesuaikan persediaan barangnya dengan
perkembangan keadaan. "Dalam keadaan gawat," ujar Halwany.
"Setiap orang membutuhkan roti, air dan makanan kaleng -
barang-barang yang gampang dipersiapkan dan tidak terlalu
membutuhkan pendinginan. Orang kembali pada gaya memasak yang
paling sederhana, bahkan primitif. "
Penduduk juga suka membeli kembang gula dan kacang, sebab
jajanan ini bisa berfungsi sebagai penenang saraf. Sambil
duduk-duduk di rumah, dan menunggu suara letupan entah di mana,
mereka bisa mengunyah sekadar mengendurkan ketegangan. Baru
setelah keadaan agak teduh selama beberapa hari, orang kembali
teringat membeli kaviar atau salai ikan.
Setelah para penduduk surut ke tempat tinggalnya masing-masing,
atau mengurung diri di kamar tidur, lembaga-lembaga masyarakat
harus tetap menjalankan fungsinya. Televisi Libanon, misalnya,
dalam masa kusutmasai ini justru mendapat pemirsa lebih banyak.
Antara 1978 dan 1983, stasiun televisi negeri ini memperkuat
sinyalnya, dan memperpanjang acaranya dari 7 menjadi 21 jam.
Dalam periode itu, menurut perkiraan para pejabat televisi,
jumlah pemilik pesawat meningkat dari 500.000 menjadi 1,1 juta.
"Para pemirsa itu tidak mempunyai pilihan lain," kata Charles
Rizk, yang hingga pertengahan tahun ini menjabat direktur
perusahaan televisi. "Dan kami harus memanfaatkan keadaan ini."
Tak ada lembaga yang paling cepat menyesuaikan diri dengan
keadaan, kecuali Hotel Summerland yang mewah itu, yang dibuka
empat tahun lalu. Summerland, yang terletak di pesisir Beirut
Barat, di luar kawasan perhotelan tradisional, khusus dirancang
untuk bertahan di tengah kecamuk perang saudara.
Hotel ini dilengkapi tangki bahan bakar dengan kapasitas 54.600
liter. Jumlah itu mampu menggerakkan dua generator dan peralatan
energi lainnya lebih dari satu bulan, bila perang tiba-tiba
merusakkan aliran listrik. Di samping itu, tersedia tangki
khusus bensin dengan kapasitas 150.000 liter. Cadangan ini
menjamin kelancaran operasi armada taksi hotel itu, berikut
kendaraan karyawan. Para tamu boleh berlehah-lehah berkeliling
kota, tanpa terganggu oleh persediaan bahan bakar di pompa-pompa
umum, yang memang sulit dipastikan.
Di hotel itu ada asrama dengan 80 tempat tidur, khusus untuk
karyawan bila, misalnya, rumah mereka mendadak disenggol bom.
Ada garasi rangkap di bawah tanah, yang pada saat pengeboman
bisa berfungsi, sebagai lubang perlindungan. Hotel ini juga
memiliki sumber air sendiri, lengkap dengan sistem
penjernihannya. Tidak ketinggalan bagian pemadam kebakaran,
serta bengkel yang mampu merawat dan memperbaiki semua kebutuhan
sendiri. Secara teoretis, hotel dengan 151 kamar ini hanya
membutuhkan empat alat pendingin makanan. Tetapi Summerland,
dengan maksud menyesuaikan diri dengan keadaan, memasang 18 alat
pendingin. Dengan kapasitas itu, lebih banyak daging dapat
diawetkan sekaligus, dan bisa disimpan sepanjang musim panas.
Summerland memiliki pasukan keamanan sendiri, yang dipersenjatai
dengan baik. Pasukan ini menjalin "hubungan diplomatik" dengan
pelbagai partai dan kelompok bersenjata yang bersengketa di
seluruh kota. "Saya tidak suka menamakan pasukan ini milisia,"
ujar Khaled Saab, manajer umum Summerland. "Hanya sekadar
langkah pencegahan bila, misalnya, 10 sampai 15 orang bersenjata
tiba-tiba mengamuk ke hotel kami."
Ketika tamu asing mulai agak sepi, Summerland menjual
tenda-tenda yang bertebaran di sekeliling kolam renangnya yang
mewah. Tempat itu kemudian diubah menjadi semacam pusat hiburan
keluarga, lengkap dengan pelayanan makanan yang menarik. Kini,
dengan uang secukupnya, penduduk Beirut bisa menikmati jam atau
hari-hari santai di situ, aman tenteram, terpisah dari suasana
perang yang melanda seluruh kota.
"Segala macam orang pernah menikmati hotel kami,"tutur Saab.
"Ada turis Libanon, saudagar asing, makelar senjata api,
penjudi, bajak laut, bahkan petani ganja. Selama berada di bawah
atap kami, mereka semua menunjukkan sikap terpuji. Tigatahun
lalu, Gloria Gaynor menginap di sini. Ia menyanyikan lagi I will
Survive. Betul-betul fantastis."
Penduduk Beirut membicarakan kekerasan sama seperti warga kota
lain membicarakan cuaca. Bila seseorang bertanya, "bagaimana
keadaan di luar?" maksudnya ialah "bagaimana keamanan di
jalan-jalan". . Ketegangan permanen selama delapan tahun telah
menciptakan "bahasa" sendiri.
Misalnya, ada sejumlah kata yang bisa dipakai untuk melukiskan
tingkat pengeboman. Qasf ashwa'i, yang berarti pengeboman
membabi buta, bisa juga ditafsirkan sebagai "jangan keluar
rumah". Qasf murakaz, pengeboman terpusat, juga berarti
"pilihlah jalan yang tepat bila berada di luar rumah". Dan
akhirnya ada istilah qasf mazagi, alias "pengeboman emosional".
Istilah ini muncul melalui pemancar radio Suara Libanon, milik
Partai Kristen Falangis, awal Juni lalu. Mereka menggunakannya
untuk melukiskan penembakan roket yang dilakukan pelaku tak
dikenal ke pelabuhan Kristen, Junieh, di utara Beirut. Roket itu
menghantam sebuah mobil dan membunuh tiga perempuan yang baru
pulangdari pantai.
Selama perang sipil berkecamuk, para penyiar radio lokal
menggunakan sejumlah istilah lalu lintas untuk menggambarkan
keamanan relatif di berbagai jalan. Istilah-istilah itu pun,
akhirnya, telah merasuk. Jalan yang sepenuhnya dikuasai polisi
dan tentara pemerintah disebut amina. Jalan yang bebas hambatan
penembak gelap dan penculik - tapi tidak dikawal polisi -
disebut salika. Jalan yang bisa dilewati, tapi tidak di jamin
bebas dari penembak dan penculik, dinamakan hatherah. Dan
akhirnya adaistilah qhairamina, untuk menyebut jalan yang tidak
aman dalam segala tingkat kecepatan kendaraan. Para pengendara
yang melewati jalan ini diharap bertanggung jawab atas nyawanya
sendiri. Istilah-istilah ini demikian meresapnya sehingga ada
wanita yang menamakan anak perempuannya Salika atau Amina.
Pos pemeriksaan merupakan "dekorasi" baru bagi tamasya Beirut
yang sedang dilanda perang. Pos terdapat di mana-mana, dalam
pelbagai tingkat serta keperluan. Bahkan pos pemeriksaan ini
sudah masuk ke dunia iklan. Sebuah pabrik aki membuat iklan
televisi yang menggambarkan seorang wanita muda berkendaraan
mobil disetop di sebuah pos pemeriksaan. Milisia yang bertugas
di pos itu menerangi wajah wanita muda tadi dengan senter,
sementara sang wanita menyalakan lampu mobilnya. Milisia itu
bertanya, "Accu apa yang Anda pakai ?" Jawabnya, "Ray-O-Vac." la
diizinkan lewat. . .
Istilah "prokem" Beirut lainnya yang juga terkenal adalah
"karena keadaan". "Kejuaraan antarklub ditunda karena keadaan,"
demikian sebuah pengumuman di Klub Golf Libanon, Beirut.
Beberapa restoran, butik, dan obyek wisata sangat menyenangi
kata pemikat: "Anda harus melihatnya sebelum perang." Sementara
itu, ucapan "sudahkah Anda mendengarnya?" berubah menjadi
pengertian yang menakutkan. Di balik pertanyaan itu segera
tecermin darah, mayat hangus, perabot jasad manusia yang
terceraiberai. Pokoknya, pemandangan yang memuakkan.
"Bahasa baru ini juga memasuki dunia bisnis," kata Anthony
Asseily, direktur pengelola bank terkemuka di Beirut, cabang J.
Henry Schroder & Company, Inggris. Dalam penawaran pelayanan
untuk seorang klien, barubaru ini, ia menambahkan syarat,
"berlaku selama keadaan stabil". Ia memberikan kesempatan 30
hari kepada kliennya untuk mengambil keputusan.
Perang ternyata menimbulkan kekacauan pikiran dan membuat orang
mudah kehilangan logika. Penduduk Beirut, sejak beberapa tahun
lalu, menaruh kepercayaan besar kepada para wartawan. Banyak
rencana mereka diandalkan berdasarkan jawaban yang dapat mereka
korek dari wartawan yang bertebaran mewartakan perang yang kacau
itu. Kasus Samir bisa dijadikan contoh.
Samir, lelaki mudadan berpendidikan itu, bersama istrinya
merencanakan perjalanan tamasya ke Polandia, 24 Juni hingga 8
Juli lalu. Sebelum membeli karcis, ia mencari kesempatan bertemu
dengan salah seorang wartawan. Pertemuan seperti itu memang
mudah saja terjadi. Dan Samir mulai melemparkan pertanyaannya.
"Apakah perang berikutnyaakan pecah sebelum kami berangkat,
sesudahnya, atau setelah kami kembali? Di mana? Beirut Barat,
Beirut Timur, Lembah Bekaa, atau Pegunungan Shuf? Perang ringan
atau perang berat? Amankah meninggalkan anak-anak di rumah?"
Sang wartawan, tentu saja, tidak mungkin memberi jawaban yang
pasti. Tapi Samir bersi keras. "Saya harus tahu," katanya. "Saya
tidak bisa meninggalkan anak-anak tanpa jaminan keamanan. Anda
mestinya sudah mendapat informasi tentang perang berikutnya."
Kekerasan memang menimbulkan efek psikologis yang membingungkan.
"Di sini kami menangani ketegangan dalam pelbagai tingkat dan
jenis," tutur Dr. Elie G. Karam, psikiater pada Rumah Sakit St.
George, BeirutTimur. "Ada ketegangan yang bisa dikendalikan, ada
yang tidak. Ada ketegangan yang penting, ada pula yang
biasa-biasa saja." Bahkan ada orang yang baru bisa tenang
setelah mengetahui bahwa pertempuran akan pecah kembali....
Ada alasan mengapa penduduk Beirut demikian putus asa menghadapi
pengeboman atau pembunuhan besar-besaran. Yaitu, pelakunya tidak
pernah tertangkap. Beirut adalah sebuah kota, tempat kejahatan
tidak pernah terbongkar. Tidak seorang pun bisa bergembira
karena mengetahui para pembunuh itu sudah diamankan di balik
terali besi.
"Dalam kebingungan menghadapi tiadanya penjelasan yang bisa
dipercaya mengenai pelaku kejahatan, penduduk kota ini cenderung
menarik kesimpulan gampang, bahkan sukar diterima akal,"tulis
Thomas L. Friedman. Mereka mudah sekali menimpakan kesalahan
kepada orang-orang Syria, atau Israel, atau Palestina, tanpa
memberi kesempatan pada kemungkinan lain, misalnya orang Libanon
sendiri.
Tersebutlah, baru-baru ini, seorang akademisi Amerika yang
bermukim di Beirut menyelenggarakan jamuan makan di kediamannya.
Sembari mencicipi hidangan, hadirin terlibat pembicaraan
mengenai badai salju luar biasa, 11 dan 12 Juni lalu. Setelah
semua penjelasan meteorologis diungkapkan, tuan rumah bertanya
kepada tamu Libanon-nya, setengah bergurau, "Anda toh tidak
menuduh orang Syria, 'kan ?"
Berbagai upaya untuk meneduhkan kecemasan di dalam hati penduduk
Beirut muncul dalam wujud yang kadang-kadang terasa kasar dan
janggal. Misalnya, seperti yang dituturkan Diala Ezzedine,
seorang pekerja SAR pada Palang Merah Libanon. "Acap kali saya
menenangkan diri sendiri dengan membuat perhitungan gampang di
dalam kepala," katanya. "Saya berkata pada diri sendiri, ada
empat juta penduduk Libanon, dan banyak orang dalam keluarga
besar saya. Baru-baru Ini, seorang saudara sepupu saya terbunuh.
Saya sangat kecewa. Tetapi juga - dan ini sesungguhnya sangat
mengerikan - ada perasaan lega bahwa bukan saya yang menjadi
korban. "
Setelah semua perhitungan tidak dapat diandalkan, orang Beirut
menenangkan diri dengan menyepelekan semua perkara. Sikap ini
mereka sebut "fatalisme". "Kami kembali kepada sisi Timur
kepercayaan kami," kata Elizabeth Zaroubi, 30, seorang nyonya
rumah tangga dan ibu tiga anak lelaki. "Apa yang terjadi,
terjadilah. Dengan demi kian, tak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan ."
Fatalisme itu juga agaknya yang terjadi pada Nyonya Zaroubi,
baru-baru ini. Pada 18 April lalu, ia melenggang keluar,
meninggalkan bagian visa kedutaan besar Amerika Serikat di
Beirut. Tepat 10 menit kemudian, tempat itu hancur luluh oleh
sebuah kendaraan bermuatan bom.
Leena Shayboub, 31, juga ibu tiap anak, tadinya bekerja sebagai
penyiar Radio Beirut. Ia mengatakan ingat persis saatnya ia
menjadi seorang fatalis.
"Ada seorang lelaki yang tinggal di bangunan apartemen kami, dan
kami kenal baik," katanya. "Pada musim panas 1975, di tengah
perang saudara itu, ia bersama istrinya bepergian ke Beirut
Timur, dengan burung mereka dalam sangkar di kursi belakang
mobil. Tak ketahuan asal-usulnya, sebuah bom tiba-tiba hinggap
di kendaraan itu. Istrinya tewas seketika. tidak, bukan hanya
"tewas". Perempuan itu hancur berkepingkeping. Kulitnya
tertempel di kaca depan mobil. Sang suami hanya menderita luka
ringan. Burung mereka sedikit pun tiada tergores, tetap bersiul
di sangkarnya, di bangku belakang. "
Berhenti sejenak untuk mengumpulkan ingatan, Leena kemudian
meneruskan ceritanya. "Sebelum perang, selalu ada alasan yang
sah untuk mati. Misalnya, jatuh sakit lebih dulu. Atau tertimpa
kecelakaan. Atau pesawat terbang yang Anda tumpangi jatuh di
suatu tempat. Tetapi, setelah malapetaka yang menimpa tetangga
saya itu, saya langsung menjadi fatalis. Perempuan itu mati
tanpa alasan. Suami dan burungnya juga selamat tanpa alasan.
Semuanya, seolah-olah, betul-betul urusan nasib."
"Fatalisme tidak lantas berarti bahwa seorang penduduk Beirut
seenaknya berjalan menyeberangi ladang ranjau untuk berbelanja
ke pasar," tulis riedman. Lebih tepat dikatakan bahwa mereka
melihat segala sesuatu dari segi yang menguntungkan. Bila
kebetulan rumahnya disinggahi granat, mereka akan tersenyum dan
berkata "untunglah, bukan bom." Bila bom akhirnya mampir, mereka
masih bisa tersenyum, "untung, hanya sebuah".
Keterangan inilah, agaknya, yang bisa mejelaskan semangat
penduduk Beirut untuk terus bertahan, dan menanamkan modalnya
kembali setelah sebuah usaha ringsek ditabrak perang. Halwany,
manajer supermarket Goodies itu, membuka sebuah tokonya di saat
perang antar gang memuncak di Beirut Barat, 1979. "Kami
mula-mula membuka toko untuk seminggu, kemudian berhenti ketika
perang sampai ke lokasi itu," katanya mengenang. "Setelah
keadaan aman, toko kembali dibuka. Tapi, akhirnya, kami putuskan
untuk menghilangkan kekhawatiran dan membuka toko sepanjang
minggu. Orang mengatakan kami sinting. Ya, kami memang sinting."
Di tengah kemelut invasi Israel di Beirut Timur, Halwany membuka
tokonya yang kedua.
"Sikap seperti ini ada bahayanya," ujar Dr. Amal Shamma, kepala
bangsal darurat pada Rumah Sakit Barbir, Beirut. Antara lain
makin mundurnya naluri dan refleks, yang dalam keadaan normal
sering menyelamatkan hidup seseorang.
"Tengah malam, pekan lalu, kami diguncang gempa bumi dengan
kekuatan 5,5 pada skala Richter," tutur Shamma. "Sekujur rumah
saya berguncang. Saya bangun dan berkata pada diri sendiri 'ah,
cuma gempa bumi' lalu kembali tidur. Paginya saya bangun dan
mendapatkan bahwa semua orang ternyata mengungsi ke pantai.
Barulah timbul rasa takut."
Kadang-kadang, serombongan pengendara mobil menuju tempat
kerusuhan yang belum jelas. Mereka bertanya pada para pejalan
kaki, dan mendapatkan jawaban bahwa seorang penembak jitu baru
beraksi, atau sebuah kendaraan bermuatan bom baru meletup. Di
kota lain, mendengar jawaban demikian orang biasanya memutar
haluan dan pulang ke rumah. Di Beirut, mereka hanya menghindar
sedikit saja. "Bukan di jalan Anda, dan tidak pula di depan
pintu rumah Anda, ada urusan apa?" kata mereka.
"Di Beirut, kemampuan untuk melupakan segalanya bukanlah
penyakit," kata Prothro, ilmuwan perilaku pada Universitas
Amerika. Dalam kenyataannya, hal itu bahkan membantu kesehatan
dan membuat orang mampu bertahan dalam hidup yang terus-menerus
mengalami teror.
"Pada suatu hari anak perempuan saya pu lang dari sekolah ,"
tutur Prothro. "Sopir bis sekolahnya, yang juga guru, terbunuh
tepat di depan matanya oleh siraman peluru yang datang entah
dari mana. Kami segera berusaha melupakannya, tidak
memikirkannya."
Ketika Nona Ezzedine, seorang sukarelawan Palang Merah, membantu
memberikan pertolongan di kedutaan besar Amerika yang dibom, ia
juga tidak dapat membayangkan malapetaka itu sebelumnya. Tubuh
manusia berserakan tak menentu. Sebuah lengan dipungut di sini,
sepotong paha tersangkut di sana. "Saya harus segera
melupakannya, kalau mau survive," kata Ezzedine. Saya membangun
sebuah tembok dalam ingatan saya. Saya masih mampu melihat
adegan itu, masih bisa mengingatnya di sembarang waktu. Tapi
saya tidak mau ia mengambil bagian dalam hidup saya. Biarlah
ingatan itu tinggal di suatu pojok, jauh dari kenyataan hidup
sehari-hari."
Anthony Asseily, direktur Bank Schroder itu, suka bercerita
tentang Munzer Najm, pegawainya. Ketika Beirut Barat dikepung,
1982, Asseily menutup banknya dan hengkang ke London,
meninggalkan Munzer yang berusia 32 tahun, dengan perintah untuk
memperhatikan dan mengawasi kompleks bank itu. Munzer biasanya
bertugas mengantarkan kopi untuk para karyawan bank dan tamu.
Setahu Asseily, Munzer hanya berbahasa Arab.
"Pada suatu hari, musim panas lalu, saya sedang duduk di kantor
saya di London," tutur Asseily, mengenang. "Tiba-tiba pesawat
teleks menyala. Panggilan dari Beirut. Reaksi pertama saya ialah
menanyakan situasi. Jawaban dari seberang sana: Not so good.
Tunggu dulu, siap ini, tanya saya. Jawabnya: Munzer!
Mula-mula Asseily tidak percaya. Mungkin ada seorang sedang
mengacungkan pistolnya ke dahi Munzer, dan memaksa anak itu
mengetik berdasarkan perintah. Mereka bercakap-cakap sejenak.
Kemudian sadarlah Asseily bahwa Munzer, seraya terduduk
sepanjang hari menunggui bank yang "cuti" itu, telah belajar
bahasa Inggris dan mengetahui cara mengoperasikan teleks. Sebuah
hikmah perang!
Yang mengagumkan Asseily: Munzertak berniat mengangkut pesawat
teleks itu dan men jualnya ke pasar loak. Padahal, tidak terlalu
sulit menawarkan barang itu dengan harga sedikit miring. Lagi
pula, bila Munzer mengandung niat demikian, tak bakal adayang
menghalangi. Polisi tak akan ambil pusing. Munzer hanya
sendirian menunggui bank itu.
Padahal, selama perang berkecamuk, sungguh banyak perangai
terkutuk dilakukan orang dalam situasi hukum yang fldak menentu
itu. "Misalnya apartemen yang saya diami, yang ambruk pada musim
panas lalu ," tulis Thomas L. Friedman. Masalahnya sederhana
sekali. Dua kelompok pengungsi terlibat pertengkaran, mengenai
siapa yang paling berhak mengawasi apartemen tersebut di atas.
Kelompok yang kalah naik pitam, lalu main bom. Tak kurang dari
19 Orang terbunuh akibat "gatal tangan" itu.
Namun, anarki seperti ini belum sepenuhnya mewakili wajah
Beirut. Masih cukup banyak manusia yang berkepala dingin dan
menggunakan akal sehatnya di tengah haru-biru perang. Misalnya,
Munzer tadi. "Manusia toh tidak gampang menjadi binatang," ujar
Edwin Terry Prothro, ahli perilaku itu.
Ada dua alasan utama bagi pengekangan diri di kota yang
centang-perenang ini. Pertama, sejak 1975, Beirut terpecah-belah
dalam mosaik lingkungan kecil. Masing-masing diikat oleh
hubungan keluarga, persahabatan, sering pula keyakinan agama.
Hubungan pribadi di dalam lingkungan kecil ini membuat orang
tetap bersikap tulus dan jujur.
Kedua, secara naluriah orang selalu melakukan hal yang
bertentangan. Daripada menjadi penjahat, orang lebih suka
menjadi teratur, dan merencanakan hidupnya sampai terperinci. Di
sebuah permukiman, pada saat pengepungan Beirut mencapai
puncaknya, 1982, ada seorang lelaki yang mengorganisasikan
anak-anak, dan secara teratur membasuh jalan dengan deterjen.
Pesawat terbang Israel melayang-layang di udara, gerilyawan
hilir mudik di sekitarnya, tetapi lelaki itu bersama gang-nya
tidak berhenti membersihkan jalan. Bukankah kenyataan ini tak
bisa disebut anarki?
Bila kita berbincang-bincang dengan para pelaku perbuatan baik
ini - misalnya para sukarelawan Palang Merah- segera kentara
bahwa tindakan mereka tidak dilandasi itikad menyelamatkan orang
lain sematamata. Melainkan, juga sebuah upaya mencari kepuasan
dan mempertahankan martabat diri sendiri.
"Ayah saya selalu bertanya mengapa saya melakukan pekerjaan yang
sesungguhnya bukan menjadi kewajiban saya," ujar Myrna
Mugrditchian, 25, mahasiswa kedokteran gigi pada Universitas St.
Joseph, Beirut Timur. Padamusim panas, Myrna menghabiskan
waktunya dengan bekerja sebagai anggota tim SAR Palang Merah.
"Memang bukan kewajiban saya, tapi saya sengaja memilihnya,"
tutur Myrna lebih lanjut. "Saya dihadapkan pada pilihan: duduk
di rumah dan bercakap-cakap dengan keluarga sampai sinting, atau
keluar ke jalan. Untuk bisa berada di luar rumah, hanya ada dua
pilihan. Menjadi gerilyawan, atau penolong. Saya memilih yang
kedua."
Menentukan pilihan di tengah keadaan ekstrem seperti ini membuat
orang menemukan berbagai hal mengenai dirinya - atau orang lain
yang tidak mungkin muncul kecuali di Beirut yang babak belur.
"Dengan caranya sendiri, perang membuat beberapa orang menjadi
lebih baik," kata Richard Day, psikolog Amerika yang mengajar di
Universitas Amerika Beirut. "Manusia menemukan tenaga dalam yang
dimilikinya, melalui ujian yang begini dahsyat. Laksana logam,
yang menemukan mutunya dalam suhu yang sangat tinggi."
Nona Mugrditchian bekerja dari subuh sampai senja, tujuh hari
dalam sepekan, September tahun lalu. Ia ikut mengumpulkan dan
menguburkan mayat penduduk sipil yang terbunuh di kamp pengungsi
Sabra dan Shatila - pembantaian yang sangat terkenal itu.
"Ternyata, kemampuan mental dan fisik saya jauh di atas bayangan
saya sebelumnya," tutur Mugrditchian. Satu-satunya problem ialah
merosotnya nilai-nilai kemanusiaan pada sejumlah orang lain.
Di Sabra dan Shatila itu, umpamanya. "Ketika saya menguburkan
mayat-mayat itu, saya bertanya pada diri sendiri: mengapa
manusia mampu melakukan hal ini terhadap sesamanya," kata
Mugrditchian . "Kemudian Anda tahu apa yang terjadi? Beberapa
penghuni kamp pengungsi itu mencuri air dari ambulans kami,
bahkan melucuti perhiasan emas dari jenazah yang sedang
dikuburkan. Saya kembali bertanya pada diri sendiri: apa gunanya
saya di sini, menolong orang-orang macam begini? Saya
mendambakan adanya sesuatu yang ideal, yang dapat di percaya.
Ternyata, omong kosong."
Setelah pengepungan musim panas lalu, Richard Day melakukan
studi terhadap para mahasiswa Universitas Amerika, untuk
menyimpulkan mekanisme para penduduk Beirut yang selamat.
Setelah melakukan analisa, ia membagi penduduk Beirut ke dalam
dua jenis kepribadian dasar: yang beruntung dan yang selamat.
"Yang beruntung" ialah mereka yang acuh tak acuh terhadap
masalah yang berada di luar jangkauan campur tangannya, misalnya
pesawat terbang F-15 yang meraung-raung di angkasa itu . Mereka
melakukan apa saja untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan
tidak mengalami kesulitan menghadapi lingkungan, betapa pun
beratnya. Mereka yang selamat dari pengepungan, Beirut, 1982,
dalam keadaan mental dan fisik terbaik, menurut Day, bukanlah
orang-orang yang bersembunyi di bawah tanah sepanjang musim
panas. Melainkan, orang-orang yang justru tetap keluar rumah,
mengerjakan apa saja, mencari informasi, dan mengamati
lingkungannya dengan teliti.
Contoh orang yang "beruntung" mungkin bisa dilihat pada diri
George Beaver, bekas pengusaha Inggris berusia 89 tahun, yang
memilih menghabiskan sisa usia di Beirut karena "bebas dari
pajak, mudah mencari pembantu rumah tangga, dan murah harga
wiski. " Selama perang saudara 1975-1976, dan tahun-tahun
sesudahnya, hampir setiap hari Beaver bermain golf di Klub Golf
Libanon di Beirut.
Ia terkenal sebagai The Lone Ranger. Sebatang kara, Beaver
mengitari padang golf itu, memukuli selongsong peluru yang
berserakan menggali pasir dari beberapa lubang, atau membuat
lubang baru sesukanya. Hanya pemboman paling dahsyat, pada musim
panas 1982, yang berhasil mencegah Beaver mengunjungi lapangan
golfnya. "Mungkin tindakan saya main golf itu merupakan
perbuatan gila," katanya. "Tapi kalau saya tidak main golf, saya
lebih gila."
Sebaliknya, orang-orang "yang selamat"!, menurut survei Richard
Day, sesungguhnya lebih tepat dinamakan "orang-orang yang hampir
tidak selamat". Mereka cenderung menderita trauma kejiwaan.
Mereka terlalu banyak menyerap informasi, nyaris tanpa sikap
kritis. Sebagai akibatnya, mereka penuh dengan beban yang tak
lagi bisa dikendalikan. Mereka inilah yang penuh dengan pelbagai
keluhan, mulai dari sekadar ketegangan jiwa sampai pada
insomnia.
Apa yang telah terjadi dengan "orang-orang yang selamat" ini?
Apakah Libanon memang dilanda wabah penyakit jiwa, akibat perang
delapan tahun? "Tak seorang mampu menjawab pertanyaan ini dengan
telak," tulis Thomas L. Friedman. Soalnya, menurut Day,
masyarakat yang tegang dan penuh kekerasan, seperti Beirut,
cenderung menutupi persoalan kejiwaannya. Manusia memusatkan
perhatian pada usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Beberapa komplikasi kejiwaan yang parah tidak mempunyai
kesempatan untuk muncul ke permukaan. Kecuali, barangkali,
setelah perang berakhir. Tapi, kapan?
Keganjilan itu bisa dilihat dari cerita Dr. Antranik Manoukian,
bekas manajer satu-satunya klinik kesehatan jiwadi Libanon,
Rumah SakitJiwadan Saraf Asfourieh, yang kini sudah ditutup.
Dalam sebuah simposium, baru-baru ini, Manoukian menceritakan,
pasien yang ditemukannya di tengah pengeboman dan baku tembak
paling dahsyat cenderung berlagak waras dan tidak membutuhkan
pengobatan. Tapi, setelah perang berlalu, keluhan: mereka
bermunculan.
Dampak sesungguhnya dari masa delapan tahun terakhir ini,
menurut Day, baru mungkin terlihat bila peran betul-betul usai.
Sekarang, dengan bom masih berletusan di mana-mana, dan
pertempuran bersenjata tidak memilih waktu dan tempat,
kesempatan untuk mempelajari akibat perang itu belum mungkin
terbuka.
Masih ada problem lain untuk menentukan kesehatan mental
penduduk Beirut, yaitu langkanya prasarana. Di seluruh negeri
itu, hanya ada sebuah rumah sakit yang menyediakan bangsal bagi
pasien berpenyakit jiwa. Atau, barangkali sudah sulit membedakan
orang yang sakit jiwa dengan yang waras?
Perbedaan pandangan politik di antara penduduk yang mendiami
suatu kota seperfi Bei rut juga memainkan peranan tersendiri.
Perbedaan pandahgan itu mewarnai sikap mereka menghadapi
kekerasan dan mempersulit kemungkinan menarik kesimpulan umum
mengenai kondisi kesehatan jiwa. Dr. Fuad Antun, satu-satunya
psikiater di Rumah Sakit Universitas Amerika di Beirut, mengakui
hal itu.
Sebagai contoh, invasi Israel pada musim panas yang lalu
dirasakan sangat tegang oleh orang-orang Islam dan Palestina
yang tinggal di Beirut Barat. Sebaliknya invasi itu membuat
tenteram umat Kristen yang bermukim di Beirut Timur. Trauma di
satu pihak bisa menjadi terapi bagi pihak lainnya. Tergantung
pada sikap dan posisi politik masing-masing.
Kesulitan lain adalah kebiasaan menanggulangi problem kejiwaan
di kalangan sendiri. Ada semacam rasa malu untuk mengakui
hadirnya seorang "sinting" di tengah keluarga. Jarang sekali
penduduk Beirut datang ke dokter dan meminta diperiksa kesehatan
jiwanya. Problem ini, biasanya, dipecahkan orangtua atau
saudara. Pokoknya, bukan orang luar.
Terapi keluarga memang memainkan peranan tersendiri untuk
seseorang yang menderita gangguan kejiwaan. Tetapi, tentu,
terapi itu tidak bisa diandalkan untuk menangani problem
kejiwaan yang lebih serius. Bayangkan, delapan tahun hidup di
tengah perang bukanlah urusan gampang. Sangat sulit menemukan
seseorang yang tetap tenang dan tabah setelah menjalani
tahun-tahun yang pahit itu.
"Saya mempunyai seorang pasien, wanita tua, yang selalu ingin
bunuh diri akibat ketegangan yang gawat," tutur Dr. Shamma, yang
bertugas di Rumah Sakit Barbir. "Saya sudah berbicara dengan
semua anggota keluarganya, tapi mereka tetap tidak setuju
memasukkannya ke rumah sakit. Bahkan mereka tidak mengakui
penyakit jiwa yang diderita wanita tadi. Saya selalu merasa
sangat khawatir bila menghubunginya di telepon. Setiap
pembicaraan terasa sebagai kesempatan terakhir. Wanita itu bisa
saja setiap saat bunuh diri."
Tidaklah mengherankan keterangan para apoteker bahwa banyak
sekali penduduk Beirut yang mengobati sendiri penyakit mereka.
Di manamana orang minum Valium, dengan anggapan bahwa obat itu
manjur menangkal penyakit apa saja. Sama seperti Nardil. Obat
penenang saraf itu gampang dibeli eceran di sembarang warung -
dan selalu laku keras.
Tapi pengalaman Dr. Karam, psikiater pada Rumah Sakit St.
George, agak berbeda. Menurut dia, banyak juga pasien penyakit
jiwa datang berobat. Di lingkungan permukiman masing-masing,
para pasien itu tidak pernah bercerita terus terang tentang
keadaan kesehatannya. Kunjungan mereka ke rumah sakit juga
dilakukan secara tersembunyi .
"Penduduk Libanon," kata Dr. Karam, "sudah terlatih menggunakan
kekerasan sebagai penyelesaian yang gampang untuk problem mereka
sehari-hari." Suatu hari, misalnya, ia menerima kun jungan
seorang wanita. Begitu masuk kamar periksa, wanita itu langsung
mengadu "Saya menderita ketegangan karena kematian Bashir
Gemayel." Padahal menurut Dr. Karam, "belum tentu hal itu benar.
Mungkin saja ada sebab lain, misalnya perselisihan rumah
tangga."
Dr. Antun membuat catatan yang menarik, sekaligus pahit. Dari
sejumlah pasien yang bolak-balik mengunjunginya, dokter ini
sampai pada kesimpulan yang sulit diatasi . Yaitu adanya semacam
ketegangan besar dan kekecewaan di kalangan penduduk Beirut.
Masalahnya: setelah delapan tahun dengan sabar dan tabah melihat
orang berperang di kampung halaman mereka, toh mereka sendiri
tidak bisa merencanakan hari depan yang pasti bagi diri dan
anak-anaknya. Kesadaran ini membuat banyak orang kehilangan
keseimbangan .
Selamatahun-tahun 1975-1982 terdapat sejumlah kerusuhan
terorganisasikan di Beirut, yang bisa ditenggang para penduduk.
Tapi sejak invasi Israel - yang tadinya diharapkan
"menyelesaikan semua soal"- orang seperti berhadapan dengan
jalan buntu dan gelap. Intrik politik makin ruwet, apalagi
setelah superpower makin terlibat secara terbuka. Penduduk
sadar, keadaan berkembang ke arah yang tak mungkin mereka
kuasai. Pengeboman terhadap markas marinir AS dan pasukan
Prancis, Oktober lalu, membuat pengharapan nyaris putus.
Soal lain yang menyiksa: orang tidak diberi kesempatan punya
pilihan lain. "Kalau tergantung kepada saya," kata Dr. Antun,
"biarlah saya kehilangan rumah dalam perang tujuh hari, daripada
harus berlarut-larut menyaksikan sengketa tak berkesudahan."
Kesabaran, yang dulu menjadi ciri orang Libanon, kini terbang
entah ke mana. Solidaritas bangsa menipis, solidaritas keluarga
bertambah kentara. Semuanya berubah begitu saja.
"Saya tinggal di bangunan yang sama bersama orangtua saya," kata
Elizabeth Zaroubi, yang selamat pada pengeboman di kedutaan
besar AS. "Sebelum perang, saya biasa melihat mereka, sekitar
lima menit setiap hari. Kini, kami harus duduk berjam-jam,
menyiapkan makanan bersama, main kartu, dan bercakap-cakap
dengan tetangga. Jika seseorang kebetulan lewat di pasar, dan
menemukan buah arbei, atau roti, atau ketimun, ia akan
membelinya dengan jumlah yang cukup untuk seisi rumah, bahkan
untuk tetangga sekitar."
Dulu, orang-orang yang bertetangga berpapasan begitu saja di
jalanan. "Kini kami mengenal satu sama lain, sampai pada soal
terperinci. Kami mengenal anak-anak mereka, bahkan
saudara-saudara mereka di tempat lain. Kami makin banyak saling
bertanya. Kami memiliki semacam perasaan kebersamaan."
Keterikatan kepada negara juga mendapat bentuk lain dalam perang
menahun ini. Penduduk Beirut melihat "negara" dalam bentuk
pemasangan air ledeng umum di kompleks permukiman yang baru
digasak bom, atau penyambungan aliran listrik di kawasan yang
hancu r oleh kontak senjata. Dengan kesadaran seperti ini,
mereka bertahan dan mengatasi ketegangan.
Sebagai negara, Libanon akan tetap hidup. Meski pasukan asing
begitu banyak, kepentingan yang rupa-rupa saling mendesak, dan
intrik politik demikian dahsyat. Sebaliknya, pemecahan nasional
juga mungkin tinggal angan-angan, sebab orang Libanon makin
menarikdiri kedalam lingkungan yang lebih kecil. Mereka
terpecah-pecah, mungkin tanpa seorang pun menyadarinya.
Dalam kehidupan anak-anak, dampak perang itu lebih mengerikan.
Banyak pengamat mengkhawatirkan masa depan Libanon justru karena
generasi yang sedang tumbuh sekarang ini dibesarkan di tengah
kekerasan. "Dalam banyak hal, anak-anak itu sudah terbiasa
menyaksikan kekerasan yang oleh orangtua Amerika tidak akan
dibiarkan, kendati melalui layar televisi,"tulis Jane Mayer
dalam koran The Asian Wall Street Journal.
Kisah Fadi, misalnya, bisa dijadikan cermin. Di jalan berdebu
yang dijepit perumahan ringsek, Fadi, bocah lima tahun itu,
seperti berjaga sepanjang siang. Ketika anak-anak yang lebih tua
pulang dari sekolah, Fadi mengangkat tangannya menahan mereka.
"Kalian tak boleh lewat sini," katanya. "Ayahku terbunuh di
tempat ini."
Di bagian depan rumah Fadi, lubang peluru masih menganga. Di
atas lubang peluru itu, dalam grafiti berwarna merah, tertulis
"Mampuslah Kaum Falangis!" Itulah kata-kata kutukan terhadap
milisi Kristen yang memimpin pembantaian di Shatila, tempat ayah
Fadi terbunuh, musim panas tahun lalu.
Fadi sendiri belum bisa membaca. Tapi tulisan garang di tembok
itu seperti sudah merasuk ke dalam jiwanya. "Bila aku besar, aku
akan membeli senapan panjang, dan menghabisi pembunuh ayahku,"
katanya. Kata-kata - atau cita-cita penuh dendam kesumat seperti
itu mudah dikutip dari mulut anak-anak yang berkeliaran di
sekitar Beirut. Ya, anak-anak yatim piatu dari sebuah perang
yang makin sulit di mengerti.
Anak-anak ini, melalui pengalaman panjang, sudah terlatih
menghadapi bahaya. Bila ada pesawat terbang melayang di udara,
mereka otomatis menyuruk di bawah tempat tidur. Bila pengeboman
usai, mereka muncul lagi, dan seenaknya bermain di tengah
reruntuhan rumah tetangga. Yang lebih parah, di tengah negeri
dengan terbatasnya jangkauan tangan pemerintah secara terpusat,
hancurnya sekolah dan sistem pendidikan membuat perkembangan
anak-anak itu sulit diikuti dan ditimbang.
Navvart, gadis cilik berusia tujuh tahun itu, tak akan melupakan
suatu malam di akhir musim dingin lalu. Ketika itu beberapa
tentara Libanon masuk ke dalam rumahnya dan menembak ayahnya
yang hanya mengenakan piyama. Orang tua itu dicurigai sebagai
perwira PLO. "Mereka menembaknya di sini, dan di sini," tutur
Navvart, sambil menuding perut dan dadanya yang mungil. "Kami
membawa Ayah ke rumah sakit tapi serdadu-serdadu itu mengikut di
belakang. Ketika dokter akan memberikan pengobatan sinar-X
terhadap Ayah, mereka menariknya dari tempattidur, membantingnya
ke tangga, sampai mati."
Seperti anak lain yang berkeliaran di Beirut, Navvart membenci
perang. Pada malam hari, ia mengaku bermimpi melihat
mayat-mayat. Bahkan siang hari ia selalu khawatir tiba-tiba
ditarik oleh salah seorang serdadu itu dan dibawa entah ke mana.
Toh ia punya cita-cita, ingin menjadi dokter. Sampai di sini,
kenangan akan pembunuhan terhadap ayahnya ternyata tak bisa
terhapus begitu saja. Di atas segala-galanya, kata Navvart,
"saya lebih dulu harus berjuang. Saya ingin membunuh orang yang
menyebabkan kematian ayah saya."
Seorang ahli jiwa Palestina melihat gejala ini sebagai sesuatu
yangwajar, akibat alamiah perang yang tak terselesaikan. "Lalu
apa yang Anda harapkan dari anak-anak ini," katanya, "bila
mereka pernah menyaksikan ibunya dibantai di depan matanya,
bagaikan seekor domba? Anda masih mengharapkan mereka menjadi
bidadari kecil? Setelah menyaksikan pembunuhan begitu banyak,
apakah Anda percaya mereka masih mengharapkan sesuatu dari
kemanusiaan?" Pertanyaan yang sukar di jawab !
Mintalah para guru di Beirut menceritakan pengalamannya. Mereka
bisa bertuturtentang murid yang datang ke sekolah menyandang
senapan, seraya menuntut kenaikan kelas. Para pekerja sosial
berbicara tentang kaum remaja yang sulit diatur. Para ahli,
misalnya Dr. Amal Shama, tokoh pendidik Beirut, khawatir dampak
perang ini akan berakibat panjang. "Saya takut kekerasan
akhirnya tidak cuma digunakan untuk menyelesaikan pertentangan
politik, tapi semua soal di dalam kehidupan sehari-hari," kata
Dr. Shama.
Sulit dipastikan berapa jumlah anak-anak Libanon yang menjadi
korban langsung peperangan ini. Sebuah studi yang dilakukan di
Universitas Amerika di Beirut menyimpulkan, kendati hanya satu
dari 10 anak yang menderita kekerasan fisik, hampir 10 dari 10
orang menyaksi kan kekerasan itu - pengalaman yang sungguh
buruk. Studi lain menyimpulkan penderitaan paling besaryang
ditanggung anak-anak dalam perang ini ialah kehilangan orangtua.
Pengalaman itu bahkan lebih buruk daripada terkepung di tengah
kedua pihak yang sedang bertempur.
Tidak mudah mengenali anak yatim piatu di Libanon. Mengacu
kepada tradisi, anak yang kehilangan orangtua segera diambil
oleh sanak saudara yang masih hidup, dan dipelihara sebisanya.
Banyak pula anak yang tak bisa bercerita tentang asal-usulnya,
bahkan tak ingat namanya sendiri.
Satu contoh ialah Dalal, seorang gadis cilik buta, yang sebagai
bayi ditemukan di tengah reruntuhan oleh para pekerja pencari
korban. Bila ia didekati para wartawan, ia segera berkata dalam
bahasa Inggris yang fasih, "Saya tidak tahu mengapa saya ada di
sini, saya tidak mengerti mengapa mereka berperang." Ya,
mengapa?
Mengenai umurnya, "mungkin tujuh tahun," kata Dalal. Tapi tak
ada yang bisa memastikan. Orang juga tak berani menaksir umur
Hamoudi, anak lelaki yang sekampung dengan Dalal dan cacat
seumur hidup. Ia tak bisa berjalan, tak bisa berbicara. Yang
bisa dilakukannya hanyalah tersenyum kepada orang yang lalu
lalang, atau memegangi pipinya bila pesawat terbang
melayang-layang di udara.
Menurut sejumlah kantor pelayanan sosial, sekitar 21.000 anak
yatim korban perang berkeliaran di Libanon. Pemerintah tidak
menyediakan fasilitas apa pun untuk anak-anak ini. Perhatian
hanya datang dari sekte-sekte keagamaan yang saling berebut
pengaruh.
Lembaga terbesar di bidang ini boleh jadi Yayasan Yatim Piatu
Islam, yang didirikan enam tahun lalu. Di sini berlindung
sekitar 3.000 anak. Mereka di beri makan, serta fasilitas tidur
dan belajar. Kadang-kadang, petang hari, mereka tampak bermain
bola.
"Sebagian besar anak yang datang ke sini tadinya penuh
kekecewaan dan perasaan bingung," tutur Mohammed ' Barakat,
direktur umum yayasan itu. "Anak-anak itu tidak tahu lagi siapa
yang harus dikutuk untuk keadaan yang kacau-balau ini.
Druze-kah? Kristen? Israel? Atau Syria?"
Sebuah kasus belum lama berselang membuktikan alasan kebingungan
anak-anak itu. Pada suatu hari, dua kakak beradik - lelaki dan
perempuan - datang melindungkan diri ke yayasan itu. Ayah mereka
dibunuh orang-orang Kristen pada perang saudara 1975-1976. Ibu
mereka dibunuh serdadu Israel pada invasi 1978. Dan yayasan
yatim piatu, tempat mereka kemudian berlindung sebelum tinggal
di yayasan Islam tadi, hancur dalam pertempuran antara kelompok
Kristen dan Druze di Pegunungan Chouf. Semua pihak ambil bagian
dalam meremukkan kehidupan kedua kakak beradik itu.
Seorang anak lelaki, ketika itu berusia tujuh tahun, datang ke
Yayasan Yatim Piatu Islam dengan pengalaman yang tak kalah
dahsyat. Ibunya dibunuh seorang anggota milisia, setelah lebih
dulu diperkosa, dan kemaluannya dirusakkan dengan botol pecah .
Anak itu kini berusia 13 tahun. "la selalu bertampang murung,"
ujar Barakat. "la tak mau berbicara karena ia tak suka berpikir.
Anak-anak seperti ini tenggelam dalam frustrasi. Mereka tidak
mempunyai keyakinan pada diri sendiri, apalagi pada masa depan."
Di sekolah, anak-anak yatim piatu ini juga bisa dibedakan dengan
jelas. Bila kepada mereka diserahkan selembar kertas dan potlot
berwarna, yang pertama mereka gambar ialah senapan, pesawat
terbang, dan bom yang jatuh di atas sebuah bangunan. "Padahal,
kami selalu menganjurkan mereka menggambar bunga," kata seorang
guru.
Banyak di antara anak-anak itu menggabungkan diri dengan pasukan
milisi pada usia 12 tahun. Sebagian besar tidak didorong oleh
motivasi ideologi atau politik, tentu saja. Melainkan, sekadar
mencari jalan untuk bisa membalas dendam terhadap pihak yang
mereka anggap menjadi sebab kematian orang tuanya.
Di kamp pengungsi Palestina di Shatila, 120 anak langsung
menjadi yatim piatu akibat pembantaian tahun lalu. Ahmed
Qachqouch, guru yang bertugas di daerah itu di bawah koordinasi
PBB, memang menyaksikan pelbagai kelainan.
"Kadang-kadang," katanya, "anak-anak itu tertawa dan
memperlihatkan giginya. Tapi mereka melakukannya tidak karena
dorongan hati. Mereka tersenyum, tapi juga selalu berpikir.
Mereka saling menceritakan cara kematian orangtuanya,
seolah-olah peristiwa itu baru terjadi kemarin."
Zahra, gadis cilik Palestina berusia tujuh tahun, tidak
terkecuali. Ia menyaksikan ibunya dibunuh dengan cara yang luar
biasa. Perempuan itu diseret di jalan pada rambutnya, kemudian
dibelah dengan pisau pada perutnya. Kalau Zahra menceritakan hal
itu, matanya segera berair. Apa yang ingin dilakukannya di masa
depan? Ia bingung." Saya mau membuka toko es krim yang besar,"
katanya. "Saya mau menjahit pakaian. Saya mau membunuh tentara."
Libanon, pada akhirnya, memang neraka yang ditambahkan pada
sejumlah medan perang terdahulu di berbagai negeri. Neraka yang
diciptakan tangan manusia - makhluk paling berbudi itu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini