KELEMAHAN Aceh terbesar saat ini bukan terletak pada kondisi fisiknya yang centang-perenang, melainkan ketiadaan seniman. Selain Zakaria M. Passe, hampir tidak ada penduduk Aceh yang secara sungguh-sungguh menekuni bidang sastra. Ketiadaan seniman ini tidak menjadi masalah besar bagi masyarakat lainnya. Rendra, sang Panembahan Reso, boleh tidak muncul dalam masyarakat Jawa. Tapi, sekian puluh orang yang sekaliber Rendra bisa muncul dalam waktu bersamaan, lengkap dengan Pelawak Gepeng, Tarzan, atau Asmuni. Kalau masyarakat Aceh sangat sunyi dengan seniman, maka bagi masyarakat Minang, kematian Penyair Chairil Anwar tidak perlu ditangisi terlalu lama. Sebab, bukan saja kemudian muncul berbagai bentuk seniman tulen maupun partisan, tetapi juga, di dalam masyarakat ini, berkelahi pun harus mempunyai keterampilan berpantun. Berpantun atau bersajak bukan saja milik Taufiq Ismail atau Leon Agusta, atau Sutardji Calzoum Bachri -- penyair Riau yang sangat dipengaruhi alam kultural Minang -- tetapi juga oleh pemimpin politik besar seperti Natsir. Lewat corong radio PRRI sajak Natsir disiarkan sebagai balasan sajak Hamka, yang ditulis untuk Natsir pada akhir sidang Konstituante. Kelemahan Aceh terbesar saat ini bukan pada keterbelakangan pembangunan fisiknya, melainkan pada kurangnya rasa atau cita seninya. Aceh hanya memiliki penyanyi orkes gambus Ghazali Abbas, yang masih harus mengembangkan kekuatan ekspresinya. Dan, seudati, tari kebanggaan Aceh, hanya mengungkapkan gerakgerak yang sangat straight forward sifatnya. Sebuah tari tanpa daya gugah simbolisme yang mendalam. Masyarakat Aceh mungkin bukan sebuah masyarakat yang "kering". Setidak-tidaknya mereka masih memelihara rasa haru walau dalam kehidupan yang getir. Dengarlah pantun para tincu (kondektur) di sana awal 1960-an. "Toliiit tolii totot moto brok hana siwa ji jaak uu Meulaboh han ji wo le' u Kutaradja Pantun ini mengisahkan bis tua yang tak berpenumpang. Tertatih-tatih bergerak ke Meulaboh, dan kemudian tidak pernah kembali lagi ke Kutaradja. Sebuah sinisme yang getir, tapi juga kocak. Sebuah upaya menertawakan orang lain, dan sekaligus menertawakan diri sendiri. Dapatkah gejala "kekeringan" perkembangan kultural ini kita carikan jawabannya pada sejarah ? Masyarakat Aceh mungkin merupakan penggalan masyarakat Indonesia yang unik. Lebih dari separuh sejarahnya yang dikenal adalah sejarah tentang perang. Sepanjang kekuasaan kolonial, sepanjang itu pula perang kemerdekaan berlangsung. Bahkan, mungkin karena terlalu bersemangat, perang pun telanjur berlanjut sampai dua dekade setelah kemerdekaan. Perang, sebagaimana terjadi di mana pun, telah mengubah segala-galanya. Struktur kekuasaan, yang sebelumnya terkonsentrasi di tangan para sultan, akibat perang, terdistribusikan secara meluas. Raja, selama masa kalang kabut itu, bukan lagi pengendali kekuasaan. Kontrol atas kekuasaan rakyat telah beralih ke tangan-tangan para ulama, yang terpencar-pencar. Karena itu pula, otonomi masyarakat terbentuk lewat perang. Perang, bagi siapa pun, bukan suatu hal yang menyenangkan. Tidak terkecuali bagi masyarakat Aceh. Tapi, watak otonomi dan keinginan kuat membela kehormatan, tidak menemukan ungkapan yang paling tepat, selain daripada perang. Maka, perang bukan suatu medan yang dahsyat, melainkan wadah untuk mengartikulasikan kehormatan diri. Maka, seorang wanita Aceh -- yang menurut Eros Djarot jauh lebih kesatria dibandingkan lelaki Aceh -- lebih memilih menusuk bayinya dengan rencong, agar ia lebih leluasa menderu ke medan laga. Watak otonomi dan keinginan kuat untuk membela kehormatan inilah yang menyebabkan perang menjadi medan pertaruhan segala-galanya. Karena itu, segala kekuatan dimobilisasikan. Dan kreativitas intelektual dalam bidang budaya berkembang lewat perang. Dalam masa-masa itulah hikayat Perang Sabi, yang menggetarkan itu tercipta. Suatu hikayat yang mempunyai daya imbau massif, dan mengubah perang menjadi sekadar medan artikulasi kepahlawanan. Perang, lewat hikayat ini, tidak lagi hal yang menggetarkan. Melainkan telah menjadi panggilan: Bangkitlah saudara, para pahlawan Usai perang, janganlah lalai Suling, tambur serta genderang Manfaatkan apa pun sampai berhasil Hai adik, wahai abang serta tentara saudara janganlah kita duduk lagi nyawa, tubuh dan harta segera kita beri, terus kita korbankan tetapkan hati dengan sungguh-sungguh sorak bergetar hal pahlawan demi kita pahlawan gagah kita mandi darah hanya pada waktu perang Nyanyian dengan irama yang bersemangat ini lebih merupakan imbauan total ke medan perang. Darah yang mengalir bukan lagi pemandangan ngeri, melainkan sebuah kesempatan. Ta manou darah cit bak masa prang (kita bermandikan darah hanya pada masa perang). Tapi semangat perang yang kelewat konsisten ini harus dibayar mahal oleh masyarakat Aceh. Bukan saja karena lembaga-lembaga pendidikan menjadi hancur, atau anak-anak terbaik Aceh satu demi satu berguguran, tetapi juga Aceh, untuk jangka waktu tertentu mengalami keterlambatan perkembangannya. Maka, yang tersisa bagi Aceh setelah kemerdekaan, juga setelah Orde Baru, hanyalah kebanggaan sejarah. Cap Aceh sebagai "daerah modal", seperti pernah diungkapkan Soekarno, semakin meneguhkan rasa kebanggaan sejarah ini. "Masyarakat Aceh", demikian hampir setiap anak Aceh merasakannya, "adalah satu-satunya masyarakat yang tidak pernah merasa dijajah". Suatu kebanggaan yang tidak terlalu perlu diperpanjang. Sebab, konsentrasi dan mobilisasi kekuatan untuk memenangkan perang telah melumpuhkan kreativitas budaya. Maka, masalah pokok di Aceh bukanlah pembangunan fisiknya, melainkan pembangunan kultural. Suatu usaha mencairkan sikap kaku dalam budaya. Ujung tombak pencairan ini rasanya tidaklah terletak di tangan para teknokrat, melainkan pada kaum seniman dan budayawan. Ironisnya, justru kelompok inilah yang merupakan barang langka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini