Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kembali ke Emas Hijau

Sejumlah arsitek Indonesia dan dunia kembali menengok bambu sebagai bahan bangunan karena dapat menggantikan kayu. Ramah lingkungan dan mudah dibudidayakan. Siapa saja mereka?

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasir di sepanjang Pantai Duduk, Senggigi, Lombok, sudah mulai dingin. Matahari mulai turun dari peraduannya, menciptakan semburat kuning kemerahan. Di sepanjang pantai itu, 50 instalasi bambu karya 50 kelompok dari berbagai negara dipajang dalam Festival Arsitektur Bambu Internasional Lombok, pertengahan Desember lalu. Ada yang membuat bambu sebagai shelter, ada pula yang membuat instalasi bangunan yang menonjolkan teknik sambungan bambu untuk gedung pencakar langit. Ingemar, perupa dari Rusia, memamerkan instalasi lekukan bambu berbentuk ombak bergulung. Adapun Christoph Tonges memamerkan teknik sambungan bambu menggunakan alat seperti tutup botol plastik.

Karya-karya itu dipilih oleh tim kurator Indonesia (arsitek Budi Pradono, perancang panggung Jay Subiakto, kurator seni rupa Asmudjo Jono Irianto) serta Christoph Tonges dari CONBAM-Advanced Bamboo Application, Jerman, dan akan menghiasi pantai selama tiga bulan. Ada pula beberapa karya arsitek ternama yang diundang khusus, seperti Takeru Shoji (Jepang), Pitupong Chaowakul (Thailand), Vo Trong Ngahia (Vietnam), Dirk E. Hebel (Singapura), dan Eko Prawoto (Indonesia). "Dapat dibilang ini festival bambu pertama di dunia dan pemrakarsanya adalah Indonesia," kata Budi Pradono, Ketua Pelaksana Festival Bambu.

Festival ini seakan-akan menjadi puncak dari gerakan kembali ke bambu yang dilakukan sejumlah arsitek beberapa tahun belakangan. Bambu kini dianggap para arsitek sebagai "emas hijau" karena berbagai kelebihannya. Hal ini menarik perhatian kami, yang tiap tahun memilih tokoh arsitektur Tempo.

Melihat kuatnya gerakan arsitektur bambu ini, kami memilih tema bambu sebagai fokus pemilihan tokoh. Untuk mendapat masukan informasi, kami mengundang Pon S. Puradjatnika, arsitek dan Ketua Komunitas Cinta Bambu, dan mewawancarai arsitek Avianti Armand.

Dalam diskusi pada pertengahan Desember itu terungkap bahwa banyak arsitek yang kini berpaling ke bambu karena alam sudah tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan yang cukup untuk manusia, seperti kayu, besi, dan beton, untuk bangunan. Harga besi dan beton juga semakin mahal dan beberapa tahun ke depan diperkirakan tidak lagi dapat dibeli oleh kalangan menengah ke bawah. Di Papua saja, semen kini sudah dijual Rp 1 juta per sak.

Bambu jadi pilihan karena alam Indonesia menyediakan berbagai jenis pohon bambu. Untuk bahan bangunan ada bambu betung, haur, tutul, gombong, dan hitam (wulung). Ada wulung putih untuk angklung dan alat musik. Bambu juga dapat diolah menjadi makanan, perabot, tekstil, obat-obatan, dan kerajinan, seperti tas dan mainan.

Tanaman bambu juga ramah lingkungan, mudah dibudidayakan, sudah dapat digunakan pada umur 3-5 tahun, menghindari erosi, memperbaiki kandungan air tanah, dan dapat diperbarui. Tanaman ini memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia, yang bahkan dapat tumbuh 100 sentimeter dalam 24 jam. Tapi pada umumnya pertumbuhannya 3-10 sentimeter per hari. Untuk kepentingan arsitektur, bambu unggul karena lebih kuat daripada kayu dan lentur, sesuatu yang tak dimiliki baja dan beton.

Di berbagai belahan dunia, bambu sudah dipakai sebagai bahan utama pembangunan gedung besar, seperti atap bandar udara Spanyol; Jembatan Jenny Garzon di Bogota, Kolombia; dan Great (Bamboo) Wall, rumah-rumah hunian karya Kengo Kuma di Beijing, Cina. Di Indonesia pun bangunan bambu sudah muncul, seperti Green School Bali dan Restoran Racik Desa di Garut.

Dalam diskusi internal redaksi, yang terdiri atas anggota redaksi yang biasa meliput, menulis, dan menyunting tulisan arsitektur serta gaya hidup, kami bersepakat mengangkat tema bambu. Namun, dalam pemilihan tokoh, kami menghadapi persoalan. Gerakan bambu, meski sudah melahirkan bermacam karya, belum melahirkan banyak tokoh. Mereka yang terlibat memiliki spesialisasi masing-masing dan mengembangkan diri menurut minatnya. Misalnya, ada tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan teori tentang bambu atau tokoh yang khusus memelihara teknik tradisional arsitektur bambu.

Akhirnya kami bersepakat memilih dua bangunan bambu monumental sebagai karya arsitektur tahun ini. Pertama, Rangon Seni Rancamaya, amfiteater seluas seribu meter persegi di Kampung Rancamaya, Bogor Selatan, Jawa Barat, karya Baskoro Tejo dan Pon S. Puradjatnika. Baskoro Tejo adalah arsitek kelahiran Semarang pada 1956 yang menggali ilmu di Institut Teknologi Bandung; Poly University New York, Amerika Serikat; dan Osaka University, Jepang. Bersama perupa Sunaryo, dia merancang Selasar Sunaryo Art Space, kompleks gedung seni rupa penting di Bandung. Adapun Pon S. Puradjatnika adalah arsitek dari Universitas Parahyangan Bandung dan mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Barat. Kedua, Great Hall Outward Bound Indonesia di dekat Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, karya Andry Widyowijatnoko. Andry adalah arsitek dan dosen Institut Teknologi Bandung yang pernah memperdalam ilmu bambu selama dua bulan di Kolombia.

Bangunan besar membutuhkan penanganan khusus pada bahan bambu dan teknik khusus pula pada sambungannya. Hal itulah yang membuat bangunan besar penting, karena ia akan menguji kekuatan bambu sebagai bahan konstruksi.

Namun kami juga menyadari bahwa "kembali ke bambu" adalah gerakan yang melibatkan banyak orang. Untuk itu, kami perlu menyebut sejumlah tokoh lain. Budi Pradono pantas disebut. Selain membuat Festival Bambu terselenggara dengan baik, dia adalah pengajar di beberapa universitas dunia, seperti Eidgenössische Technische Hochschule Zurich. Dia beberapa kali diundang untuk membuat instalasi bambu dalam pameran besar di Indonesia dan dunia. Karyanya yang paling terkenal adalah Flora Building dan Pure Shi Shi Lin Exhibition Space di Taiwan. Karya lainnya adalah Pori-Pori House di Jakarta.

Undagi Jatnika Nagamiharja adalah tokoh bambu yang khusus memelihara teknologi tradisional. Dia sangat paham teknologi bambu dan banyak bangunannya yang memakai teknik sambungan tradisional meskipun bentuk bangunan sudah modern. Rumahnya di Bumi Cibinong Endah, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dibangun sepenuhnya dari bambu dan menjadi tempat tinggal sekaligus bengkel dan "museum" bambunya. Jatnika sudah membangun 3.000 lebih rumah bambu berbagai tipe di Indonesia dan di luar negeri.

Budi Faisal adalah arsitek lulusan ITB yang kini mengajar di almamaternya. Dia mendalami arsitektur di University of Colorado, Amerika Serikat, dan tata kota di University of Melbourne, Australia. Dia tertarik pada bambu dan mulai memberi pelatihan serta kuliah tentang bambu di Jerman dan Malaysia. Dia juga membangun Eco Bamboo House, rumah tinggal yang terletak di Eco Pesantren Daarut Tauhiid, Kampung Pangsor, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Rumah modern itu dibangun dengan elemen utama bambu.

Pilihan-pilihan kami ini mungkin masih jauh dari sempurna, tapi gagasan tentang "kembali ke bambu" pantas dikedepankan sejak sekarang. Apa yang mereka lakukan juga belumlah sempurna. Masih ada beberapa pekerjaan rumah, terutama riset teknologi, yang harus melibatkan pemerintah dan pihak lain untuk mengembangkan bambu hingga benar-benar pantas digunakan sebagai bahan bangunan pengganti kayu dan beton dalam skala massal.


Tim Tokoh Arsitektur Tempo 2013

Penanggung jawab: Nugroho Dewanto
Kepala proyek: Sorta Tobing
Penyunting: Nugroho Dewanto, Kurniawan Penulis: Kurniawan, Cheta Nilawaty, Sorta Tobing Penyumbang bahan: Risanti (Bandung) Bahasa: Sapto Nugroho, Iyan Bastian Foto: Nita Dian, Jati Mahatmaji, Ijar Karim Desain: Rizal Zulfadli, Eko Punto Pambudi Digital imaging: Anindyajati Handaruvitri Andry Widyowijatnoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus