Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung menyidik kasus dugaan korupsi perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal yang melibatkan Richard Joost Lino.
Mereka juga menelisik dugaan adanya gratifikasi melalui anak dan istri Lino.
Penyidikan di KPK terhadap Lino sejak lima tahun lalu belum tuntas.
MEMBAWA telepon seluler, komputer jinjing, dan sebundel dokumen, Richard Joost Lino memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Agung pada pertengahan November 2020. Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) pada 2009-2015 itu diperiksa dalam perkara dugaan korupsi perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. “Mereka minta, ya saya kasih saja,” kata Lino, Selasa, 9 Februari lalu.
Lino berharap penyidik bisa memastikan keterlibatannya dalam kasus tersebut lewat isi gawainya. “Supaya mereka bisa mengecek sendiri. Kalau saya memang menerima uang, pasti ada jejak datanya,” ucap Lino.
Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus mulai mengusut perkara tersebut pada September 2020. Penelisikan ini menindaklanjuti rekomendasi Panitia Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat atas PT Pelindo II pada 2017.
Berdasarkan penyelidikan panitia khusus tersebut, perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian JICT—salah satu terminal peti kemas di Tanjung Priok, yang sebelumnya dikelola bersama oleh PT Pelindo II dan Hutchison Ports Indonesia—diduga tidak sesuai dengan peraturan dan merugikan kas negara. Panitia khusus meminta audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana di Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin, 16 Juli 2018./TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil audit menyebutkan, kontrak kerja sama pengelolaan JICT terindikasi merugikan negara hingga Rp 4,08 triliun. Indikasi kerugian tersebut berasal dari selisih pembayaran uang muka sewa yang seharusnya diterima Pelindo II dari perusahaan pengelola PT JICT lain, PT Hutchison Ports Indonesia yang berinduk di Hong Kong.
Dalam perpanjangan kontrak, Pelindo II disebut hanya menerima panjar uang sewa US$ 215 juta, lebih rendah dari nilai yang seharusnya diterima. Valuasi bisnis perpanjangan kontrak ini dianggap tidak mempertimbangkan opsi PT Pelindo II mengelola terminal sendiri.
Kasak-kusuk pengelolaan JICT mengemuka sejak Agustus 2014. Kala itu, PT Pelindo II mengumumkan kesepakatan perpanjangan kontrak pengelolaan JICT selama 20 tahun hingga 2038. Kontrak ini sekaligus membicarakan perubahan saham PT Pelindo II dan PT Hutchison di PT JICT, pengelola terminal.
Lino mengklaim perpanjangan kontrak akan meningkatkan kemampuan terminal hingga setara dengan kemampuan terminal di Singapura. Waktu itu, kemacetan bongkar-muat di Priok sangat parah. “Fasilitas pelabuhan juga sudah usang dan tak ada investasi,” ujarnya.
Kerugian dari perpanjangan kontrak yang diklaim Pansus pun sebenarnya belum bisa dipastikan. Anggota BPK, Achsanul Qosasi, mengatakan lembaganya sudah menyerahkan laporan hasil pemeriksaan perpanjangan kontrak ke Pansus pada 2017. “Nilai kerugian negara dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif baru indikasi kerugian,” kata Achsanul.
Bila kasus naik ke penyidikan, BPK akan menghitung kerugian negara yang pasti. Angka kerugian negaranya bisa sama dengan hasil pemeriksaan investigatif atau berbeda sama sekali.
Selain ke Kejaksaan Agung, Pansus DPR membawa hasil audit BPK ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Juli 2017. “Untuk menindaklanjuti temuan dan hal-hal penting lainnya, Pansus Angket DPR tentang Pelindo II akan bertemu dengan KPK,” ujar Ketua Pansus Pelindo II Rieke Diah Pitaloka dalam keterangan tertulisnya waktu itu.
KPK tak melanjutkan laporan DPR. Menurut seorang petinggi KPK periode 2015-2019, lembaganya tak mengusut perpanjangan kontrak JICT lantaran kerugian negara belum terjadi. “Kontraknya sudah ada, tapi realisasi perpanjangannya baru berlaku 2019. Jadi saat itu belum ada kerugiannya,” ucapnya.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah mengatakan lembaganya baru sampai pada tahap pemeriksaan saksi. Kejaksaan belum menetapkan tersangka meski perkara perpanjangan kontrak pengelolaan JICT sudah naik ke tahap penyidikan.
Menurut Febrie, Kejaksaan sudah memeriksa istri Lino, Betty Sastra, beserta putrinya, Clarissa Sastra Lino. “Kami lagi mendalami apakah mereka menerima kick-back atau dugaan gratifikasi dari proses itu. Jadi keluarganya dicek satu-satu, diperiksa,” tutur Febrie.
Ia mengatakan keluarga Lino telah menyerahkan buku bank kepada penyidik. Tapi Kejaksaan juga belum bisa memastikan penerimaan gratifikasi oleh Lino dan keluarganya. “Belum bisa dipastikan ada atau tidak. Makanya kemarin masih kami periksa,” katanya.
Lino mengira pemeriksaan korupsi kini bergeser ke dugaan gratifikasi karena Kejaksaan Agung tak meyakini ada kerugian negara dalam perpanjangan kontrak pengelolaan JICT. Saat diperiksa terakhir kali pada November 2020, Lino membantah hasil audit BPK. Ia menganggap penghitungan kerugian negara dalam laporan BPK itu keliru.
Misalnya BPK menuliskan manfaat keuangan yang akan diterima PT Pelindo II bila kontrak diperpanjang hanya meliputi pembagian dividen periode 2014-2038 sesuai dengan persentase kepemilikan saham di PT JICT dan panjar biaya sewa. Padahal, menurut Lino, perpanjangan kontrak juga meliputi keuntungan dari pengembalian pengelolaan Terminal 2 JICT ke PT Pelindo II.
Kapasitas terminal pun akan meningkat menjadi 300 ribu TEU (twenty-foot equivalent unit) per tahun. Dari sini ditaksir PT Pelindo II akan menghasilkan laba bersih sekitar US$ 10 juta setiap tahun.
Jika mengelola JICT sendiri, pendapatan yang diperoleh PT Pelindo II ditaksir tak akan sebesar seperti dalam laporan BPK. Laporan menyebutkan PT Pelindo II akan menerima biaya sewa tambahan dari pihak lain pada periode 2019-2038. Uang tersebut tidak akan ada jika PT Pelindo mengelola sendiri terminal.
Lampiran komponen audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan mengenai potensi kerugian negara PT Pelindo II (Persero)./Tempo/Istimewa
BPK menghitung pendapatan dari biaya sewa dalam opsi pengoperasian sendiri hingga 2038 mencapai US$ 624,4 juta. “Ini perlu dikoreksi,” kata Lino. “Kalau dikelola sendiri, tidak ada lagi yang bayar sewa.” Artinya, angka yang disebutkan BPK bisa jadi tidak ada.
Ia juga mengoreksi jumlah pendapatan JICT pada 2014-2018 yang dihitung BPK. Pada periode ini, PT Pelindo masih bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola JICT.
Laporan BPK menuliskan PT Pelindo II diasumsikan menerima pendapatan sewa JICT dari pihak lain sebesar US$ 277,9 juta. Menurut Lino, PT Pelindo II mengumpulkan uang sewa sebesar US$ 181,15 juta pada periode yang sama karena masih ada ikatan kerja sama dalam kontrak lama. “Terdapat selisih jumlah absolut yang lebih kecil dari nilai yang dihitung BPK pada laporannya, yaitu sebesar US$ 96,75 juta,” tutur Lino.
PT Pelindo II juga harus membayar bea penalti pemberhentian kontrak sebesar US$ 58 juta kepada PT Hutchison pada 2018. Poin ini tak tercantum dalam hasil audit investigatif BPK. Dengan hitungan tersebut, Lino menyimpulkan bahwa kerugian negara yang ditaksir mencapai US$ 306 juta sebenarnya tak pernah terjadi. Negara, dia mengklaim, justru diuntungkan hampir US$ 300 juta.
• • •
JAUH sebelum dibidik Kejaksaan Agung, Richard Joost Lino sudah menyandang status tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara pemeliharaan dan pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) twinlift atau derek kembar bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak, dan Palembang pada 2010. Lino dituduh menabrak sejumlah aturan dan menguntungkan Wuxi HuaDong Heavy Machinery Co (HDHM), perusahaan penyedia QCC, lewat penunjukan langsung.
Sepekan sebelum lengser, komisi antikorupsi yang dipimpin pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, meneken surat penyidikan Lino pada 15 Desember 2015. Waktu itu, KPK menyatakan sudah memiliki dua alat bukti untuk menjerat Lino. Komisi telah memeriksa 18 saksi dan ahli serta mendapatkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Namun kasus ini kemudian tak kunjung bergulir ke pengadilan meskipun pemimpin KPK sudah dua kali berganti. Bahkan pada masa pandemi Covid-19 kasusnya tak bergerak sama sekali. Sudah hampir setahun KPK tak memeriksa saksi baru dalam kasus korupsi yang disebut merugikan negara hingga puluhan miliar ini. Penyidik terakhir kali memeriksa Lino pada 23 Januari 2020. “Kami masih mendalaminya,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Menurut seorang penegak hukum, pengusutan kasus Lino terhambat sikap pemerintah Cina. KPK melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mengirim permohonan perjanjian bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance/MLA) kepada Kementerian Kehakiman Cina pada 2016. Namun permohonan itu bertepuk sebelah tangan.
Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, dan wakilnya, Laode Muhammad Syarif, sampai mengunjungi Cina pada 2017 untuk melobi Cina melaksanakan MLA. Namun Agus dan Syarif hanya ditemui Jaksa Agung serta Kepala Badan Audit Cina. “Menteri Kehakiman, yang awalnya menyatakan berkenan menemui, tiba-tiba tidak ada kabar,” ujar sumber penegak hukum tersebut. Agus dan Syarif kembali ke Tanah Air dengan tangan hampa.
Imbasnya, KPK tak bisa membandingkan harga pabrikan alat derek bongkar-muat peti kemas dengan yang dijual ke PT Pelindo II. KPK berupaya menyiasati penghitungan dengan meminta bantuan tim ahli dari salah satu universitas negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan
Hingga kepemimpinan era Agus berakhir pada Desember 2019, hasil audit itu tak kunjung keluar. Saat dimintai konfirmasi mengenai upaya ini, Agus enggan berkomentar. “Silakan ditanyakan ke pimpinan KPK saat ini,” ucap Agus. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjawab, “Kami masih menunggu hasil audit dari lembaga terkait dan tim ahli independen.”
Anggota BPK, Achsanul Qosasi, mengatakan lembaganya telah menghitung kerugian negara dan telah menyampaikan hasilnya kepada penyidik KPK. “BPK telah menghitung kerugian negara untuk bagian kontrak yang menyangkut pemeliharaan,” ujar Achsanul.
Dalam kontrak pengadaan unit mesin derek, BPK menilai terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek. Namun auditor belum bisa menghitung angkanya. “Data real cost yang dibutuhkan untuk menghitung belum diperoleh dari penyidik,” kata Achsanul. “Pengujian kapasitas angkat QCC oleh ahli yang ditunjuk penyidik KPK belum dilakukan.”
LINDA TRIANITA, ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo