Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cara Erdogan Menguasai Kampus

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menempatkan orang-orangnya sebagai rektor. Mengendalikan kampus dan membersihkannya dari kelompok Fethullah Gullen.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Turki, Tayyip Erdogan meninggalkan kursinya untuk menyalami anggota Parlemen Truki, di Ankara, Turki, 10 Februari 2021. Reuters/Prsidential Press Office

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahasiswa Bogazici University memprotes penunjukan rektor baru mereka.

  • Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan penetapan rektor baru sudah sesuai dengan aturan.

  • Tekanan terhadap kampus membesar setelah upaya kudeta 2016 gagal.

DI sela-sela kesibukan belajar, Azelya Celik bergabung dengan ratusan rekannya yang berunjuk rasa di Bogazici University, Istanbul, Turki. Lebih dari sebulan mahasiswi jurusan biologi molekuler itu ikut memprotes Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang menunjuk sekutunya, Melih Bulu, sebagai Rektor Bogazici. Para mahasiswa dan anggota staf kampus menilai keputusan Erdogan itu tidak demokratis dan melanggar kebebasan akademik universitas berusia 158 tahun tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para demonstran mendapat dukungan dari masyarakat, yang menambah ramai aksi protes dengan memukul-mukul panci dan wajan dari balkon rumah mereka. Beberapa kali demonstrasi berakhir ricuh ketika mahasiswa bentrok dengan polisi yang berusaha membubarkan massa menggunakan semburan air bertekanan tinggi dan gas air mata. “Kami menggelar pertunjukan seni dan meditasi di depan gedung rektor, tapi malah disebut teroris,” kata Celik seperti dilaporkan Reuters pada Jumat, 5 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah terus menekan aksi protes itu agar tidak merebak. Presiden Erdogan, seperti dilaporkan Al Jazeera, menuding para mahasiswa sebagai teroris. Dia juga menyebut gerakan advokasi lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer berada di balik unjuk rasa serta tidak sesuai dengan nilai-nilai nasional dan spiritual Turki. Polisi menangkap lebih dari 600 orang dalam unjuk rasa.

Gelombang protes mahasiswa di kampus Bogazici dan jalan-jalan Istanbul itu menjadi yang terbesar setelah demonstrasi anti-pemerintah pada 2013. Unjuk rasa pun meluas ke beberapa kota, termasuk ke Ankara dan Izmir. Erdogan menyatakan tidak akan membiarkan unjuk rasa mahasiswa berkembang lebih besar seperti protes masif delapan tahun lalu yang akhirnya digulung aparat keamanan Turki.

Kementerian Luar Negeri Turki dalam pernyataan tertulisnya pada Kamis, 4 Februari lalu, menyebutkan ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak berasal dari universitas. Mereka disebut terafiliasi dengan organisasi teroris yang mencoba menyusup dan memprovokasi aksi protes. Meski demikian, menurut Kementerian, kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat tetap dilindungi konstitusi.

Protes mahasiswa pecah setelah Erdogan menunjuk rektor-rektor baru untuk lima universitas pada 1 Januari lalu. Mahasiswa menolak penunjukan Melih Bulu, rekan Erdogan di Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), menjadi Rektor Bogazici University. Bulu adalah pebisnis dan bukan anggota civitas academica Bogazici. Pengangkatannya telah mematahkan tradisi kampus itu dalam mengangkat rektor, yang biasanya berdasarkan pilihan akademikus dan perwakilan fakultas.

Mahasiswa Universitas Bogazici, menuntut pembebasan mahasiswa yang menolak pengangkatan Melih Buluh sebagai rektor oleh Presiden Turki Tayyip Erdogan, di Istambul, Turki, 7 Januari 2021. Reuetrs/Umit Bektas

Erdogan menyatakan penunjukan rektor sudah sesuai dengan aturan dan dilakukan berdasarkan daftar sembilan nama yang diajukan Dewan Pendidikan Tinggi. Namun, bagi para mahasiswa, penunjukan Bulu menambah kekecewaan di tengah banyaknya masalah politik, sosial, dan ekonomi yang mendera Turki. “Ketidaksukaan terhadap rezim presiden dan ekonomi yang kolaps muncul dalam ekspresi baru lewat Bogazici,” tutur Zeynep Gambetti, pengajar ilmu politik di universitas itu, seperti dilaporkan AFP.

Selain dekat dengan Erdogan, Bulu diduga melakukan plagiarisme dalam tesis doktoralnya pada 2003 dan sejumlah artikel ilmiah. Lewat tesis itu, Bulu meraih gelar doktor bidang manajemen bisnis. Kasus ini terbongkar setelah muncul laporan analisis dan perbandingan tesis Bulu dengan sumber-sumber lain yang diunggah sejumlah warganet. Selain ada kesamaan redaksional di banyak bagian tesis, sejumlah materi disalin-tempel begitu saja dari jurnal atau makalah ilmiah orang lain.

Bulu membantah melakukan plagiarisme. Dalam sebuah wawancara televisi, seperti dilaporkan The New York Times, dia mengaku lupa menyertakan tanda kutipan dalam tulisannya. Upaya Bulu mendekati mahasiswa dengan mengajak mereka berbicara di kampus dan menunjukkan kegemarannya terhadap lagu-lagu Metallica gagal. Ketika intensitas protes meningkat, Bulu malah menutup diri, menolak wawancara, dan meningkatkan pengamanan di sekitar kantornya.

Pemerintah Erdogan terus mengontrol dunia kampus yang sebelumnya dikenal relatif independen dan kritis terhadap pemerintah. Erdogan menjabat perdana menteri selama sebelas tahun sejak 2003 dan menjadi presiden sejak 2014. Kini dia tengah bersiap menghadapi pemilihan umum 2023.

Pengaruh Erdogan makin besar setelah ia berhasil mematahkan upaya kudeta pada 15 Juli 2016. Dalam status darurat nasional, Erdogan merilis Dekret Nomor 676 yang menghapus kewenangan universitas dan fakultas dalam pemilihan rektor. Presiden kini bisa menunjuk langsung rektor. Jaringan Erdogan pun menggurita di Dewan Pendidikan Tinggi. Mayoritas anggota dewan itu ditunjuk oleh presiden.

Rezim Erdogan pun melibas orang-orang yang dinilai bertanggung jawab atas kudeta 2016. Pemberangusan juga dilancarkan terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak terlibat dalam kudeta tapi bisa membahayakan posisi Erdogan, antara lain jurnalis, politikus, dan aktivis hak asasi manusia. Tapi dunia pendidikan dan akademikus yang paling telak mendapat tekanan.

Lebih dari seribu pengajar dan peneliti dipecat setelah mereka menandatangani petisi seruan agar militer Turki berdamai dengan kelompok Kurdi pada awal 2016. Mereka justru disebut berkhianat dan mendukung kelompok teroris. Hal itu tidak menyurutkan keberanian sekitar 2.200 akademikus Turki dan lebih dari 2.000 ilmuwan asing yang ikut meneken petisi tersebut.

Konflik Erdogan dengan Fethullah Gullen diduga ikut memperburuk tekanan terhadap kampus. Gullen awalnya merupakan sekutu Erdogan di dunia politik. Organisasi Gullen, yang dikenal berfokus pada pengembangan universitas dan memiliki jejaring luas di bidang pendidikan internasional, juga dekat dengan AKP.

Orang-orang di organisasi Gullen pun mendapat jabatan strategis, terutama di sektor pendidikan, yudisial, militer, dan kepolisian. Aliansi politik itu pecah pada 2013. Pemerintah menuding para pemimpin kudeta, yang juga berisi sejumlah pejabat militer, berkomplot dengan Gullen. Erdogan lantas melancarkan operasi pembersihan negara dari orang-orang yang dinilai sebagai pendukung Gullen.

Dalam periode dua tahun darurat nasional setelah kudeta gagal, hampir 150 ribu pegawai negeri dipecat tanpa peringatan atau sidang pengadilan. Jumlah terbesar, sekitar 41 ribu orang, yang dipecat berasal dari institusi pendidikan. Selain itu, pemerintah memindahkan lebih dari 64 ribu mahasiswanya ke kampus lain. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari selusin universitas swasta ditutup.

Menurut mahasiswa Bogazici, Zeliha Cenkci, kampus adalah tempat yang aman untuk menyepi dari hiruk-pikuk politik dan keresahan akibat ekonomi yang memburuk. Di kampus pula mahasiswa masih bisa menikmati kebebasan dan demokrasi. Meski terus mendapat tekanan, mahasiswa tak menyerah dan tunduk pada kekuasaan Erdogan. “Perjuangan ini bukan yang pertama tapi tak bakal menjadi yang terakhir,” ucapnya seperti dilaporkan Foreign Policy.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, THE GUARDIAN, FOREIGN POLICY, WASHINGTON POST, ARAB NEWS, AL JAZEERA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus