SALAH satu hanggar Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Bandung, terbuka bersama raungan sirene, dan sebuah pesawat berwarna putih meluncur keluar perlahan-lahan ke tarmak. Itulah Tetuko CN235, produksi pertama IPTN, yang, awal pekan ini, diserahkan kepada pembelinya, Merpati Nusantara Airlines (MNA), dalam sebuah upacara yang megah. Dan MNA memberi nama pesawat itu Obira. Obira terbilang pesawat perintis di lingkungan armada MNA. Sebab, baru pada 1989 MNA menargetkan pemakaian CN-235 menjadi 15 buah. Pesawat CN-235 ini disiapkan untuk menggantikan pesawat Twin Otter dan Fokker F-27, yang akan memasuki "masa persiapan pensiun". Mengapa CN-235 ? Direktur Utama MNA Suratman mengemukakan bahwa pesawat produksi Airtech itu (perusahan patungan antara IPTN dan Casa, Spanyol) unggul bila dibandingkan dengan pesawat sekelas, seperti ATR-42 bikinan Prancis dan Dash-8 buatan Kanada. Kelebihan CN-235, antara lain, "Irit dalam penggunaan bahan bakar," kata Suratman. Selain itu, harga CN-235 cukup bersaing: US$ 6 juta. "Ini harga semestinya, bukan harga bantingan atau harga promosi," ujar Direktur Utama Airtech B.J. Habibie. Dengan harga itu, CN-235, menurut Habibie, yang juga Direktur Utama IPTN, ternyata cukup laku. Hingga saat ini sudah tercatat 40 pesanan. "Lima belas buah untuk Merpati, dan sisanya buat ekspor," tambah Habibie. CN-235 dipasarkan IPTN dan Casa berdasar pembagian wilayah. IPTN memasarkannya di lingkungan Asia Pasifik dan Australia, -- sementara Casa menjualnya di Eropa dan Amerika Latin. Timur Tengah dan Amerika Serikat merupakan wilayah bebas -- kedua pihak sama-sama berhak memasuki pasar itu. Amerika Serikat memang terhitung pasar yang menarik. Negara ini adalah pembeli pesawat terbang terbesar di dunia. Tiap tahun, tak kurang dari US$ 200 milyar mereka belanjakan untuk pembelian pesawat. Angka ini meningkat terus setiap tahun, sejalan dengan naiknya jumlah penggunaan pesawat, terutama untuk transportasi lokal, seperti commuter, yang merupakan sasaran IPTN. Harapan IPTN memasuki pasar Amerika Serikat, sejak awal Desember, menjadi semakin nyata. CN-235 mendapat sertifikat laik terbang dari Federal Aviation Agency (FAA). Dick Meyers, pejabat Hubungan Masyarakat FAA, di kantornya, di Seattle, AS, membenarkan bahwa CN-235 sudah mendapat sertifikat pada 8 Desember lalu. Ia mengutarakan bahwa hal itu dimungkinkan karena Spanyol dan Amerika Serikat terikat perjanjian bilateral. "Tapi sertifikat itu diberikan setelah diadakan penelitian yang mendalam dan lama," kata Meyers. "Dampak sertifikasi itu sangat besar bagi Indonesia, karena ini merupakan pengakuan internasional," ujar Habibie, penggagas awal Tetuko. Sebagian besar desain Tetuko CN-235, yang menelan biaya Rp 116,830 milyar, sampai pada pembuatan prototip memang dibuat di Indonesia. Di luar nilai tambah itu, IPTN masih harus berbagi keuntungan dengan banyak pihak dalam proses produksinya. Misalnya mesin CN-235, Turboprop CT7-7A, yang meliputi 30% dari harga pesawat, buatan General Electric. Avionik dan landing gear juga dibuat di luar Airtech. Selain ketiga komponen penting itu, sisanya adalah bagian Airtech. Kokpit, bagian depan pesawat, dan bagian dalam sayap utama dibuat oleh Casa bagian luar sayap dan bagian belakang pesawat dikerjakan IPTN. Nilai produksi masing-masing 50%. Menurut Direktur Produksi IPTN Sutadi Suparlan, keuntungan IPTN lumayan besar. Industri pesawat terbang yang menggunakan teknologi canggih memang bisnis yang memungkinkan loncatan-loncatan keuntungan. Ia mempercontohkan naiknya nilai harga aluminium dalam proses produksi itu. "Harga aluminium yang kita impor untuk pembuatan badan pesawat US$ 0,50 per kilo, setelah jadi pesawat nilainya bisa mencapai US$ 6.000 per kilo," katanya kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Marjin keuntungan ini masih terus akan ditingkatkan di masa mendatang dengan mencari komposisi material baru yang lebih rendah biaya pengolahannya daripada aluminium. Untuk itu IPTN merencanakan membangun Composit Center. Sejauh ini, semua asembling akhir CN-235 dilakukan di IPTN. Ini membuat jumlah jam kerja IPTN, dalam kaitan menghidupkan industri dan nilai tambah, lebih besar daripada Casa. Namun, bila pesanan Amerika Serikat -- menyusul sertifikasi -- masuk melalui Spanyol, asembling akhir akan dilaksanakan di Casa. Seperti dua pesawat, dari empat buah pesanan Arab Saudi yang akan segera dikirim setelah sertifikasi FAA, menjalani asembling akhir di Spanyol. IPTN berusaha mempertahankan jumlah jam kerja itu, khususnya menghadapi pasar Amerika Serikat. Karena negara ini merupakan pasar bebas dalam pembagian wilayah pemasaran Casa-IPTN, ada kemungkinan pesanan masuk melalui Indonesia. Bila ini terjadi, hak asembling akhir ada pada Indonesia. Untuk ini, Habibie merencanakan membangun perusahaan patungan IPTN Casa dan perusahaan Amerika Serikat. Modal dan keuntungan untuk ketiga perusahaan itu sudah disusun. Tapi nama perusahaan patungan itu belum dipastikan. "Ini semua untuk mengintensifkan pemasaran CN-235 di Amerika," ujar Habibie. Habibie optimistis Tetuko akan laku di pasar Amerika. Salah satu kelebihan fisiknya, CN-235 memiliki pintu belakang seperti pada pesawat Hercules. "Ini yang dibutuhkan transportasi angkutan umum dan satuan angkatan udara," ujar Habibie. "Untuk commuter bisa membawa container." Dalam pembagian keuntungan hasil penjualan CN-235 di mana pun, menurut Habibie, tak ada masalah. Semua pesanan masuk ke Airtech, dan pembagian keuntungan akan didasarkan pada pemilikan saham Casa dan IPTN, yang masing-masing 50%. "Soal ini sungguh-sungguh tidak menimbulkan masalah," katanya. Jim Supangkat Laporan Putut Tri Husodo (Jakarta) & A. Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini