APA yang dilakukan para kiai di Rembang, beberapa waktu yang
lalu, memang terasa aneh: membuat skala prioritas ibadah. Kalau
skala prioritas pembangunan, bukan barang baru.
Di kota pantai utara Pulau Jawa itu, seorang pemilik toko yang
menjual skuter dan sepeda motor, sisa-sisa kelas pedaang santri
yang jaya di masa lampau, tiap tahun melakukan ibadah haji ke
Mekah. Ibadah haji pertama memang wajib, tetapi pengulangannya
tidak. Hanya diseyogyakan dalam istilah hukum agama (fiqh)
disebut disunahkan.
Ada yang menanyakan kepada para kiai di Rembang itu status haji
sunah yang dilakukan berkali-kali, padahal ada yang lebih
membutuhkan pembiayaan. Yaitu pembangunan gedung sekolah agama,
alias madrasah.
Jalan pikiran penanya itu sebenarnya sesuai dengan penalaran
manusia yang membangun. Bukankah Nabi Muhammad bersabda
"menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim, pria dan wanita"?
Para kiai lantas membahasnya dalam maJehs fiqh yang mereka
selenggarakan secara teratur. Sudah dapat diduga: mereka
akhirnya membenarkan pendapat - dan imbauan - penanya di atas.
Namun, bukan keputusannya yang penting, melainkan proses
tercapainya. Dasar pengambilan keputusan itu tepat kalau disebut
"indikator skala prioritas ibadah". Seolah-olah merupakan
sesuatu yang empiris, padahal bukan.
Para kiai di Rembang ternyata tidak mendasarkan keputusan mereka
pada penalaran yang dikemukakan si penanya. Penalaran seperti
itu terlalu rasionalistis, tidak sesuai dengan sendi-sendi
pemikiran keagamaan mereka. Menurut "kamus fiqh" yang mereka
anut, tidak ada tempat untuk penalaran rasional yang tuntas,
yang langsung dengan menggunakan ayat Quran atau sabda Nabi. Itu
kelancangan - apalagi kalau dilakukan orang yang tidak kompeten.
Dalam pandangan mereka, untuk penalaran di bidang fiqh, harus
ada kerangka penglihatan yang jelas dan kerangka berpikir serba
deduktif itu disistematisasikan dalam sebuah teori hukum, yang
dinamai usul fiqh. Metode inilah yang menentukan bagaimana ayat
Quran, atau sabda Nabi, harus diberlakukan dalam setiap masalah
yang timbul. Juga bagaimana keputusan diambil kalau tidak ada
"dalil" berupa ayat Quran atau sabda Nabi - melalui analogi
(qias), konsensus (ijma'), dan sebagainya.
Ada sekian puluh kaidah yang telah dibakukan, dengan tujuan
dipakai sebagai "pedoman" dalam pengambilan keputusan. Yang
terkenal adalah Asybah Wa-Naza'ir, karya utama As-Sayuti yang
sudah berumur hampir enam abad. Dalam Asybah itulah mereka
dapati kaidah yanag berhubungan dengan kasus tadi. Bunyinya
sederhana: "amal perbuatan yang berlanjut diutamakan atas amal
perbuatan yang terhenti" (al-'amalul muta'addi afdhalu minal
'amalil qashir).
Amal kebajikan yang berlanjut adalah yang kegunaanya dirasakan
orang lain. Bahasa Jawa model pesantrennya disebut sumrambah
olehe migunani. Sedangkan yang terhenti adalah yang kegunaannya
hanya kembali kepada diri si pelaku. Maka, selesailah pembahasan
para kiai. Medirikan madrasah adalah amal kebajikan berlanjut.
Jadi, diutamakan.
Aplikasi kaidah yang demikian sederhana itu ternyata adalah
bidang para kiai. Dalam batas-batasnya sendiri, bukankah ia
perlu didorong, untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang
jelas kegunaannya bagi masyarakat? Titik tolak mengaitkan
"sistem kaidah" itu dengan tekanan di bidang kemasyarakatan pun
sudah diantisiDasikan oleh kaidah lain yakni: tasharruful imam
manutun bil maslahah. 'Kebijaksanaan si pengambil keputusan
mengikut kepentingan rakyat'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini