PERANG Malvinas telah membuktikan keampuhan Rapier sebagai peluru kendali (rudal) antipesawat terbang dari darat ke udara yang dapat menghancurkan sasaran sejauh 7 km dengan kecepatan jelajah 2 mach. Awal bulan ini, pabrik British Aerospace mengumumkan bahwa Departemen Pertahanan dan Keamanan RI telah menandatangani kontrak pembelian rudal buatannya senilai œ 40 juta. Kontrak pembelian tersebut adalah tanda pengesahan pembelian ketiga selama dua tahun terakhir ini -- yang keseluruhannya berjumlah œ 180 juta. Tidak seperti kontrak sebelumnya, pengadaan rudal pelindung (antara lain kawasan industri dirgantara, Ibu Kota Jakarta, proyek perminyakan di Kalimantan Timur) kali ini akan melibat dua perusahaan lokal: IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) dan RFC (Radio Frequency Communication). Kepada Agung Firmansyah dari TEMPO, di Bandung, akhir pekan lalu, Menristek/Ketua BPPT, B.J. Habibie, mengonfirmasikan rencana tersebut. "Pihak RFC akan menyelesaikan perangkat elektronik rudal tersebut. Sedang pembuatan motor, badan, dan sayap rudal serta final assembly akan diselesaikan di IPTN," katanya. Menurut perhitungan Habibie, berdasarkan pengalaman membuat dua macam pesawat dan empat jenis helikopter, pembuatan rudal tersebut tidak menyebabkan IPTN harus memperbanyak tenaga ahlinya, yang sekarang berjumlah sekitar 1.000 orang, dari 13 ribu karyawannya. Lagi pula, bagian Rapier yang akan diproduksi oleh IPTN dan RFC itu adalah bukan komponen Rapier Laserfire -- pengembangan Rapier terbaru yang akan menggunakan perangkat laser dari Feranti sebagai pencari jejak otomatis. Sejauh ini BPPT masih melakukan negosiasi dengan pihak British Aerospace mengenal pembuatan bagian rudal antipesawat terbang itu. Karena itu, Habibie belum bisa mengungkapkan berapa besar bagian IPTN dan RFC maupun memastikan kapan awal produksi proyek Rapier ini. Secara keseluruhan IPTN dan RFC mendapat offset 35%-40% dari nilai kontrak pengadaan rudal Rapier ini. Menurut sumber TEMPO lainnya, nilai offset tersebut kelak bisa "ditinjau kembali" setelah proyek tersebut melewati learning period selama lima tahun. Perintisan sistem offset ini sebenarnya sudah diawali melalui rencana pembelian 12 pesawat tempur F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics, Amerika, untuk TNI-AU. Di satu pihak ada yang menginginkan Indonesia mengambil Mirage 2000 buatan Avions Marcel Dassault/Breguet Aviation, Prancis -- yang menawarkan offset senilai 30%. Akhirnya pertengahan tahun ini General Dynamics setuju dengan offset 35% dari kontrak US$ 337 juta berdasarkan angka Transfer of Technology Factors (TTF) 2,5. Dengan nilai tersebut IPTN dianggap mampu membuat komponen sayap ekor untuk 400 F-16 yang nantinya akan memperkuat jajaran angkatan udara Amerika Serikat (USAF). James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini