Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
DALAM rentang 14 tahun, sejak Pemilihan Umum 1999, demokrasi Indonesia telah bermetamorfosis secara cepat. Gejala yang tampak di permukaan adalah semakin menyurutnya pemilu sebagai arena terpenting pertarungan politik. Sebaliknya, arena-arena non-pemilu di panggung politik nasional dan lokal menjadi arena baru pertarungan politik untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.
Akibatnya, demokrasi Indonesia berkembang ke arah yang semakin elitis. Politik menjadi urusan para elite politik dan petinggi partai, sementara publik pemilih mencari cara sendiri untuk mengekspresikan aspirasi kepentingannya. Mari kita lihat metamorfosis itu dan implikasinya lebih jauh.
Memasuki 1999, sejumlah elite baru yang semula dieksklusikan pada zaman Orde Baru memasuki arena pemilu yang demokratis. Beberapa nama yang bisa disebut adalah Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid, yang berturut-turut menjadi orang nomor satu di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Di belakang ketiga tokoh ini, berbaris sekelompok besar massa pemilih yang kurang-lebih memiliki kepentingan berlainan. Megawati membawa kembali massa wong cilik memasuki gelanggang elektoral, Amien membawa kaum muslim modernis, dan Abdurrahman memboyong kaum nahdliyin.
Masuknya elite baru ke dunia politik formal ini menandai perubahan rezim yang semula berwatak eksklusif menjadi inklusif. Di tingkat elite mulai terbentuk sejenis poliarchy, yakni bentuk pemerintahan yang melibatkan sejumlah elite politik yang bersifat plural.
Di tingkat publik, mereka semula yang terasing secara politik, meskipun ikut pemilu di bawah Orde Baru, dibawa masuk ke wilayah politik elektoral ketika elite yang majemuk tersebut membangun koneksi dengan massa pemilihnya melalui sejumlah isu publik. Melalui isu-isu ini mobilisasi politik sampai ke tingkat akar rumput terjadi secara massif.
Isu yang mewakili ketegangan antara pusat dan daerah menjadi salah satu isu mahkota kampanye. Elite partai menjangkau pemilih dengan mengkampanyekan isu ini, dan mengaktifkan pembelahan sosial warisan kolonialisme yang lama terpendam karena represi politik Orde Baru. Sejak masa kolonial, Howard Dick (2002) sudah mengidentifikasi ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Pilihan politik yang diajukan partai-partai peserta Pemilu 1999 ke publik pemilih mengutub pada pilihan negara kesatuan dan federalisme—dengan variasi peristilahan otonomi daerah.
Isu pokok lain yang menjadi perdebatan di tingkat elite saat itu adalah tentang peran agama dalam politik pemerintahan. Piagam Jakarta diusung lagi, dan dengan itu elite partai serta partai peserta pemilu mengaktifkan pembelahan sosial lama antara kaum santri dan nasionalis. Ini juga pembelahan, yang menurut Ken Ward (1970), memiliki sejarah panjang sejak zaman kemerdekaan ketika santri dan nasionalis bersitegang dalam menilai siapa yang berkontribusi lebih besar terhadap kemerdekaan.
Isu kelas, meskipun tidak seterang isu kedaerahan dan isu agama, juga diaktifkan oleh para elite politik dalam menjangkau dukungan publik. Isu ekonomi kerakyatan, meskipun tidak murni bertumpu pada kaum buruh semata, muncul dalam kampanye-kampanye partai. Pemilu 1999, karena itu, memobilisasi kaum buruh yang terbentuk sejak awal Orde Baru sejalan dengan strategi industrialisasi yang berbasis substitusi impor yang dimulai pada 1970-an.
Empat belas tahun kemudian, persaingan politik berporos jamak ini memudar. Isu ketegangan pusat-daerah diselesaikan dengan munculnya undang-undang yang populer dinamai Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999 dan kemudian direvisi pada 2004. Sedangkan isu Piagam Jakarta diselesaikan dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat 2001 dengan dikalahkannya opsi Piagam Jakarta pada sidang tersebut. Adapun isu kelas dilunakkan dengan Undang-Undang tentang Tenaga Kerja Tahun 2003.
Dengan memudarnya isu-isu substantif ini, isu baru macam apa yang menautkan partai politik dengan para pemilihnya? Inilah problem yang muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dengan memudarnya isu-isu pokok dari perdebatan publik, yang terjadi kemudian adalah diskoneksi atau keterputusan antara elite partai dan partai politik dari massa pemilihnya.
Sepanjang Oktober-Desember 2013, buruh melangsungkan demonstrasi di parlemen dan Istana Negara, memblokade jalan-jalan, serta mengancam mogok. Tuntutan mereka menjalar dari urusan upah minimum, jaminan kesehatan, sampai ketidakpastian status buruh outsourcing atau alih daya. Bahkan mereka meluaskan jangkauan tuntutan dengan memasukkan isu tenaga kerja pembantu rumah tangga dengan tuntutan agar pemerintah segera mengesahkan rancangan undang-undang tentang pembantu rumah tangga.
Rangkaian peristiwa itu mengabarkan sejumlah hal. Kelompok buruh yang semakin terorganisasi memintas jalan parlementer dan berhadapan langsung dengan eksekutif di tingkat nasional ataupun lokal untuk menyatakan tuntutannya. Kabar lain: elite partai dan partai politik tidak menangani secara sistematis isu-isu perburuhan dan tidak memfasilitasi tuntutan kolektif kaum buruh dalam perdebatan publik, apalagi pada tawaran opsi-opsi kebijakan yang komprehensif.
Urgensi isu perburuhan semakin tinggi jika kita menimbang rencana penerapan pasar bebas Asia Tenggara pada 2015. Ketika bea masuk dihapus, lalu-lalang barang dan jasa akan memaksa restrukturisasi industri domestik, yang bakal membawa dampak langsung pada nasib kaum buruh, bahkan petani dan nelayan—tiga kelompok yang paling rentan terhadap proses liberalisasi perdagangan tersebut. Paling jauh, sejumlah politikus partai secara sporadis menyatakan bersimpati kepada kaum buruh, tapi tak memberi tawaran kebijakan. Hal yang sama terjadi pada konflik yang melibatkan kepentingan kolektif masyarakat, seperti konflik pertanahan dan pedagang kecil di berbagai kawasan.
Aktor kolektif lain, para pengusaha, juga memilih arena pertarungan di pengadilan, bukan di arena politik yang difasilitasi partai politik. Akhir Januari 2012, misalnya, ratusan ribu buruh menutup jalan tol Jakarta-Cikampek menyusul kemenangan Asosiasi Pengusaha Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan keluarnya putusan yang membatalkan surat keputusan kenaikan upah minimum regional 30 persen. Peristiwa ini hanya salah satu peristiwa yang mewakili tren baru dalam pertarungan politik di Indonesia. Tren umum yang berkembang setelah Pemilu 2009: pengadilan menjadi arena terbaru untuk pertarungan politik.
Justru yang jauh lebih sering muncul dalam konflik politik di arena pengadilan adalah para aktor politik sendiri. Dalam catatan Mahkamah Konstitusi, sejak 2009, jumlah sengketa pemilihan kepala daerah yang masuk ke sidang Mahkamah mencapai 583 kasus. Jumlah kasus terbesar terjadi pada 2010 dan 2011, yang mencapai 224 dan 131. Jumlah ini berkaitan dengan jadwal pilkada yang memuncak pada tahun-tahun tersebut. Secara rata-rata, per tahun jumlah kasus sengketa politik pilkada sebanyak 145. Bukan hanya pilkada, sengketa politik yang berkaitan dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan presiden pada 2009 juga sangat banyak: 657 kasus.
Tidak terbatas pada Mahkamah Konstitusi, kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memberi arena pertarungan politik baru bagi para elite politik. Pada usianya yang kurang dari dua tahun sejak dibentuk pada Juni 2012, DKPP telah menangani sengketa politik sebanyak 61 kasus.
Gelanggang pertarungan politik para elite bahkan merambah arena lain di lembaga otonom negara seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta kelak Otoritas Jasa Keuangan. Penelusuran transaksi dana partai politik oleh PPATK, misalnya, secara langsung akan mempengaruhi nasib politik mereka jika penelusuran itu berujung pada temuan aliran dana ilegal. Isu konflik dan upaya rekonsiliasi Peristiwa 1965 yang sedang ditangani Komnas HAM menjadi ajang tarik-menarik kekuatan politik berbagai elite. Sidang-sidang KPK pun menjadi medan pertarungan elite karena penyelidikan, penyidikan, tuntutan, dan dakwaan KPK membawa dampak politik pada politikus dan partai politik. Kelak, jika sudah berjalan, OJK akan menjadi medan pertarungan yang baru pula.
Pertarungan politik di arena-arena non-pemilu ini pada akhirnya adalah urusan yang sangat elitis dengan berbagai kerumitan prosedur beracara yang umumnya bersifat teknis. Dalam setiap proses pembuatan keputusan di arena-arena itu, tidak muncul pertanyaan sejauh mana pertarungan politik elite tersebut berkorespondensi dengan kompetisi programatis dan bertautan dengan aspirasi berbagai kelompok sosial sebagaimana yang muncul di arena pemilu. Perdebatan publik yang memuat gagasan besar kini menghilang. Karena itu, semakin riuhnya pertarungan politik di arena ini berarti semakin tinggi kecenderungan proses elitis politik di Indonesia. Upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan adalah urusan keterampilan teknis. Dan, secara cepat, perkembangan ini akan semakin membawa proses demobilisasi dan depolitisasi publik pemilih.
*) Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo