Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kehidupan di ruang angkasa yang terbebas dari gravitasi bumi bukan lagi cerita di buku-buku science fiction. Itulah masa depan, dan ilmu pengetahuan mempersiapkan hal ini dengan serius.
Sejak pertengahan bulan lalu, NASA, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, mempersiapkan sebuah kehidupan di bulan. Melalui proyek pesawat antariksa milik Google, Moon Express, NASA akan membawa beberapa tanaman untuk diuji coba hidup di bulan dalam wadah yang telah dikondisikan.
Misi ini akan diluncurkan pada 2014. Jika sukses, inilah misi pertama yang membuktikan: tak mustahil manusia bercocok tanam di luar bumi. Menurut NASA, tanamÂan di bulan itu akan menghasilkan oksigen dan ini diharapkan akan menyemai materi kehidupan lainnya. Mereka memilih lobak, kemangi, dan arabidopsis yang akan ditanam dalam wadah kecil dalam eksperimen ini—tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi lingkungan kurang-lebih setingkat manusia.
"Jika tanaman-tanaman itu bisa bertahan dan tumbuh, manusia pun mungkin bisa," demikian menurut NASA dalam situsnya.
Lain Amerika, lain pula Jepang. Lembaga Antariksa Jepang (JAXA) lebih banyak menaruh perhatian pada aspek reproduksi. Mereka mengirim sampel spermatozoa tikus yang telah dibekukan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (International ÂSpace Station/ISS). Setelah menginap cukup lama, sel-sel kelamin jantan itu akan dikirim kembali ke bumi untuk dibuahi melalui proses mikroinseminasi.
Percobaan ini untuk melihat tingkat kesuburan sperma manakala berada di ruang angkasa—terutama efeknya terhadap radiasi, laju kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA), dan kemampuan membuahi sperma tersebut.
Di sini, ilmuwan Jepang ingin memahami bagaimana kehidupan jangka panjang di ruang angkasa dapat mempengaruhi manusia. Percobaan ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pelestarian plasma nutfah di lingkungan yang keras seperti di ruang angkasa dan bulan.
Baru-baru ini, JAXA menggandeng beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, bergabung dalam program penelitian biologi ruang angkasa yang diberi nama Space ÂSeeds for Asian Future (SSAF). Sesuai dengan namanya, program ini menguji coba penanaman biji-bijian di dalam modul Kibo milik JAXA. Kibo adalah fasilitas eksperimental ISS yang dibangun oleh Jepang. Kibo telah digunakan sejak 2008 untuk melakukan percobaan penyelidikan efek gravitasi menggunakan tanaman atau medium organisme lain untuk pengembangan teknologi masa depan.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)—bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung—mewakili Indonesia. Program SSAF pertama dilakukan pada 2011 dengan uji coba biji tomat yang dikumpulkan dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Benih biji tomat dikirim ke modul Kibo dan dikembalikan ke bumi setelah beberapa bulan. Tujuannya untuk membandingkan respons tanaman terhadap minimnya gaya gravitasi atau mikrogravitasi dengan pertumbuhan tanaman di bumi.
INDONESIA, dengan segala keterbatasannya, melakukan percobaan di laboratorium. Di kampus ITB, mengandalkan klinostat—mesin yang sanggup menurunkan gravitasi mendekati nol—para ilmuwan mengamati pengaruh mikrogravitasi terhadap perkembangan biji-bijian dan pertumbuhan tanaman.
Klinostat tak bisa dibilang sederhana. Alat bikinan ITB dan Lapan ini berbentuk rangka besi. Dudukannya bercat biru dengan empat roda. Tepat di bagian tengah atas rangka itu terdapat sebuah bingkai aluminium berukuran 60 x 60 sentimeter. Di bagian dalam bingkai itu ada lagi benda serupa berukuran 46 x 46 sentimeter dengan lempengan berlubang-lubang.
Masih ada sebungkus biji kacang yang terikat di papannya saat Tempo melihat mesin itu yang sedang diam tak bekerja, minggu lalu. "Kacang itu bekas riset yang belum dibereskan," ujar Chunaeni Latief, profesor riset Lapan bidang lingkungan atmosÂfer dan aplikasinya.
Ketika Chunaeni menghidupkan alatnya, bingkai itu saling berputar tanpa bertabrakan. Bingkai terluar yang paling besar berputar vertikal atau atas-bawah, sedangkan bingkai kecil di dalamnya berkisar horizontal. Kecepatannya 3 detik per putaran. Idealnya, kata Chunaeni, mesin itu berkecepatan lebih lambat, yaitu 8 detik per putaran. "Kalau diperlambat, bisa juga, tapi putarannya jadi tidak stabil."
Walau begitu, kinerja mesin ini bisa diandalkan. Sesuai dengan rencana perhitungan, klinostat sanggup menurunkan gaya tarik bumi hingga 10 pangkat minus 6 (mikrogravitasi). "Sebelum dibuat, sudah disiapkan dulu hitungannya sesuai dengan rumus," ujarnya. Biaya pembuatan mesin itu berkisar Rp 3-10 juta.
Baru-baru ini JAXA meminta tim riset ITB dan Lapan memverifikasi biji kacang azuki (Vigna angularis). Jepang sendiri membawa 18 biji kacang itu ke modul Kibo di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Sedangkan di Bandung, 5 biji kacang azuki ditanam di wadah tanam. Percobaan ini masih bagian dari program SSAF JAXA, yang dilaksanakan sekitar Agustus 2013.
Dari foto-foto yang diperlihatkan kepada Tempo tapi dilarang dipublikasikan, biji kacang yang ditanam dalam sepekan di Bandung tumbuh normal dengan semua batang tegak dan berdaun. Adapun kacang di luar angkasa dengan kurun yang sama tumbuh abnormal. Tiga batang yang paling dekat dinding tumbuh berdiri dan panjang. Belasan lainnya rebah ke berbagai arah dan saling mengait seperti rambut kusut.
Kondisi tanaman itu persis seperti beberapa kecambah hasil uji coba dengan klinostat di Bandung sebelumnya. Menurut Rizkita Rachmi Esyanti, kecambah itu diputar-putar mesin klinostat selama tiga hari terus-menerus dalam kondisi kedap cahaya dan tanpa sumber air. "Hasilnya, batang kecambah muntir-muntir, begitu juga akarnya ada yang ke atas ke mana-mana," kata dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB itu.
Menurut pengajar faal tumbuhan ini, tanaman mempunyai reseptor atau sensor. Akarnya otomatis akan bergerak mencari sumber air, sedangkan batangnya mengarah ke sumber cahaya matahari. Ketika akses air dan cahaya itu ditutup, apalagi dengan gravitasi minimal yang dihasilkan putaran klinostat, tanaman berusaha mencari ke segala arah. Hasilnya bentuk serabutan seperti itu.
"Cahaya mempengaruhi pergerakan hormon tumbuhan. Itu jauh lebih besar kekuatannya daripada gravitasi," ujarnya. Dengan kata lain, gravitasi bukan penentu satu-satunya pertumbuhan tanaman.
Batang yang bengkok, tidak lurus tegak, karena karbohidrat dalam tanaman juga ikut pusing tanpa gravitasi seperti di bumi. Karbohidrat itu, kata Rizkita, berkumpul di batang dan akar. Tumbuhan punya sifat automorfogenesis, yang dengan dorongan hormon mampu membentuk bagian akar, batang, dan daun secara otomatis. Produksi hormon auksin yang berfungsi mengatur pemanjangan sel, misalnya, ikut kacau dalam kondisi gravitasi rendah, sehingga ada sel yang membesar dan membengkokkan batang.Â
Tujuan jangka panjang riset ini untuk mengetahui perilaku tanaman dengan tingkat gravitasi rendah. Riset bersama peneliti se-Asia-Pasifik ini memang baru berfokus pada tumbuhan. Meskipun kehidupan di luar bumi belum bisa terealisasi dalam waktu dekat, Kepala Pusat Sains Antariksa Lapan Clara Yono Yatini tetap optimistis suatu hari manusia dapat hidup di ruang angkasa. Sayangnya, Indonesia, kata dia, memang masih tertinggal dibanding negara lain yang lebih maju dalam hal riset antariksa.
Menurut Clara, pemerintah Indonesia belum menganggap riset antariksa sebagai prioritas. Ini pula yang menyebabkan Indonesia belum bisa mencetak astronaut dan dikirim ke ISS. "Padahal negara tetangga seperti Malaysia saja sudah bisa kirim orang untuk ISS," ujarnya.
Anwar Siswadi (Bandung), Mahardika Satria Hadi, Rosalina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo