SETIAP instalasi nuklir perlu diwaspadai. Keteledoran, yang kecil sekalipun, bisa mendatangkan petaka bagi alam sekitar. Maka, pemantauan yang terus-menerus menjadi keharusan. Di situlah masalah dosimetri, bidang yang mempelajari pengukur- an dosis radiasi, menjadi soal penting. Pemantauan radioaktif selama ini memang bertumpu pada dosimetri. Seperempat abad belakangan, teknik dosimetri ini banyak bergantung pada metode TL (thermoluminescence), teknologi yang dirancang mirip kerja lampu neon TL. Kendati tidak banyak protes, banyak ahli yang tak puas. Mereka kini berlomba mencari teknologi lebih mutakhir, bersandar pada metode PTTL (phototransfer thermoluminescence). Dalam pencarian teknik baru itu, Muhammad Fathony, peneliti di Pusat Standarisasi dan Keselamatan Nuklir Batan, Pasar Jumat, Jakarta, ikut terlibat. Empat tahun dia berkutat pada eksperimen dosimetri, di laboratorium School of Physics di Universitas Birmingham, Inggris. Ikhtiar alumni fisika FMIPA UI 1982 itu tak sia-sia. Fathony, 34 tahun, lulus sebagai doktor Desember lalu dan kini menjadi satu-satunya doktor dosimetri di Indonesia. Hasil sampingannya: tiga paper-nya diterima di tiga jurnal internasional. Satu di antaranya terbit awal tahun ini di GSI Scientific Report, jurnal ilmiah Jerman yang bergengsi di kalangan peneliti nuklir Eropa. Sebagai bidang kajian, PTTL masih terhitung baru. Metode ini belum dapat dikemas sebagai teknologi komersial seperti halnya thermoluminescence. ''Sampai saat ini belum ada prosedur baku untuk aplikasi PTTL,'' tutur Fathony. PTTL sendiri, kata Fathony, merupakan pengembangan TL. Metode dosimetri TL ini mirip dengan fenomena lampu neon. Dia memanfaatkan material yang pintar menyerap pancaran radiasi, kemudian melepaskannya kembali sebagai pancaran cahaya. Pijaran TL itu terjadi karena jasa gas neon dalam silinder kaca, yang menangkap energi lompatan elektron dari kutub positif ke negatif di ujung silinder lampu. Ketika energi itu dilepas, pijaran cahaya pun muncul. Untuk tujuan dosimetri, gas neon itu diganti dengan litium florida (LiF), CaSO4 (kalsium sulfat), Na2SO4 (dinatrium sulfat), atau CaF2 (kalsium diflorida). Di situ garam-garam ini dimanfaatkan sebagai detektor karena bisa menyerap dengan baik radiasi gamma dari material radioaktif. Energi radiasi gamma itu menyebabkan perubahan di level subatomik. Partikel sinar gamma yang membawa energi 2,5 megaelektronvolt (Mev) membuat elektron-elektron yang mengelilingi inti bahan detektor itu terpental, lalu menempati orbit dengan level energi yang lebih tinggi. Untuk menggusur sebuah elektron, cuma diperlukan energi 9 ev. Namun, elektron-elektron itu tak betah berlama-lama di posisi yang bukan miliknya. Tak berapa lama mereka akan turun dan masuk ke orbit dengan level energi yang lebih rendah. Di situ pun mereka sebetulnya tak betah. Tapi, untuk turun mendekati posisi awalnya, mereka perlu energi pembebas, dalam bentuk termal atau pancaran radiasi. Untuk dosimetri dengan metode TL, elektron-elektron itu dibebaskan, dan serta-merta mereka melompat ke orbit yang mendekati posisi awalnya. Pembebasannya dilakukan dengan memberikan rangsangan termal. Gerakan masal elektron ini disertai pelepasan energi yang berbentuk pijaran cahaya. Inilah fenomena yang disebut luminescence. Intensitas pijaran itu akan menggambarkan energi yang diserap dari radiasi gamma. Semakin terang pijarannya, berarti kian besar pancaran gamma yang diterima. Dengan ''memainkan'' gejala-gejala itu, material semacam LiF itu dipakai sebagai detektor sinar gamma. Detektor nuklir yang dijual dengan merek Harshaw (AS), Vinton (Inggris), atau Panasonic (Jepang) bekerja dengan mekanisme itu. Tapi metode TL tersebut, kata Fathony, punya kelemahan. Rangsangan panas tak bisa mengembalikan semua elektron yang tergusur. Maka, gejala thermoluminescence yang muncul pun tak menggambarkan kondisi sebenarnya. ''Jadi, hasil pengukurannya kurang akurat,'' ujarnya. Lagi pula, pengukur- an dosimetri dengan cara TL itu peka terhadap pengaruh sengatan matahari. Maka, Fathony pun tertarik dengan metode PTTL. Ia mencoba membuat terobosan dengan mengganti material detektor dengan pasir kuarsa SiO2 (silikon dioksida), yang kini memang sedang dicoba sebagai alternatif. Pada eksperimen pendahuluan, Fathony menemukan bahwa SiO2 bisa dipakai sebagai detektor dengan metode TL. Karena PTTL merupakan kelanjutan metode TL, prosedur awalnya sama: SiO2 itu dikenai sinar gamma. Tapi, sebelum dipanaskan, untuk memperoleh efek thermoluminescence, kuarsa itu ditembak dengan cahaya lembayung. Dengan cara ini, elektron-elektron yang berada di orbit sementara itu ''ditata'' dulu agar lebih mudah dibebaskan. Nyatanya, perlakuan panas yang diberikan lebih efektif. Pada metode TL, pijaran cahaya detektor menurun bila pemanasan lebih dari 500 derajat Celsius. Sedangkan pada PTTL, detektor tetap memberi respons sampai jauh di atas 500 derajat Celsius. ''Ini berarti pengukuran lebih representatif,'' katanya kepada wartawan TEMPO di Birmingham, Mudrajat Kuncoro. Namun, Fathony mengakui, detektor kuarsa dan teknik PTTL-nya punya masalah. Detektor kuarsa itu cuma bisa mengendus pancaran gamma yang dosisnya di atas satu rad, sekitar 13% lebih besar dari intensitas radiasi mesin Rontgen. Putut Trihusodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini