Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Skala prioritas ibadah

Para kiai di rembang membuat skala prioritas ibadah. prioritas ini timbul setelah membahas orang yang pergi ke haji berkali-kali, padahal ada yang lebih membutuhkan biaya, membangun gedung sekolah agama.

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang dilakukan para kiai di Rembang, beberapa waktu yang lalu, memang terasa aneh: membuat skala prioritas ibadah. Kalau skala prioritas pembangunan, bukan barang baru. Di kota pantai utara Pulau Jawa itu, seorang pemilik toko yang menjual skuter dan sepeda motor, sisa-sisa kelas pedaang santri yang jaya di masa lampau, tiap tahun melakukan ibadah haji ke Mekah. Ibadah haji pertama memang wajib, tetapi pengulangannya tidak. Hanya diseyogyakan dalam istilah hukum agama (fiqh) disebut disunahkan. Ada yang menanyakan kepada para kiai di Rembang itu status haji sunah yang dilakukan berkali-kali, padahal ada yang lebih membutuhkan pembiayaan. Yaitu pembangunan gedung sekolah agama, alias madrasah. Jalan pikiran penanya itu sebenarnya sesuai dengan penalaran manusia yang membangun. Bukankah Nabi Muhammad bersabda "menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim, pria dan wanita"? Para kiai lantas membahasnya dalam maJehs fiqh yang mereka selenggarakan secara teratur. Sudah dapat diduga: mereka akhirnya membenarkan pendapat - dan imbauan - penanya di atas. Namun, bukan keputusannya yang penting, melainkan proses tercapainya. Dasar pengambilan keputusan itu tepat kalau disebut "indikator skala prioritas ibadah". Seolah-olah merupakan sesuatu yang empiris, padahal bukan. Para kiai di Rembang ternyata tidak mendasarkan keputusan mereka pada penalaran yang dikemukakan si penanya. Penalaran seperti itu terlalu rasionalistis, tidak sesuai dengan sendi-sendi pemikiran keagamaan mereka. Menurut "kamus fiqh" yang mereka anut, tidak ada tempat untuk penalaran rasional yang tuntas, yang langsung dengan menggunakan ayat Quran atau sabda Nabi. Itu kelancangan - apalagi kalau dilakukan orang yang tidak kompeten. Dalam pandangan mereka, untuk penalaran di bidang fiqh, harus ada kerangka penglihatan yang jelas dan kerangka berpikir serba deduktif itu disistematisasikan dalam sebuah teori hukum, yang dinamai usul fiqh. Metode inilah yang menentukan bagaimana ayat Quran, atau sabda Nabi, harus diberlakukan dalam setiap masalah yang timbul. Juga bagaimana keputusan diambil kalau tidak ada "dalil" berupa ayat Quran atau sabda Nabi - melalui analogi (qias), konsensus (ijma'), dan sebagainya. Ada sekian puluh kaidah yang telah dibakukan, dengan tujuan dipakai sebagai "pedoman" dalam pengambilan keputusan. Yang terkenal adalah Asybah Wa-Naza'ir, karya utama As-Sayuti yang sudah berumur hampir enam abad. Dalam Asybah itulah mereka dapati kaidah yanag berhubungan dengan kasus tadi. Bunyinya sederhana: "amal perbuatan yang berlanjut diutamakan atas amal perbuatan yang terhenti" (al-'amalul muta'addi afdhalu minal 'amalil qashir). Amal kebajikan yang berlanjut adalah yang kegunaanya dirasakan orang lain. Bahasa Jawa model pesantrennya disebut sumrambah olehe migunani. Sedangkan yang terhenti adalah yang kegunaannya hanya kembali kepada diri si pelaku. Maka, selesailah pembahasan para kiai. Medirikan madrasah adalah amal kebajikan berlanjut. Jadi, diutamakan. Aplikasi kaidah yang demikian sederhana itu ternyata adalah bidang para kiai. Dalam batas-batasnya sendiri, bukankah ia perlu didorong, untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang jelas kegunaannya bagi masyarakat? Titik tolak mengaitkan "sistem kaidah" itu dengan tekanan di bidang kemasyarakatan pun sudah diantisiDasikan oleh kaidah lain yakni: tasharruful imam manutun bil maslahah. 'Kebijaksanaan si pengambil keputusan mengikut kepentingan rakyat'.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus