Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah dengan Hati

Ratna Megawangi mengembangkan model pembelajaran berbasis karakter bagi ratusan sekolah alternatif. Guru tak pernah menghukum siswa.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ritual itu dimulai setiap pagi. Sebelum pelajaran dimulai, selesai berdoa bersama, para siswa dan guru saling menceritakan warna hati mereka. Dian Ata, 27 tahun, ibu guru kelas III SD Karakter Cimanggis, Depok, Jawa Barat, membuka dengan bertanya kabar hari itu. Para siswa berebut mengacungkan tangan. ”Saya dulu ya, Bu. Hari ini saya merasa biru, saya kangen ayah lagi,” Achmad Bram Satriyo, 9 tahun, berseru.

Beberapa tahun terakhir, ayah Bram melanjutkan kuliah di Belanda. Melihat Bram murung, kawan-kawan kelas membesarkan hatinya. ”Sudahlah, kamu kan bisa menyusul ke Belanda,” kata Taufiq Aulia Ahmad, teman sebangkunya. Anak-anak lainnya mengiyakan. Bram pun mulai cerah. ”Iya. Lagian Belanda kan dekat sama Inggris, jadi aku bisa menonton Liverpool,” ujarnya.

Giliran Taufiq bercerita. Pagi itu hatinya berwarna merah dan kuning. ”Aku mimpi buruk semalam. Dikejar-kejar harimau,” katanya lesu. ”Makanya, ber-doa dulu sebelum tidur,” Dian Ata berpesan. Saling menyampaikan suasana hati tiap pagi sebelum pelajaran dimulai merupakan bagian dari pendidikan karakter yang menjadi ciri sekolah ini. Sementara sekolah lain mengutamakan menyampaikan pengetahuan, sekolah ini lebih berkonsentrasi membentuk karakter siswa.

Didirikan pada 2001, sekolah ini merupakan laboratorium Ratna Megawangi, 48 tahun, dalam mengembangkan model pendidikan holistik berbasis karakter. Model ini, menurut Ratna, jawaban atas sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan aspek kognitif ketimbang aspek kecerdasan emosi, sosial, motorik, kreativitas, imajinasi, dan spiritual.

Ratna, yang Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), menuding sistem itu menyumbang berbagai hal negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Tawuran pelajar kerap terjadi, korupsi merajalela, hedonisme dan pragmatisme menguat. ”Banyak anak ingin sukses secara instan dan mengabaikan kerja keras serta penghormatan terhadap nilai moral dan etika,” ujarnya.

Untuk menunjang pengembangan sekolah, Ratna bersama suaminya, Sofyan Djalil yang sekarang menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika, mendirikan Yayasan Warisan Nilai Luhur Indonesia atau The Indonesian Heritage Foundation (IHF). Awalnya, model pendidikan ini dikembangkan untuk anak-anak usia dini seperti TK atau prasekolah. Pembangunan karakter di usia itu (di bawah 7 tahun) memang sangat menentukan. Pembentukan otak di usia itu biasanya mencapai 90 persen.

Sayangnya, data pemerintah menyebutkan, hanya 15 persen dari 12,23 juta anak usia dini yang bisa bersekolah di TK. Maka, Ratna akhirnya mendedikasikan sekolahnya untuk warga miskin. ”Ini bukan sekolah formal, semacam TK alternatif,” ujar Rachma Dewi, Wakil Direktur Eksekutif IHF.

Ratna menamakan programnya Semai Benih Bangsa (SBB). Program ini melibatkan masyarakat. Guru-gurunya direkrut dari masyarakat sekitar. Mereka dididik sebulan untuk mengajarkan model pendidikan karakter yang ramah otak. ”Lokasi belajar SBB bisa di mana-mana, misalnya di garasi, teras, musala, balai desa, dan sebagainya,” ujar doktor bidang makanan dan nutrisi lulusan Tufts University School of Nutrition, Massachusetts, Amerika itu.

Program ini diuji-coba di tiga desa: Tapos, Cibungbulang, dan Sukasari, Bogor. Awalnya, 12 mahasiswa IPB direkrut dan dilatih untuk membimbing mereka. Kini sekolah itu telah berkembang di lebih dari 280 lokasi di seluruh Indonesia. Model sekolah juga diadopsi untuk program pengembangan masyarakat sejumlah perusahaan minyak seperti Exxon Mobil, Star Energy, dan Conoco. Ada juga yang didanai oleh pemerintah daerah seperti di Aceh Utara, serta sponsor-sponsor pribadi.

Di sekolah ini porsi pembentukan karakter menjiwai proses pembelajarannya. Ada 9 pilar karakter yang ditanamkan, semuanya bersifat universal. Dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya, tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian, kejujuran, hormat dan santun, kasih sayang; kepedulian dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, juga keadilan, kepemimpinan, baik dan rendah hati serta toleransi, cinta damai dan persatuan.

Penanaman karakter dilakukan dengan metode apersepsi setiap pagi. Untuk anak-anak TK serta SD kelas I dan II disampaikan melalui cerita dan gambar. Siswa kelas III ke atas mulai diajak mempercakapkan isi hati, mendiskusikan cerita, dan berbicara soal mimpi mereka di masa depan. ”Mereka diajak mengenali perasaan. Ini penting untuk mengelola emosi, belajar berempati, dan membangun kebersamaan,” kata Dian Ata.

Rumusan karakter tak hanya diaplikasikan dalam metode pengajaran, tapi juga kurikulum, dan diintegrasikan dalam satuan pelajaran. ”Kami memakai kurikulum 2006, hanya metode belajarnya dikembangkan sendiri secara active learning,” ujar Ratna.

Selama proses belajar, tak hanya iklim di tempat belajar yang dibina, tapi juga di keluarga. Misalnya dalam pengajaran tentang hormat dan santun. ”Orang tua juga diberi modul tentang apa-apa yang harus dilakukan di rumah. Misalnya mereka harus mengajar anak mengucapkan salam dan terima kasih,” kata Ratna.

Para orang tua murid bahkan ikut piket. Mereka membuka dan menyiapkan ruang kelas dan membersihkannya lagi begitu SBB selesai. Mereka pun ikut duduk di dalam kelas, mengikuti proses belajar walau tak berbicara. Sementara para siswa aktif bicara dan melontarkan pertanyaan kritis di kelas.

Mereka tak mengenal baju seragam. Pakaian seragam hanya dikenakan seminggu sekali saat berolahraga dan upacara bendera. Model pembelajaran pun menyenangkan. Pelajaran seperti matematika dan sains digelar di ruang terbuka. Para siswa diajak memahami luas ruangan atau besar sudut dengan menghitung panjang dan lebar alat perosotan. Atau memahami luas lingkaran dengan menghitung diameter pohon atau ban.

Tiap semester, mereka punya dua topik utama. Tiap topik berumur tiga bulan dan menjiwai seluruh pelajaran. Semester lalu, misalnya, siswa kelas III mendapat topik hutan tropis. ”Maka pelajaran matematika, sains, hingga bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, topiknya mengandung hutan tropis,” kata Dian. Di akhir semester, tiap anak harus mempresentasikan refleksi mereka di depan kelas dan membuat kliping bersama.

Lantaran menyenangkan, para siswa bersemangat sekolah hingga 8-11 jam sehari. Bahkan di saat libur pun mereka mau sekolah. ”Saat libur, ada alumni TK SBB di Tapos yang masih sering datang kembali,” kata Sri Lestari, 49 tahun, guru taman bermain SBB Tapos

Beberapa anak yang dulunya alumni TK Karakter dan melanjutkan ke SD lain belakangan bergabung kembali dengan sekolah ini. Mereka biasanya merasa tak cocok dengan sistem pembelajaran di sekolah baru. Salah satunya Taufik Aulia Ahmad.

Ia lulusan pertama TK Karakter. Begitu lulus, ia masuk sebuah SD Islam di kawasan Kelapa Dua, Depok. Belakangan ia kembali bersekolah di SD Karakter karena watak independennya bertabrakan dengan kawan-kawannya. ”Ia menjadi keras, penuntut, dan pembangkang. Sikapnya yang kritis itu juga kerap mengesalkan gurunya,” ujar Ratna Nur Hayati, ibu Taufik.

Taufik mungkin lebih betah dengan suasana sekolah karakter, tempat guru tak pernah menghukum murid. Bila ada siswa yang nakal, maka mereka diminta menenangkan diri. Ia diberi waktu menyendiri dan terpisah dari teman-temannya. Bila ada yang berkelahi, mereka diminta segera menuntaskan masalah sebelum masuk kelas. ”Tak ada hukuman, yang ada adalah konsekuensi atas sikap yang diambil,” ujar Rachma Dewi. Dan semua itu akan menjadi catatan dalam rapor para siswa.

Kini beberapa TK dan SD mulai melirik model pendidikan sekolah karakter. Mereka mengirim guru-guru ke pelatihan holistik di Jakarta. Ratna berharap jumlah sekolah dengan model ini tak cuma bertambah secara kuantitatif di berbagai penjuru Tanah Air. Tapi, yang terpenting, model pendidikan itu diterapkan di negeri ini untuk membangun kembali karakter bangsa.

Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus