LAMBAIAN kanguru dari selatan terasa kian membujuk. Siapa saja, dalam jumlah berapa pun, sepertmya ditanggung bisa diterima menjadi siswa atau mahasiswa di sekolah atau perguruan tinggi di Australia, baik swasta maupun negeri. Bahkan, belum lama ini, staf Menteri P dan K Australia berkunjung kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Utusan itu membicarakan soal terbukanya kesempatan yang amat luas bagi pendatang yang ingin melanjutkan studi di sana. Tamu-tamu itu menawarkan berbagai kemudahan. Misalnya saja, siswa atau mahasiswa yang datang dari Indonesia bisa hanya membayar 25% dari biaya total. Australia tampaknya ingin mengikut jejak Amerika Serikat. Sebelum ini, Australia begitu selektif menerima siswa atau mahasiswa Asia, tapi sekarang justru lembaga-lembaga pendidikan di sana seperti menawar-nawarkan bangku kosong. Di Negeri Kanguru, salah satu yang menjadi incaran adalah University High School di Melbourne. Ini sebuah sekolah menengah negeri, dan pelajar asing yang diterima di sini, praktis, terbebas dari biaya pendidikan. Malah akan mendapatkan subsidi, hingga yang harus ditanggung hanyalah biaya hidup sehari-hari. Berdiri pada 1910, kini 1.000 siswa berasal dari 38 negara belajar di sini. "Sekolah ini benar-benar multikultural. Hebat, 'kan?" tutur Rick Benson, pimpinan sekolah, kepada Dewi Anggraini dari TEMPO. Semula sekolah menengah ini hanya untuk menampung anak-anak karyawan dan dosen Universitas Melbourne, itu sebabnya gedung dibangun persis di seberang gedung universitas. Bagi siswa dari Indonesia, untuk bisa diterima di sini antara lain mesti lulus tes bahasa Inggris di Kedubes Australia di Jakarta. Lulus tes, masih diharuskan bisa masuk peringkat yang ditentukan, sebelum akhirnya bisa dikirim ke Melbourne. Jalur lain menuju Negeri Kanguru adalah meminta jasa baik Edlink Overseas Education Consultans. Yang ini memang membutuhkan ongkos. Dengan A$ 75 atau Rp 80.000 urusan pendaftaran ke perguruan tinggi yang dikehendaki bisa dibereskan. Satya Dharma Likasa, pimpinan Edlink di Jakarta, menjamin siapa saja bakal bisa diterima. "Asal saja bahasa Inggrisnya jangan kelewat jeblok," katanya kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Tak bedanya dengan di AS, hampir semua bidang studi tersedia. Dari ilmu sosial, sastra sampai fisika, dari olah raga sampai nuklir. Dari tingkat sekolah menengah, program satu tahun, sampai doktor. Dari yang bisa memberikan beasiswa, sampai yang harus membayar A$ 14.000 setahun, tergantung bidang studi yang dipilih. Sedangkan untuk biaya hidup, diperkirakan sekitar A$ 55 sebulan seorang. Lalu, apa kelebihan tawaran dari selatan ini? Menurut Satya Dharma, dengan nada promosi, belajar di Australia jatuhnya lebih murah sampai 30% dibanding dengan belajar di AS. Ini karena jarak ke Australia jauh lebih dekat, dan gaya hidup di benua baru ini pun tak semeriah di Negeri Paman Sam. Sejak April lalu, menurut Satya Dharma sudah 70 calon mahasiswa yang dia berangkatkan. Bagi Umar Nimra dan Aris Widodo, keduanya kini sedang menyelesaikan program pascasarjana di Melbourne, hidup di sana cukup menyenangkan. Dan yang menyebabkan mereka kerasan di negeri orang, makin banyak pula dewasa ini, toko-toko yang menjual makanan atau bahan makanan khas Indonesia. Yang kini masih agak sulit dicari jawabnya yakni perihal mutu pendidikan di Australia. Sulit untuk menentukan apakah mutunya lebih baik, sama, atau lebih buruk dibandingkan di AS. Dan, seperti juga di AS, sejumlah lembaga pendidikan yang dianggap top memang swasta. Artinya, lebih membutuhkan biaya. University High School di Melbourne itu, yang bisa memberikan pendidikan gratis, sebenarnya, ya, sedang-sedang saja mutunya. Edlink pun belum tentu menjamin mencarikan sekolah bermutu. Lembaga itu di Australia berindukkan pada yang disebut Australian Trade Commission. Semboyan mereka memang gagah. "Kami punya berbagai fasilitas, mestinya bisa digunakan negara-negara lain termasuk Indonesia," kata Bill Vaughn dari lembaga itu, yang mengirimkan para juru "kampanye sekolah di Australia" ke Indonesia pertengahan bulan lalu. Sebab, seperti diakui oleh lembaga itu, mereka akan menyesuaikan bukan saja kemampuan akademis calon siswa atau mahasiswa, tapi juga kemampuan finansialnya. Yang jelas, menurut laporan koresponden TEMPO di Australia, persaingan belum sekeras kalau mau belajar di Amerika. Kenyataannya, setidaknya dalam periode April-September tahun ini, minat menuju Benua Kanguru menunjukkan kecenderungan meningkat. Dari hanya 11 yang berangkat pada bulan April, meningkat menjadi 98 pada bulan Desember. Dan dibandingkan minat pelajar Indonesia sekolah di negeri lain, kini ke Australia menduduki tertinggi nomor dua. Satu-satunya yang di atas Australia adalah AS, dengan jumlah yang memang masih jauh di atas: dalam lima bulan tersebut tercatat 1.000 siswa dan mahasiswa pergi ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini