Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PHARMAMAR SA tak asing bagi Masteria Yunovilsa Putra, peneliti pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sewaktu menempuh pendidikan doktoral di Università Politecnica delle Marche di Ancona, Italia, pada 2009-2012, ia pernah magang sekitar tiga bulan di perusahaan riset dan pengembangan farmasi yang bermarkas di Madrid, Spanyol, tersebut. Itu sebabnya ia mendapat informasi segera setelah sejumlah peneliti merilis laporan tentang potensi plitidepsin (Aplidin)—salah satu obat produksi PharmaMar—yang lebih ampuh daripada remdesivir dalam melawan Covid-19.
Riset tentang Aplidin dilakukan oleh 26 peneliti dari berbagai lembaga di Amerika Serikat, Spanyol, dan Prancis. Hasilnya dipublikasikan di jurnal Science edisi 25 Januari 2021 dengan judul “Plitidepsin has potent preclinical efficacy against SARS-CoV-2 by targeting the host protein eEF1A”. Masteria mengetahui perkembangan penelitian itu dari seorang kawannya di PharmaMar. “Saat ini kami memang sedang melakukan kolaborasi penelitian dengan PharmaMar, tapi fokusnya ke riset antikanker,” kata Masteria, Selasa, 9 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut The Observer, temuan ini merupakan terobosan dalam penanganan Covid-19. Selama ini, obat yang dipakai untuk mempercepat pemulihan pasien dari Covid adalah remdesivir, obat antivirus yang dikembangkan perusahaan biofarmasi Gilead Sciences Inc dari Amerika Serikat. Aplidin berasal dari biota laut yang hidup berkelompok yang disebut tunikata atau ascidian alias sea squirt (Aplidium albicans), yang ditemukan di perairan sekitar Pulau Ibiza, sekitar 500 kilometer dari Madrid, ibu kota Spanyol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aplidin, bersama deksametason, dipakai untuk pengobatan multiple myeloma atau kanker yang menyerang sel plasma di sumsum tulang. Aplidin sudah menyelesaikan uji klinis tahap I dan II. Kini obat itu masih menunggu persetujuan untuk pelaksanaan uji klinis tahap III di Eropa dan Amerika Serikat. “Di Amerika kan cukup ketat. Obat baru harus lebih bagus dan kuat dari obat yang lama,” ujar Masteria.
PharmaMar mulai menaruh perhatian pada Covid-19 setelah penyakit itu dinyatakan sebagai pandemi global. “PharmaMar mencoba memfokuskan ulang riset senyawa atau obat-obatan yang mereka punyai untuk dites sebagai antiviral bagi Covid-19,” tutur Masteria. Selain mengadakan riset di Spanyol, PharmaMar menggandeng Boryung Pharmaceutical di Korea Selatan untuk menguji Aplidin dengan virus SARS-CoV-2 secara in vitro menggunakan sel Vero (sel ginjal monyet) dan sel Calu-3 (sel paru-paru manusia). Hasilnya menunjukkan Aplidin lebih potensial dibanding remdesivir.
Dalam uji klinis tahap I dan II di Spanyol, Masteria menjelaskan, penggunaan Aplidin menunjukkan penurunan viral load (beban virus sebagai ukuran kerasnya infeksi virus) SARS CoV-2 pada pasien sebanyak 50 persen pada hari ketujuh dan 70 persen pada hari ke-15. Hampir 90 persen pasien yang menjadi subyek uji klinis tersebut mempunyai rentang beban virus dari medium ke tinggi.
Masteria menambahkan, awalnya PharmaMar tidak menguji Aplidin dengan SARS-CoV-2, melainkan dengan virus corona HCoV-229E. Karakter virus itu hampir sama dengan SARS-CoV-2. “Memang terbukti dengan in vitro dia menghambat pertumbuhan virus SARS-CoV-2 di paru-paru sel Vero, sel monyet. Kemudian mereka mengajukan permohonan uji klinis.”
Saat ini, dari informasi yang dimiliki Masteria, PharmaMar bekerja sama dengan Uni Eropa (Spanyol), Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Mereka mengajukan permohonan uji klinis tahap III di tiga negara tersebut. “Apakah sudah di Korea, saya kurang tahu. Tapi Amerika Serikat dan Spanyol sudah melakukan uji klinis. Saat ini mereka sedang menunggu hasilnya,” ucap Masteria.
Aplidiunm albicans di perairan Ibiza./Pharma Mar
Menurut Greenbaypressgazette.com, uji coba obat ini untuk Covid-19 bermula pada Maret 2020, setelah ilmuwan dari University of California, San Francisco, Amerika Serikat, dan kolega peneliti dari dua negara lain itu menggunakan pendekatan yang tidak biasa. Alih-alih menguji secara acak perpustakaan besar obat yang ada atau menargetkan protein utama dalam virus, seperti yang dilakukan kelompok penelitian lain, tim dari San Francisco itu justru berfokus pada protein manusia yang dibutuhkan virus.
Para ilmuwan kemudian mencari obat yang ada yang akan mencegah virus corona membajak protein manusia itu. “Ini didorong oleh data, bukan hanya penapisan obat secara acak,” kata Nevan Krogan, satu dari tiga pemimpin studi penelitian yang juga Direktur Quantitative Biosciences Institute di University of California, San Francisco.
Krogan mengatakan fokus pada manusia, bukan pada virus, menawarkan keuntungan kuat dalam perang melawan virus corona baru itu. “Jika Anda menargetkan protein manusia yang dibutuhkan virus, virus tidak akan pernah bermutasi jauh dari ketergantungan pada protein manusia itu,” ujarnya. Ketakutan bahwa virus dapat menggagalkan vaksin dan pengobatan dengan mutasi kian mendesak sejak ditemukannya varian baru SARS-CoV-2 yang secara signifikan lebih menular yang diidentifikasi di Inggris.
Ihwal cara kerja Aplidin, Masteria menjelaskan bahwa obat itu mengikat faktor elongasi gen eEF1A (eukaryotic translation elongation factor 1-alpha) dan menghambatnya mengikat protein-N sehingga mengganggu interaksi virus-protein manusia yang dibutuhkan virus. Dengan cara ini, virus tidak dapat bereplikasi di dalam sel sehingga penggandaan dan penyebaran virus SARS-CoV-2 terhambat.
Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati, mengatakan apa yang dilakukan para peneliti tentang Aplidin ini adalah pendekatan yang berbeda. “Saya kira ini memang berbeda, ya. Kalau obat antiviral menyasar virusnya, ini menargetkan inangnya,” tuturnya, Kamis, 11 Februari lalu. “Mungkin yang perlu menjadi perhatian adalah ketika terjadi hambatan terhadap eEF1A, apakah ada efek lain terhadap tubuh.”
Hal yang sama diungkapkan oleh David H. O’Connor dari Department of Pathology and Laboratory Medicine di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Ia menilai Aplidin memerlukan pengujian lebih lanjut pada orang-orang untuk mengetahui efektivitas dan kemungkinan efek sampingnya dengan lebih baik. “Obat itu bekerja cukup baik pada tikus dan penulis mengisyaratkan bahwa obat tersebut juga berpotensi melawan virus lain,” ucap O’Connor. “Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah obat itu akan memiliki manfaat klinis, tapi itu pasti membutuhkan uji klinis.”
Peneliti pada Division of Infectious Diseases and International Medicine di University of Minnesota, Amerika Serikat, Susan Kline, mengatakan, “Tidak umum memikirkan obat untuk menangani kanker digunakan juga untuk menangani virus.” Dia menjelaskan, meskipun “obat ini efektif dalam sel di laboratorium, kita tidak tahu apa pengaruhnya terhadap sel dalam tubuh manusia”. Kline juga memperingatkan bahwa obat yang digunakan untuk membunuh sel kanker dapat membahayakan sel manusia.
Masteria Yunovilsa Putra menambahkan, biota laut tunikata sebenarnya juga ada di perairan Indonesia. Namun itu tidak berarti kita bisa melakukan langkah serupa dengan PharmaMar karena obat Aplidin sudah dipatenkan. “Kecuali melakukan pencarian baru, dari biota sejenis tapi berbeda zat aktifnya,” ujarnya.
Penelitian semacam itulah yang sedang dilakukan Masteria dan kawan-kawannya di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Mereka berfokus pada penelitian produk hasil laut. Sebab, selain laut Indonesia luas, potensi kekayaan alamnya belum banyak dieksplorasi. Namun, Masteria menambahkan, penelitian dan pengembangan obat membutuhkan waktu yang panjang. “Riset dan pengembangan obat, termasuk di PharmaMar, bisa 15-20 tahun.”
ABDUL MANAN (THE OBSERVER, GREENBAYPRESSGAZETTE.COM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo